Tampilkan postingan dengan label Pernikahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pernikahan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 Desember 2017

Mengoreksi Ambisi

0 opini
Beberapa hari yang lalu, saya secara resmi bertambah usia menjadi 35 tahun. Sudah cukup lama saya hidup di dunia ini. Tentunya semakin lama saya hidup, semakin banyak pula kesalahan yang saya buat. Untungnya di usia kepala 3 ini, saya masih berada pada posisi di mana saya masih bisa mengakui kesalahan saya dan masih mau mencoba memperbaiki diri saya.

Sudah lama saya menjadikan pertambahan usia sebagai momentum untuk introspeksi diri. Saya mencoba melihat kembali apa yang sudah saya lakukan dalam hidup saya selama satu tahun ke belakang. Untungnya hidup saya cukup berwarna. Sebenarnya ada banyak hal yang bisa saya ceritakan, tapi untuk tulisan kali ini, saya hanya akan bercerita tentang satu hal.

Cerita kali ini adalah cerita tentang ambisi. Ambisi yang seperti apa? Ambisi yang sederhana; tidak muluk-muluk. Saya hanya ingin menafkahi keluarga saya sepenuhnya. Rasanya tidak sreg bila istri saya terus-menerus "berkontribusi" ke dalam rumah tangga walaupun hal itu dia lakukan atas keinginannya. Istri saya memang mampu dan mau memaklumi dan menutupi lubang-lubang yang ada dalam nafkah saya, tapi sayangnya, dibalik kerelaan istri itu, rasa tidak sreg dalam hati saya tetap ada. Harapan saya adalah saya bisa menafkahi keluarga sepenuhnya tanpa harus mengandalkan istri. Harapan saya adalah kalimat "Milikku adalah milikmu, milikmu adalah milikmu" tidak hanya menjadi slogan hidup saja. Harapan itu yang menjadi target ambisi saya.

Saya pun memanfaatkan peluang yang ada dalam pekerjaan saya agar saya bisa segera naik gaji. Tambahan penghasilan bulanan itu yang saya butuhkan untuk menggapai ambisi saya. Saya tidak akan menceritakan rinciannya, tapi peluang itu memang ada dan bagi saya, peluang itu cukup besar. Saya pun bekerja secara terarah untuk menggapai ambisi tersebut. Kerja tidak asal kerja, tapi saya arahkan untuk mendekatkan saya ke target ambisi saya. Hal itu saya lakukan secara konsisten walaupun realita kadang membuat saya patah semangat. Kondisinya memang tidak selalu baik, tapi pada akhirnya saya masih bisa melihat cahaya; saya masih bisa berharap.

Terlepas dari itu, ambisi tetap akan menjadi ambisi. Sepositif apa pun target seseorang, ambisi tetap saja membuat orang itu memakai kacamata kuda. Pandangannya hanya tertuju pada target. Waktu dan energinya pun diarahkan untuk mencapai target. Dalam kondisi itu, dia seringkali lupa melihat kondisi di sekitarnya. Kalaupun dia menyempatkan diri melihat kondisi sekitar, seringkali dia tidak benar-benar memperhatikan.
Kalaupun dia menyempatkan diri melihat kondisi sekitar, seringkali dia tidak benar-benar memperhatikan.
Itu yang terjadi pada diri saya. Ambisi saya membuat saya lupa untuk siapa saya berjuang. Saya lupa melihat reaksi istri dan anak-anak saya terhadap perubahan orientasi hidup saya. Kalaupun saya melihat, saya tidak benar-benar memperhatikan. Apakah mereka benar-benar nyaman saat saya harus mengutamakan pekerjaan dibandingkan mereka? Apakah mereka rela bila waktu keluarga terpaksa berkurang seiring usaha saya menggapai target saya? Dan banyak pertanyaan lainnya yang bahkan tidak sempat saya tanyakan. Itu terjadi karena saya tidak benar-benar memperhatikan.

Saya dan istri bahkan sempat bertengkar. Pertengkaran itu bukan pertengkaran biasa. Bukan tidak mungkin bahwa dalam konteks rumah tangga, pertengkaran kami masuk kategori "perang dunia ketiga". Anak-anak pun merasakan panasnya api konflik antara saya dan istri saya. Akibat ambisi, saya sudah menyakiti orang-orang yang menjadi alasan munculnya ambisi saya. Menyedihkan, bukan?

Untungnya Allah SWT masih memberikan kesempatan. Saya pun mencoba mengoreksi ambisi saya. Saya mencoba untuk melambat. Saya mencoba untuk lebih acuh dengan pekerjaan saya. Saya mencoba mengembalikan skala prioritas yang sudah terlanjur ngawur akibat munculnya ambisi. Saya tegaskan kembali ke diri saya bahwa keluarga tetap harus jadi nomor satu.

Seiring waktu, hubungan dengan istri saya pun membaik. Kami kembali bekerja sama sehingga api yang sempat membesar perlahan-lahan mengecil dan mulai padam. Anak-anak saya pun kembali merasakan kehangatan dari kedua orang tuanya. Pasca proses pemulihan ini, saya tetap harus menjaga diri agar tidak lagi terjerumus ke dalam ambisi yang membutakan. Jangan sampai api yang sudah padam berkobar lagi akibat kebodohan sendiri.

Satu hal yang benar-benar membantu saya adalah mengingat mati. Ambisi membuat saya hidup demi masa depan, padahal masa depan datangnya masih tak pasti. Mengingat mati memaksa saya untuk lebih seimbang dalam mempersiapkan masa depan dan menikmati hidup yang saya jalani detik ini. Saya tidak lagi meluangkan seluruh waktu dan energi saya untuk masa depan, tapi membaginya untuk masa depan dan "saat ini" secara proporsional.
Saya belajar untuk mendikte ambisi, bukan sebaliknya.
Bagian yang menarik dari cerita ini adalah saat saya memutuskan untuk tidak lagi berpacu mengejar target, ambisi saya justru terwujud. Untungnya saya sudah tidak lagi didikte oleh ambisi. Terwujudnya harapan saya tidak lantas memicu munculnya ambisi baru. Saya belajar untuk mendikte ambisi, bukan sebaliknya. Kalaupun ambisi lain bermunculan, saya harus bisa pastikan bahwa saya yang pegang kendali.

Selasa, 23 Juli 2013

19 Hari Kemudian

2 opini
Mengurus Yelena memang melelahkan karena dia adalah anak kecil egois yang butuh perhatian ekstra tanpa peluang untuk negosiasi. Kalau Yelena sudah mulai menjerit, semua urusan lain harus ditinggalkan untuk menjawab panggilannya. Kadang kebutuhan-kebutuhan pribadi (seperti tidur yang cukup) pun harus dikorbankan demi memenuhi kebutuhan Yelena. Tentu sulit bagi istri saya bila harus mengurus Yelena sendirian.

Itulah alasannya sejak Yelena lahir, saya bertekad untuk membantu istri saya merawat Yelena semaksimal mungkin. Alhamdulillah saya sudah terbiasa merawat bayi sejak kehadiran Raito dan Aidan 5 tahun yang lalu. Jadi saya tidak butuh banyak waktu untuk kembali membiasakan diri mengurus 1 (satu) orang bayi mungil. Sama seperti saat merawat Raito dan Aidan, satu-satunya hal yang tidak bisa saya lakukan untuk membantu istri saya adalah menyusui Yelena.

Actually, that's the least I can do karena saya sadar justru "menyusui" itulah yang menjadi pekerjaan besar dalam merawat anak. Siapa pun (baca: pembantu/pengasuh/anggota keluarga lain) bisa menggendong, mengganti popok, memandikan, atau melakukan hal lain dalam merawat Yelena, tapi tugas untuk "menyusui" itu tidak tergantikan. Selain tidak tergantikan, proses menyusui juga menguras tenaga dan beresiko luka di bagian yang sebaiknya tidak saya sebutkan dalam tulisan ini. It's not easy.

Kembali ke membantu mengurus Yelena. Alasan saya membantu istri saya mengurus Yelena tentu saja erat kaitannya dengan baby blues syndrome. Perasaan stres saat merawat anak yang baru lahir bukanlah hal yang dibesar-besarkan karena saya sendiri ikut merasakannya. Rasa lelah mengurus anak kecil mungil yang kerjanya hanya tidur, menangis, dan buang air itu tidak bisa dipandang sebelah mata, apalagi rasa lelah ini akan terus bertumpuk karena harus berurusan dengan si Bayi selama 24 jam 7 hari seminggu.

Pada dasarnya saya hanya menggunakan prinsip "berat sama dipikul, ringan biar saya yang bawa." Urusan merawat Yelena tentu akan menjadi lebih ringan bila kami (saya dan istri saya) mengurusnya bersama-sama atau bergantian. Tidak hanya dalam urusan mengganti popok, kami pun saling membantu dengan menasihati satu sama lain. Untuk mencapai kondisi ini tentu saja kami harus terbuka dengan keluh-kesah masing-masing. Urusannya memang menjadi lebih ringan dengan dipikul bersama, tapi tidak serta-merta menjadi tanpa kendala. Masalah masih tetap ada, tapi rasa stres mengurus Yelena menjadi lebih mudah diatasi.

Hari demi hari saya lewati dengan menegaskan kepada diri saya bahwa saya memiliki peran penting dalam mendampingi istri saya merawat bayi kecilnya. Hari demi hari kami lewati dengan mengurus Yelena bersam-sama. 19 hari penuh suka (dan duka) pun telah kami lewati. Ada kalanya rasa penat itu muncul, terutama saat Yelena menuntut kami berkali-kali bangun malam untuk menjawab jeritan dia, tapi secara garis besar kami masih bisa menjalaninya dengan senyuman.

On a side note, mengurus bayi bersama-sama juga membantu mempererat hubungan suami dan istri. Suami dan istri yang sebelumnya mulai terbiasa untuk hidup dengan rutinitas harian masing-masing akan kembali berjalan beriringan saat mengurus bayi. Mereka kembali berbagi tujuan hidup yang sama dan mengemban beban hidup bersama-sama. Mereka akan lebih sering berinteraksi dan berkomunikasi. Di balik interaksi dan komunikasi itu pun rasa saling menghargai satu sama lain pun akan ikut tumbuh. Semua ini berujung pada tumbuhnya rasa kasih dan sayang di antara suami dan istri. Hopefully, ini juga yang saya rasakan bersama istri saya.

Mengurus sesuatu bersama-sama memang membuat pekerjaan menjadi lebih praktis. Pekerjaan tidak hanya menjadi lebih mudah, tapi mengerjakannya pun menjadi lebih menyenangkan. Hal ini yang saya rasakan saat saya membantu istri saya mengurus Yelena. Hal yang sama saya rasakan juga saat saya memberdayakan Raito dan Aidan di waktu mencuci mobil/motor, but that's another thing. Semoga saja pengalaman menyenangkan ini juga dirasakan oleh para orang tua baru yang lain di luar sana.

Selasa, 08 Mei 2012

Berkah Di Balik Pertengkaran Suami Istri

2 opini
http://samarakita.net/
Di setiap masalah yang kita hadapi itu senantiasa ada hikmah; ada sesuatu yang dapat kita pelajari. Pelajaran yang kita dapatkan saat menghadapi masalah dalam hidup kita ini yang membantu kita berkembang dan menjadi dewasa. Akan tetapi, setiap masalah tidak otomatis memberikan pelajaran kepada kita. Berhasil tidaknya kita mendapatkan pelajaran di balik masalah kita sangat bergantung pada bagaimana kita bersikap.

Begitu juga halnya dengan masalah rumah tangga. Masalah dengan pasangan, dengan anak, dengan orang tua, dengan mertua, atau bahkan dengan pembantu (PRT) dapat memberikan pelajaran berharga bagi hidup kita, terutama dalam hal mengelola hubungan keluarga. Lagi-lagi saya tegaskan bahwa pelajaran yang dimaksud itu sangat bergantung pada bagaimana kita menyikapi masalah dalam keluarga kita.

Untuk menjaga agar tulisan ini tidak melebar ke mana-mana, saya batasi topik tulisan ini ke masalah suami istri. Setelah hampir 7 tahun menikah, hubungan saya dengan istri saya sudah pasti naik turun. Kadang baik, kadang buruk. Kadang romantis, kadang sadis. Kadang erat, kadang bertengkar hebat. Menikah memang benar-benar sebuah pengalaman yang luar biasa.

Bertengkar dengan pasangan hidup kita memang memancing emosi dan menguras energi; benar-benar melelahkan. Akan tetapi, momen tersebut adalah momen yang penting untuk bertukar pikiran dan pendapat dari lubuk hati yang paling dalam. Seorang penulis buku atau artikel yang pernah saya baca menggunakan istilah the moment of truth untuk menggambarkan pertengkaran antara suami dan istri.

The Moment of Truth
Kenapa "the moment of truth"? Karena saat bertengkar dengan pasangan itu kita tidak lagi peduli dan tidak lagi sungkan. Saat bertengkar itu kita benar-benar menyuarakan pendapat kita apa adanya. Segala sesuatu yang biasa kita pendam jauh di lubuk hati kita, karena kita takut menyakiti pasangan kita, bisa jadi akan keluar satu demi satu. Semua isi hati kita pun kita keluarkan tanpa ditutup-tutupi atau diperhalus. Kita tidak lagi peduli dan tidak lagi sungkan.

Ada banyak hal yang saya pahami dari istri saya setelah saya dan istri saya bertengkar hebat. Justru momen-momen menyakitkan saat bertengkar dengan istri itu membukakan mata saya dan mencoba melihat dari sudut pandang istri saya. Dari situ saya membuka diri untuk benar-benar memahami perbedaan pendapat yang menyebabkan pertengkaran kami dan mencoba menemukan titik temu untuk menyelaraskan perbedaan kami.

Tentu saja apa yang saya lakukan itu tidak terjadi sepihak. Saya yakin istri saya pun melakukan hal yang sama. Saya yakin istri saya pun mencoba memahami saya. Saya yakin istri saya pun berusaha melihat dari sudut pandang saya dan mencoba menyelaraskan perbedaan pendapat di antara kami.

Dalam proses memahami perbedaan itu, saya pun dihadapkan pada tiga pilihan: mempertahankan pendapat saya, mengalah dan memenangkan keinginan/kebutuhan istri saya, atau mencari jalan tengah yang mengakomodir kebutuhan bersama. Idealnya tentu saja jalan tengah itu yang dipilih, tapi realita tidak memungkinkan kondisi ideal itu terus tercapai. Kadang kita memang harus kekeuh dan kadang kita memang harus mengalah.

For the Greater Good
Kata kuncinya adalah for the greater good, yaitu demi kebaikan yang lebih besar. Kebaikan yang lebih besar yang saya maksud adalah keutuhan pernikahan. Kalau kita merasa bahwa kita tidak akan bertahan tanpa mempertahankan pendapat kita, maka mengalah pada pasangan kita mungkin akan menjadi pilihan buruk. Kalau kita merasa bahwa mengalah itu lebih baik karena pasangan kita kekeuh mempertahankan pendapatnya, maka mengalah itu mungkin akan menjadi pilihan yang baik.

Apa yang terjadi kalau masing-masing pihak, baik suami maupun istri, sama-sama merasa pendapatnya harus dipertahankan? Apa yang terjadi kalau masing-masing pihak tidak mau mengalah? Kita kembalikan lagi ke frase "for the greater good" tadi. Kalau masing-masing pihak bergerak menuju keutuhan pernikahan, maka jalan tengah yang mengakomodir pihak suami dan pihak istri itu pasti akan ditemukan. Kalau masing-masing pihak hanya bergerak menuju keinginan/kebutuhannya sendiri-sendiri, maka hubungan pernikahan yang terbentuk kelak akan keropos dan rusak dengan sendirinya.

Seperti yang saya tegaskan di atas, berkah di balik pertengkaran dengan pasangan kita itu sangat bergantung pada bagaimana kita dan pasangan kita bersikap. Bila masing-masing pihak bersikap positif dan menerima perbedaan yang ada kemudian bergerak untuk menyelaraskan perbedaan yang ada, berkah di balik pertengkaran itu akan datang dengan sendirinya. Dengan begitu, di akhir pertengkaran besar sekali pun, kita akan membentuk ikatan yang jauh lebih kuat dengan pasangan hidup kita.

--
Tulisan terkait:

Rabu, 08 Februari 2012

Belajar Dari Film

2 opini
Saya yakin yang namanya sumber inspirasi itu ada banyak sekali. Untuk penggemar channel hiburan seperti saya, film tidak pelak lagi menjadi salah satu sumber inspirasi yang signifikan. Ada banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari film-film yang sudah saya tonton. Kali ini saya ingin berbagi tentang film-film yang memberikan inspirasi terhadap peran saya sebagai seorang suami dan sebagai seorang ayah.

Film pertama yang terbayang di benak saya adalah Up. Film ini adalah film yang mengharukan. Entah kenapa saat menonton film ini saya merasakan hubungan yang kuat dengan tokoh utama film ini, Carl Fredricksen. Adegan singkat hidupnya mulai dari menikah, istrinya hamil, istrinya keguguran, dan pada akhirnya mereka mencoba menikmati hidup berdua saja adalah adegan yang sulit saya lupakan. Saat istri Carl meninggal dunia, hati saya sempat terasa hampa karena saya pun terbayang bagaimana perasaan saya bila istri saya "pergi".

Inspirasi dari film ini tentu saja dedikasi Carl untuk mewujudkan impian istrinya memiliki rumah kecil di sebuah bukit yang dilengkapi dengan air terjun (koreksi saya bila saya salah di bagian ini). Cara Carl mewujudkan impian istrinya ini mungkin tidak masuk akal. Saya sendiri tidak bisa membayangkan seseorang mengangkat rumahnya dengan ratusan balon berisi helium (koreksi saya lagi bila saya salah di bagian ini). Hanya saja determinasi Carl ini patut diacungi jempol. Dia terus berusaha untuk membahagiakan istrinya walaupun istrinya tidak perlu lagi dibuat bahagia.

Film kedua adalah Take Shelter. Film ini bercerita tentang seorang pria bernama Curtis yang dihantui oleh mimpi dan bayangan akan datangnya sebuah badai besar yang akan melanda kotanya. Pengaruh mimpi dan bayangan ini sangat kuat sampai Curtis pun memutuskan untuk memperbaiki dan mengembangkan storm shelter yang ada di belakang rumahnya. Keputusan ini pada awalnya baik-baik saja tapi pada akhirnya masalah-masalah pun menumpuk. Curtis kehilangan pekerjaannya karena dia menggunakan alat berat dari kantornya tanpa izin. Istrinya marah besar saat mengetahui Curtis menggadaikan rumahnya demi mengumpulkan dana untuk memperbaiki storm shelter tersebut. Seluruh kota pun sudah mendengar kabar kegilaan Curtis.

Modal Curtis hanya satu. Keyakinannya yang kuat terhadap mimpi-mimpinya. Dia yakin badai besar itu akan datang dan storm shelter itu dia bangun dan perbaiki untuk menyelamatkan istri dan anaknya. Di balik semua tumpukan masalah itu, Curtis akhirnya berjalan sendirian. Hal yang paling menyentuh di bagian ini adalah saat istrinya (yang sangat mungkin memutuskan untuk meninggalkan suaminya yang gila ini) akhirnya memutuskan untuk tetap bersama Curtis dan melihat mimpi Curtis menjadi kenyataan. Istri Curtis tidak hanya memberi kesempatan bagi Curtis untuk membuktikan mimpinya, tapi dia juga memberi dukungan moral bagi Curtis untuk terus mencapai tujuannya. Melihat ikatan suami-istri yang kuat seperti ini sudah pasti memberikan inspirasi bagi saya untuk membentuk ikatan yang sama dengan istri saya sendiri.

Film ketiga adalah How to Train Your Dragon. Kalau Anda tidak suka film tentang Viking, saya jamin Anda akan menyukai film ini; atau sebaliknya. Entahlah. Satu hal yang pasti, film ini termasuk film favorit saya. Bagian yang paling saya suka dalam film ini tentu saja hubungan anak-ayah antara Hiccup Horrendous Haddock III (anak) dengan Stoick the Vast (ayah). Hubungan di antara keduanya adalah hubungan yang sesekali waktu kita temui di dunia nyata, yaitu antara seorang anak yang mati-matian membuktikan bahwa dirinya itu "layak" dengan seorang ayah yang tidak pernah merasa bahwa anaknya itu "layak".

Jangan sampai saya menjadi orang yang menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon.
Perkembangan hubungan antara keduanya pun terbilang predictable. Hiccup berhasil melakukan sesuatu yang dapat membuat dirinya diakui oleh ayahnya, tapi sulit bagi ayahnya untuk mempercayai anaknya. Dalam film ini digambarkan bahwa Stoick lebih sibuk dengan harapannya terhadap Hiccup ketimbang berusaha menerima Hiccup apa adanya. Fase ini terjadi terus dan terus dan terus hingga tiba waktunya saat Hiccup berhasil menunjukan kemampuannya dan mendapatkan kepercayaan ayahnya ... dengan sebuah pengorbanan. Film ini berhasil membuka mata saya dan mengingatkan saya untuk tidak menaruh harapan yang tidak mungkin digapai anak saya. Jangan sampai saya menjadi orang yang menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon.

Film keempat (dan terakhir dalam tulisan ini) adalah Finding Nemu ... maksud saya, Finding Nemo. Terus terang film ini baru beberapa waktu yang lalu saya tonton ulang; kali ini saya tonton bersama anak-anak saya. Cerita dalam film ini menjadi sumber inspirasi yang "menyegarkan" bagi saya yang sedang penat mengurus anak-anak. Satu hal yang saya rasakan betul adalah kadang kita lupa diri dan terlalu kaku dalam mengatur anak-anak sampai anak-anak kita pun tidak bisa menikmati hidupnya. Sampai akhirnya anak-anak kita pun menjauh dari kita sampai ke sebuah titik yang membuat kita menyesali keputusan-keputusan kita.

Dalam film Finding Nemo, ceritanya memang tidak setragis itu. Ceritanya justru lebih tragis lagi karena anak yang dimaksud malah hilang "diculik" orang. Untungnya film ini berakhir baik karena Nemo (anak) dan Marlin (ayah) berhasil bertemu kembali dan hidup bahagia selamanya. Yang menarik dari film ini justru petualangan Marlin menyeberang lautan yang luas untuk menemukan Nemo. Kata "luas" ini menjadi signifikan karena Marlin sendiri hanya seekor ikan badut kecil yang tidak berdaya. Dibalik semua keberuntungan yang dialami Marlin, dedikasi Marlin untuk menemukan anaknya yang (pada saat pencarian) belum tentu masih hidup itu menjadi inspirasi yang luar biasa bagi saya.

Masih banyak film lain yang menjadi inspirasi bagi saya sebagai seorang suami dan seorang ayah. Tentu saja semua itu tidak mungkin saya jabarkan dalam satu tulisan. Kalau satu film saja menghasilkan 2 paragraf, entah berapa panjang tulisan ini kalau saya pajang satu per satu film yang pernah saya tonton. Lagipula saya sendiri tidak ingat lagi film-film bertema keluarga yang saya pernah saya tonton.

Ada tulisan (blog post) tentang film lainnya yang menarik untuk saya baca? Silakan rekomendasikan di bagian komentar.

Rabu, 09 November 2011

Belajar dari Surat An-Nisaa'

0 opini
Dan perjalanan membaca terjemah Al-Qur'an itu pun berlanjut sampai surat keempat: surat An-Nisaa'. Hal pertama yang saya temukan dalam surat An-Nisaa' adalah pembatasan (bukan sekedar pembolehan) poligami menjadi maksimal 4 istri (dari sebelumnya tanpa batas). Poligami pun dibatasi dengan syarat suami harus berlaku adil terhadap istri-istrinya. Bila suami tidak mampu berlaku adil, Allah pun membatasi pernikahan menjadi monogami. Berikut isi ayat 3 surat An-Nisaa' yang berisi pembatasan tersebut:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[+1], maka (kawinilah) seorang saja[+2], atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisaa':3)
Surat An-Nisaa' juga berisi pokok-pokok hukum pembagian harta waris, yaitu dalam ayat 7 s.d. ayat 14. Selain itu, surat ini juga berisi beberapa hukum perkawinan (pernikahan). Ada banyak sekali ayat-ayat yang mengatur tentang pernikahan dalam surat An-Nisaa' ini. Salah satu ayat yang menyebutkan tentang hukum perkawinan itu adalah ayat 23 (saya kutip di bawah) yang juga dijadikan dasar hukum mahram.

Di dalam surat ini pun saya menemukan banyak ayat yang mengatur tentang jihad dan hijrah; baik mengenai kewajibannya maupun mengenai balasannya. Masih banyak pelajaran lain yang saya dapatkan dari surat An-Nisaa'. Akan tetapi, dari semua pelajaran yang saya dapat dari surat An-Nisaa', hanya beberapa ayat saja yang saya kutip dalam tulisan ini:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. An-Nisaa':10)
Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan[*3], yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisaa':17)
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[+3]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisaa':23)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu[+4]; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisaa':29)
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisaa':32)
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[+5] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[+6]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[+7], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[+8]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisaa':34)
Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman. (QS. An-Nisaa':57)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisaa':59)
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. An-Nisaa':82)
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat[+9], (QS. An-Nisaa':105)
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisaa':110)
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisaa':116)
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisaa':129)
Allah tidak menyukai ucapan buruk[*1], (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya[*2]. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nisaa':148)
--
[+1]Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[+2]Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
[+3]Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. Dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. Sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
[+4]Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
[+5]Maksudnya: Tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[+6]Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[+7]Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[+8]Maksudnya: untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
[+9]Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu'mah dan ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu'mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. Hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu'mah kepada Nabi s.a.w. dan mereka meminta agar Nabi membela Thu'mah dan menghukum orang-orang Yahudi, kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah, Nabi sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi.
[*1]Ucapan buruk sebagai mencela orang, memaki, menerangkan keburukan-keburukan orang lain, menyinggung perasaan seseorang, dan sebagainya.
[*2]Maksudnya: orang yang teraniaya boleh mengemukakan kepada hakim atau penguasa keburukan-keburukan orang yang menganiayanya.
[*3]Maksudnya ialah:
- Orang yang berbuat maksiat dengan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat kecuali jika dipikirkan lebih dahulu.
- Orang yang durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak.
- Orang yang melakukan kejahatan karena kurang kesadaran lantaran sangat marah atau karena dorongan hawa nafsu.

Senin, 24 Oktober 2011

Rumahku Nerakaku

0 opini
Kehidupan rumah tangga itu tidak selalu menyenangkan. Nenek-nenek saja tahu akan hal ini. Koreksi: Justru nenek-nenek (yang punya segudang pengalaman) yang paling tahu akan hal ini. Hanya saja, dari semua orang yang tahu akan hal ini, tidak semua orang mau berbagi tentang masalah rumah tangga mereka. Di lain pihak, tidak sedikit orang yang tidak segan-segan berbagi tentang masalah ini. Tidak percaya? Tengok saja timeline di jejaring sosial kesayangan Anda.

Kembali ke topik pembicaraan: Neraka.

Ada banyak hal yang dapat mengubah rumah tangga tercinta kita menjadi neraka. Mulai dari yang paling muda sampai yang paling tua, tidak ada yang benar-benar bebas dari andil mereka membentuk neraka di rumah tangga kita. Kita sendiri pun termasuk di dalam daftar penyebab munculnya neraka itu. Akan tetapi, saya tidak akan mulai dari diri sendiri. Harap maklum. Manusia tidak pernah lepas dari ego yang membuat kita lebih mudah menyalahkan orang lain daripada menyalahkan diri kita sendiri.

Dari istri, anak-anak, orang tua, mertua, sampai pembantu; semua pihak memiliki cara mereka sendiri untuk mengubah rumah tangga kita menjadi neraka. Kadang kita bertengkar dengan istri, kadang anak-anak bertingkah tidak karuan dan menyebalkan, kadang orang tua kita terlalu mencampuri urusan kita, kadang mertua berbeda pendapat dengan kita, kadang pembantu kita membuat masalah yang tidak-tidak; sepertinya selalu saja ada masalah di rumah kita. Kadang masalahnya menumpuk begitu banyak dan membuat kita enggan tinggal di rumah.
Api
Dalam kondisi seperti di atas, kebaikan (kebahagiaan) yang muncul di tengah keluarga kita akan hilang seketika karena tertutup emosi kita. Senyum anak-anak menjadi hambar, kebaikan-kebaikan istri tidak lagi terasa manis, hal-hal baik yang dilakukan orang tua atau mertua pun tidak berarti, apalagi pembantu. Emosi kita senantiasa menghalangi semua kebaikan yang ada untuk mencapai hati kita. Sebegitu gelapnya hati kita sampai akhirnya kita pun merasa putus asa.

Saat rasa putus asa ini muncul, berbagai bentuk pelarian pun mulai terbayang. Mulai dari keinginan untuk pergi dari rumah sampai keingian untuk pergi dari dunia (alias bunuh diri). Pilihan bentuk pelarian ini tentu saja sangat erat kaitannya dengan tingkat stres yang dialami orang terkait. Pelarian dari stres yang ringan mungkin cukup dengan "kabur" sebentar, sementara bunuh diri biasanya menjadi pilihan pelarian dari stres yang berat bin akut.

Empat paragraf di atas adalah gambaran neraka yang saya maksud. Dalam tulisan ini, gambaran neraka itu saya batasi di dalam rumah seseorang yang sudah menikah, memiliki anak, dan tinggal satu rumah dengan orang tua/mertua. Tentu saja gambaran neraka ini tidak sama bagi semua orang, tapi saya yakin banyak orang yang sudah mengalami neraka yang sama.

Lalu?

Di antara semua orang yang pernah (dan akan) hidup di dalam neraka seperti di atas, tidak semuanya memiliki sikap yang sama. Ada yang memutuskan untuk tetap lari, ada yang memutuskan untuk berbalik dan mencoba memadamkan api neraka itu. Seriously? Betul sekali. Api neraka di rumah tangga kita umumnya masih dapat dipadamkan. Hanya saja proses pemadamannya membutuhkan dedikasi dan komitmen dari semua pihak yang terkait.

Alasan seseorang untuk tetap berlari itu bervariasi. Mungkin saja masalah yang dihadapi terlalu berat untuk diatasi. Mungkin saja jalan keluar yang dicari tidak pernah ditemukan. Mungkin saja orang yang bersangkutan tidak menemukan bantuan yang dia butuhkan untuk memecahkan masalahnya. Mungkin saja orang yang bersangkutan tidak memiliki kesabaran yang cukup untuk mengatasi masalahnya sendiri. Dan masih banyak kemungkinan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan. Intinya tetap satu: kabuuur.
Fight for Kisses
Yang lebih menarik untuk dibicarakan adalah alasan seseorang untuk berbalik dari pelariannya dan menghadapi masalahnya sampai tetes darah penghabisan. Kenapa? Karena bertarung itu lebih jantan. Sayangnya bukan itu alasan saya. Berhenti berlari dan menghadapi masalah adalah bukti keberanian seseorang. Berhasil atau tidaknya masalah diselesaikan itu urusan nanti.

Sebelum tulisan ini tambah melebar, kita kembali kepada topik tulisan ini: rumah yang menjadi neraka. Bagaimana cara kita memadamkan api yang membara di tengah-tengah rumah tangga (keluarga) kita? Bagaimana cara kita mengembalikan kesejukan dan kedamaian di dalam rumah kita? Haruskah kita mulai dari diri kita sendiri?

Rasanya tulisan ini akan menjadi panjang.

Bagi saya pribadi, setiap masalah itu hanya dapat diselesaikan bila kita memiliki determinasi yang cukup untuk mengatasi masalah tersebut. Untuk menyelesaikan masalah dalam keluarga kita, kita butuh alasan yang kuat untuk mempertahankan keutuhan keluarga kita. Tanpa alasan yang tepat (dan kuat), kita tidak akan pernah memiliki determinasi yang kuat saat menyelesaikan masalah kita. Jadi, layak atau tidak keluarga kita dipertahankan, itulah pertanyaannya.

Kalau jawaban dari pertanyaan itu adalah "layak", langkah selanjutnya adalah introspeksi diri. Betul sekali; introspeksi diri. Kita perlu menenangkan diri dan meredam emosi kita sehingga kita dapat berhenti menyalahkan orang lain dan memulai perbaikan dari diri kita sendiri. Dengan meredam emosi, mata hati kita akan menjadi lebih jernih untuk memahami inti masalah yang kita hadapi.

Anger Management
Meredam emosi memang bukan hal yang mudah. Salah satunya adalah lewat pelarian tadi. Jadi, intinya tetap lari dari masalah? Memang benar begitu. Perbedaannya adalah lari di sini hanya untuk sementara. Lari di sini hanya untuk menenangkan diri dan mengembalikan energi kita untuk kembali menghadapi masalah kita. Kita sama-sama tahu bahwa memaksakan diri menghadapi masalah hanya akan membuat kita lelah. Kita butuh istirahat, hati kita pun butuh istirahat. Kita butuh pengalihan dan melarikan diri untuk sementara adalah metode pengalihan yang cukup handal.

Cara yang lain untuk meredam emosi adalah dengan bercerita. Ada kalanya kita perlu berbagi masalah kita dengan orang lain untuk meredam emosi kita. Dengan menceritakan masalah kita kepada orang lain, kita sedang berbagi beban di pundak kita. Saat beban di pundak itu kita lepaskan, saat itu juga emosi kita ikut mereda dengan sendirinya.

Masih ada cara lain untuk meredam emosi ini. Saya bahkan sempat menuangkannya dalam tulisan Menyiasati Marah dalam Keluarga (bagian 1, bagian 2,  bagian 3, bagian 4). Saya pun pernah mendengar kicauan seorang teman, "gw sih biasanya push-up," saat sedang membicarakan cara-cara mengelola emosi. Rasanya setiap orang punya cara yang tepat guna untuk meredam emosi masing-masing.

Dengan emosi yang reda, kepala yang dingin, dan hati yang bersih, jalan keluar akan lebih mudah ditemukan. Introspeksi diri akan menjadi lebih mudah dilakukan. Kita akan menemukan kesalahan-kesalahan dalam diri kita sendiri. Kita akan melihat seberapa besar peran kita dalam menciptakan neraka di dalam rumah kita sendiri. Dengan begitu, kita pun akan lebih objektif menilai kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh anggota rumah tangga kita (termasuk pembantu). Kita pun dapat memilah antara kesalahan yang kecil dan tidak perlu diperpanjang dengan kesalahan yang besar dan perlu ditindaklanjuti. Lalu sedikit demi sedikit, api neraka di rumah tangga kita pun akan segera padam.

Padamnya api neraka rumah tangga ini sebenarnya sudah mulai terjadi saat kita sedang meredam emosi. Kenapa? Karena neraka yang ada di dalam rumah tangga kita sebenarnya ada di dalam hati kita. Emosi kita yang membuat rumah tangga kita terasa panas. Emosi kita yang membuat kita ingin segera pergi dari rumah kita. Emosi kita yang membuat kita ingin terus berlari menjauh dari rumah kita. Emosi kita juga yang membuat kita kehilangan harapan. "Rumahku Nerakaku" itu adalah halusinasi yang dibentuk oleh emosi kita sendiri.

Walaupun begitu, masih banyak rumah tangga lain yang benar-benar menjadi neraka bagi penghuninya. Neraka-neraka ini tidak semuanya sebatas halusinasi yang mudah diatasi dengan meredam emosi dan introspeksi diri. Neraka-neraka ini benar-benar nyata dan terbentuk oleh berbagai masalah rumah tangga yang tidak ada habisnya (atau sulit ditemukan jalan keluarnya). Saya tidak akan berkomentar banyak mengenai neraka-neraka ini karena tulisan ini sendiri sudah sangat panjang. Untuk saat ini, saya hanya bisa mendo'akan agar setiap neraka dalam rumah tangga itu dapat dikembalikan ke fitrahnya sebagai surga atau sekalian dibubarkan sehingga tidak menelan lebih banyak korban jiwa.

Rabu, 07 September 2011

Seminggu Tanpa Pembantu

0 opini
Pembantu Rumah Tangga (PRT) adalah aset yang berharga; sangat berharga. Kehadiran mereka di dalam tempat tinggal kita memang sangat membantu. Banyak sekali pekerjaan yang mereka tangani sehingga memungkinkan kita memiliki lebih banyak waktu untuk diri kita dan keluarga kita sendiri. Hidup terasa lebih berat tanpa kehadiran PRT. Lebay? Mungkin saja.

Idul Fitri adalah waktu yang paling tepat untuk mengukur nilai PRT dalam kehidupan kita. Sejak semua PRT pamit Cuti Lebaran mulai dari tanggal 28 Agustus 2011, saya dan istri berjibaku mengurus rumah dan keluarga. Rutinitas harian kami pun berubah total. Dari yang biasanya bekerja di belakang meja, pekerjaan kami berubah menjadi urusan bersih-bersih rumah dan menjaga anak-anak.

Bagian sebagian orang, mengurus rumah dan anak adalah pekerjaan mudah; karena sudah terbiasa. Bagi kami (lebih tepatnya bagi saya), mengurus rumah dan anak bukanlah perkara mudah. Bahkan urusan bersih-bersih rumah terasa berat (baca: melelahkan dan membosankan). Untungnya urusan masak-memasak dapat ditangani oleh istri saya. Pengeluaran rumah tangga pun tidak terlalu boros untuk membeli makanan dari luar rumah. Urusan mencuci pakaian pun ditangani istri saya dengan baik, walaupun akhirnya harus mengalah dan mengandalkan jasa cuci kiloan.

Akan tetapi, urusan yang paling menantang buat saya adalah urusan anak-anak. Urusan mandi, makan, toilet, tidur, menenangkan saat marah dan menangis, melerai saat bertengkar, menemani mereka main dan menonton, dan berbagai urusan lainnya, adalah urusan yang jauh lebih melelahkan dibandingkan urusan rumah. Kalau urusan rumah menghabiskan energi lahir, urusan anak-anak itu menghabiskan energi batin. Bagi saya, kehabisan energi batin (capek ati) itu jauh lebih melelahkan dibandingkan kehabisan energi lahir (capek doank).

Untungnya prinsip No Pain No Gain tetap berlaku. Tanpa kehadiran PRT selama Cuti Lebaran ini, saya dan istri saya kembali merasakan pengalaman mengurus anak 24/7. Tidak ada satu detik pun dalam hidup kami tanpa kehadiran anak-anak selama masa Cuti Lebaran ini. Walaupun melelahkan, banyak hal menyenangkan yang kami alami bersama. Banyak pula hal baru (tapi lama) yang saya dan istri saya temukan selama berinteraksi dengan anak-anak kami, Raito dan Aidan.

Anger Management
Di hari-hari biasa, interaksi saya dengan anak-anak itu terbatas pada malam hari saja, kecuali di akhir pekan. Di akhir pekan, saya bisa menghabiskan waktu seharian bersama anak-anak saya. Sangat terasa sekali bedanya selama Cuti Lebaran ini. Naik turunnya emosi saat menghadapi tingkah polah anak-anak benar-benar seperti mengendarai roller coaster. Di satu waktu saya dapat tertawa lepas melihat tingkah laku anak-anak, sementara di waktu yang lain saya merasa ingin menjitaki mereka satu per satu melihat keras kepalanya mereka.

Saya sendiri sadar bahwa mengelola amarah memang tidak pernah semudah membaca berbagai kata-kata bijak atau petunjuk-petunjuk praktis dalam teori pengelolaan amarah. Hanya saja mengurus anak-anak selama PRT tidak ada ini benar-benar membuka mata saya akan sulitnya mengelola amarah. Pada akhirnya, metode-metode pengelolaan amarah (emosi) yang biasa saya terapkan pun seolah-olah tidak memiliki pengaruh apa pun. Sulit sekali mengelola amarah di tengah-tengah keluarga. Benar-benar pengalaman yang luar biasa.

Sesi Makan yang Melelahkan
Salah satu waktu yang membuat saya ingin menjitaki Raito dan Aidan itu adalah sesi makan, baik makan pagi, makan siang, maupun makan malam. Waktu yang dibutuhkan untuk menyuapi satu anak saja antara 1 s.d. 2 jam. Untung saya dan istri saya bekerja paralel (masing-masing menyuapi 1 anak). Kalau sampai saya atau istri saya harus menyuapi 2 anak, itu artinya butuh waktu 2 s.d. 4 jam untuk menyuapi Raito dan Aidan.

Terlepas dari anger management, satu hal yang saya sadari lewat sesi makan anak-anak adalah anak-anak itu lebih mudah makan saat mereka lapar. Sebelumnya anak-anak saya memiliki jadwal makan pagi, siang, dan malam yang teratur. Akan tetapi, jadwal makan mereka ini kelihatannya tidak sesuai dengan waktu lapar mereka. Oleh karena itu, mereka seringkali terlihat ogah-ogahan saat disuapi.

Saat jadwal makan mereka disesuaikan dengan waktu lapar mereka, sesi makan menjadi lebih cepat. Apalagi kalau makanan yang disajikan adalah makanan favorit mereka. Sesi makan anak-anak dapat berubah menjadi menyenangkan. Mereka kenyang, kami (saya dan istri) senang. Kami pun jadi punya lebih banyak waktu untuk mengerjakan pekerjaan yang lain (baca: istirahat).

Kerja Tim
Hal lain yang membekas dalam benak saya selama PRT mengambil Cuti Lebaran adalah kerja tim. Tim yang mana? Tentu saja duet antara saya dan istri saya. Bahu-membahu bersama istri untuk mengurus rumah dan anak-anak jelas membuat semua urusan terasa lebih ringan. Ada kalanya kami bekerja paralel, ada kalanya kami bekerja bergantian. Tujuan akhirnya adalah semua urusan yang harus dikerjakan itu masuk ke dalam status Completed.

Dalam konteks mengurus anak-anak, kerja tim ini menjadi lebih penting lagi. Kaitannya sangat erat dengan mengelola amarah yang saya paparkan di atas. Saat saya sudah tidak tahan lagi menyikapi tingkah laku Raito dan Aidan, istri saya masuk dan menggantikan. Hal yang sama pun berlaku sebaliknya. Dengan begitu, tidak ada satu pun dari kami yang harus memaksakan diri menahan emosi kami di depan anak-anak.

Masih banyak lagi pengalaman lain yang dapat saya tuangkan dalam tulisan ini, tapi saya rasa tulisan ini akan menjadi terlalu panjang dan tidak nyaman untuk dibaca. Saya yakin Anda (yang sedang membaca tulisan ini) pun memiliki pengalaman yang serupa (tapi tak sama) dengan pengalaman saya ini; terutama kalau Anda memiliki 2 anak laki-laki kembar berumur 3 tahun yang tingkahnya ingin membuat Anda mengeluarkan kamehameha. Silakan berbagi pengalaman hidup Anda tanpa PRT di bagian komentar.

Minggu, 21 Agustus 2011

6 Tahun Terlewati

0 opini
20 Agustus 2011. 6 tahun sudah saya menikah dengan Ratna Aditia. Berbagai suka dan duka sudah kami lewati bersama. Roda pernikahan kami sudah berputar berkali-kali. Kebahagiaan pada puncaknya sudah kami rasakan, kesedihan pada puncaknya (atau lembahnya?) pun sudah kami rasakan; berkali-kali. Ada banyak pengalaman baru yang kami alami bersama, baik manis maupun pahit. Semua itu pada akhirnya membentuk hubungan yang kuat di antara kami.

Ucapan Selamat dengan Photo-tagging
Hubungan yang kuat? Betul sekali. Kekuatan hubungan antara saya dan istri saya setelah enam tahun menikah terasa sekali bedanya bila dibandingkan dengan waktu awal pernikahan. Kenapa begitu? Bukankah di awal pernikahan itu justru suami dan istri sedang on fire? Memang begitu. Hanya saja kemesraan di awal pernikahan itu tidak menandakan hubungan yang kuat. Justru pasangan pengantin baru itu lebih identik dengan kelabilan daripada kestabilan.

Setelah 6 tahun menikah, banyak hal yang berubah ke arah yang lebih baik. Kepentingan bersama senantiasa berada di posisi lebih tinggi dibandingkan kepentingan pribadi masing-masing. Mulai dari kepercayaan, keterbukaan, rasa saling mengerti, kemauan untuk mengalah, sampai kestabilan emosi, karakter saya dan istri saya berkembang menjadi lebih dewasa. 6 tahun adalah waktu yang signifikan untuk membentuk perubahan-perubahan yang baik ini.

Pernikahan justru membantu kita menjadi lebih dewasa ...
Menjadi dewasa setelah menikah? Benar sekali. Saya pernah menuangkan pendapat saya mengenai menjadi dewasa setelah menikah lewat tulisan Maturity Through Marriage. Kita memang memerlukan tingkat kedewasaan tertentu untuk menikah, namun proses menjadi dewasa itu tidak pernah berhenti; apalagi hanya dengan pernikahan. Pernikahan justru membantu kita menjadi lebih dewasa seiring waktu yang kita lalui untuk menyelaraskan kebutuhan dan kepribadian kita dengan pasangan kita.

Salah satu perubahan yang paling terasa adalah dari sisi keterbukaan dan kepercayaan. Kenapa "paling terasa"? Karena sebelum menikah saya adalah orang yang sangat tertutup; terutama saat ada masalah. Saya seringkali menyimpan masalah yang saya hadapi di dalam hati saya dan berusaha mengatasinya sendiri. Sifat tertutup saya ini menjadi sumber konflik dalam pernikahan saya. Namun semua itu berubah setelah saya belajar untuk lebih terbuka dan mulai banyak menceritakan masalah-masalah saya kepada istri saya.

Anger management pun jauh membaik. Rasanya di awal pernikahan itu konflik mudah sekali muncul. Selisih pendapat mudah sekali terpicu. Pertengkaran mudah sekali terjadi. Awal pernikahan itu benar-benar on fire. Bukan hanya dari sisi kemesraan, tapi juga dari sisi emosi. Betapa mudahnya emosi itu terpancing karena adanya ketidakcocokan di antara saya dan istri saya. Untungnya setelah bertahun-tahun menikah, kami menjadi lebih mampu mengendalikan emosi dan melangkah lebih jauh untuk saling memahami.

Masih banyak lagi perubahan baik yang dapat saya ceritakan, tapi saya rasa intinya sudah tersampaikan lewat beberapa contoh di atas. Yang pasti perjalanan saya bersama istri saya masih panjang. Masih banyak pengalaman baru yang akan kami temukan, masih banyak perubahan-perubahan baik yang dapat kami capai. Satu hal yang pasti, 6 tahun pernikahan saya adalah sesuatu yang patut saya syukuri.

Hubungan saya dan istri saya memang jauh lebih kuat setelah 6 tahun menikah, tapi itu bukan berarti hubungan kami 100% "aman". Pasangan-pasangan dengan usia pernikahan yang jauh lebih tua dari kami pun masih mungkin berpisah, apalagi kami yang baru menikah selama 6 tahun. Perjalanan kami memang benar-benar masih panjang.

Akan tetapi, kami tetap optimis (atau mungkin hanya saya yang optimis?) bahwa hubungan kami dapat bertahan sampai kehidupan akhirat. Berbagai masalah telah kami lewati, berbagai konflik telah kami atasi; baik kecil maupun besar. Ada banyak pelajaran yang tersirat dan tersurat saat menjalani berbagai masalah dan konflik tersebut. Dapat saya katakan bahwa amunisi kami cukup untuk membombardir setiap masalah yang akan datang di masa depan.

20 Agustus 2011. 6 tahun pernikahan sudah terlewati. Puluhan tahun pernikahan masih menanti. Semoga hubungan saya dan istri saya langgeng sampai di surga nanti. Aamiin ya rabbal 'aalamiin.

Jumat, 12 Agustus 2011

Menjadi Ayah (dan Suami) di Bulan Ramadhan

0 opini
Bagi umat Islam, bulan Ramadhan adalah bulan penuh kebaikan. Di bulan Ramadhan ini, setiap Muslim sudah pasti melaksanakan ibadah puasa. Tentu saja puasa yang dimaksud bukan sekedar menahan lapar dan dahaga, tapi juga puasa dalam konteks menahan amarah dan syahwat. Di bulan Ramadhan ini, setiap Muslim pun tidak akan sungkan beramal. Frekuensi shalat sunnah diperbanyak, sedekah diperbanyak, semangat bekerja semakin tinggi, kejujuran semakin kokoh, dan berbagai kebaikan lain yang diperbanyak dan diperkuat selama bulan Ramadhan ini.

Di bulan Ramadhan ini, seiring dengan meningkatnya kualitas dan kuantitas amal baik yang dilakukan, kebaikan dalam diri seseorang pun akan meningkat. Bahkan dapat dikatakan bahwa di bulan Ramadhan ini, setiap Muslim akan mencapai titik maksimal kebaikan masing-masing. Kejujuran akan dimaksimalkan, integritas pun ikut dimaksimalkan, profesionalisme pun pada akhirnya menjadi maksimal. Masih banyak lagi kebaikan lain yang dimaksimalkan dalam diri setiap Muslim yang berpuasa di bulan ini.

Hal yang sama juga dapat terjadi dalam menjalankan peran kita sebagai seorang ayah dan sebagai seorang suami di tengah-tengah keluarga kita. Di bulan Ramadhan ini, kita pun dapat memaksimalkan kebaikan yang ada dalam diri kita sebagai seorang ayah dan seorang suami. Kebaikan maksimal ini dapat kita terapkan dalam keluarga kita lewat kiat-kiat berikut ini:
  1. Memaksimalkan kesabaran.
    Bulan Ramadhan adalah bulan paling kondusif untuk mengelola amarah (bahasa gaulnya: anger management). Bukan hanya kita, tapi orang-orang di sekitar kita pun mengelola amarah mereka di bulan ini. Oleh karena itu, bulan Ramadhan adalah bulan yang paling tepat untuk memaksimalkan kesabaran. Kita dapat menekan frekuensi amarah di tengah keluarga kita dengan menyikapi setiap masalah dalam keluarga dengan bijaksana.
  2. Memaksimalkan sesi makan sahur dan berbuka.
    Saya yakin kita semua pernah mendengar betapa pentingnya sesi makan bersama keluarga. Sesi makan ini sangat baik bila dimanfaatkan sebagai media komunikasi dengan istri dan anak-anak kita. Akan tetapi, mewujudkan sesi makan bersama keluarga ini kadang sulit; umumnya karena alasan pekerjaan. Di bulan ramadhan ini, sesi makan bersama akan semakin mudah terwujud lewat sahur bersama dan buka puasa bersama. Tidak hanya nuansa kebersamaan yang ada dalam sahur dan buka puasa bersama keluarga kita, tapi nuansa religius yang ada pun akan membantu mempererat kebersamaan itu.
  3. Memaksimalkan keteladanan.
    Mulai dari meningkatkan kesabaran dan kebijaksanaan sampai meningkatkan kuantitas (dan juga kualitas) kebersamaan dengan istri dan anak-anak kita, kita secara tidak langsung telah menjadi teladan yang baik dalam keluarga kita. Akan lebih baik kalau kita juga mulai membiasakan kebaikan-kebaikan kecil seperti membantu pekerjaan istri, menemani anak-anak bermain, atau lainnya. Dengan begitu, hubungan kita dengan keluarga akan bertambah erat sehingga keteladanan kita akan memiliki dampak yang lebih mendalam.
Masih banyak kiat-kiat lain yang dapat kita terapkan dalam keluarga kita selama bulan Ramadhan. Penerapannya sendiri kembali kepada masing-masing ayah (atau suami) karena kondisi keluarga setiap orang itu berbeda. Saya sendiri saat ini fokus pada tiga kiat yang sudah saya sebutkan di atas. Alhamdulillah saya pun merasakan manfaatnya.

Dengan lebih bersabar menyikapi masalah dalam keluarga, hati saya menjadi lebih tenang. Hal ini dikarenakan kemarahan saya itu seringkali menimbulkan penyesalan dalam diri saya sendiri. Selain itu, istri dan anak-anak saya pun menyikapi perbaikan sifat saya ini dengan perubahan positif. Yang paling terlihat adalah perubahan pada anak-anak saya. Tanpa keterlibatan emosi (atau rasa takut), anak-anak saya menjadi lebih berani mengakui kesalahan mereka dan tidak segan-segan meminta maaf.

Dengan adanya sesi makan sahur, saya punya waktu lebih banyak bersama istri saya. Anak-anak saya sendiri belum mencapai usia yang cukup untuk ikut berpuasa. Makan sahur berdua bersama istri saya memberikan waktu ekstra untuk saling berbagi pengalaman dan bertukar cerita; salah satu proses yang layak dilakukan untuk menjaga keterbukaan dan keharmonisan. Hal yang sama juga berlaku untuk sesi buka puasa. Bedanya adalah anak-anak saya ikut terlibat dalam sesi buka puasa tersebut.

Untuk keteladanan sebenarnya konsekuensi dari dua perubahan di atas, yaitu semakin mempererat hubungan saya dengan istri dan anak-anak. Hubungan yang erat ini yang memungkinkan saya menjadi teladan bagi istri dan anak-anak saya. Tidak mungkin saya menjadi teladan kalau istri dan anak-anak saya itu tidak menyukai saya. Pada akhirnya kebiasaan-kebiasaan saya (yang baik) pun dapat dengan mudah mereka lihat dan ikuti. Dampak positifnya adalah saya tidak perlu repot-repot memaksa mereka (terutama anak-anak saya) untuk mengikuti kebiasaan-kebiasaan saya.

Pada intinya, bulan Ramadhan ini adalah bulan yang tepat untuk memaksimalkan kebaikan. Dengan begitu, bulan Ramadhan ini dapat kita manfaatkan untuk menjadi seorang ayah (atau suami) yang lebih baik bagi anak-anak dan istri kita. Tentu saja dengan harapan bahwa kebaikan yang kita bentuk selama Ramadhan ini akan tetap langgeng sampai Ramadhan berikutnya; bahkan sampai akhir hayat.

Selasa, 28 Juni 2011

Nasi dan Lauk dalam Pernikahan

3 opini
Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah diskusi dengan seorang kenalan. Diskusi dilakukan secara virtual di sebuah jejaring sosial yang namanya diawali dengan huruf F dan diakhiri dengan huruf K. Diskusi yang dimaksud lebih tepat dikatakan berbalas komentar. Lebih tepat lagi kalau dikatakan komentar satu arah, bukan diskusi, karena panjangnya komentar saya benar-benar mendominasi.

Dalam obrolan virtual itu kami membicarakan makanan pokok dan makanan sampingan. Untuk selanjutnya, makanan pokok akan saya sebut nasi dan makanan sampingan akan saya sebut lauk. Saat itu kami membicarakan posisi nasi dan lauk dalam hubungan suami istri. Tentu saja yang dimaksud dengan nasi dan lauk di sini bukan nasi dan lauk dalam arti sebenarnya, tapi nasi dan lauk ini adalah perumpamaan. Sesuatu yang sifatnya pokok dalam hubungan suami istri, kami umpamakan nasi. Sesuatu yang sifatnya sampingan dalam hubungan suami istri, kami umpamakan lauk.

Untuk menjaga hubungan rumah tangga yang baik, nasi dan lauk memiliki peranan yang sama-sama penting. Keduanya diperlukan untuk membentuk hubungan suami istri yang kuat, harmonis, dan penuh kemesraan. Di awal pernikahan, nasi dan lauk akan terlihat begitu menggiurkan dan memuaskan untuk dihabiskan. Lambat laun rasa bosan pun datang. Bila makanan yang tersedia tidak bervariasi, suami atau istri mungkin akan berpikiran mencari variasi di luar rumah masing-masing.

Kalau lauk saja yang bermasalah, hubungan suami istri mungkin saja tetap bertahan. Sayangnya kemesraan yang ada di awal pernikahan dapat dipastikan akan memudar dengan segera karena suami atau istri sibuk mencari lauk di luar rumah masing-masing. Kondisi yang sama akan terjadi bila nasi yang tersedia pun bermasalah. Suami atau istri pun akan sibuk mencari nasi di tempat yang lain.

Walaupun begitu, nasi yang bermasalah akan memberi dampak negatif yang lebih besar lagi. Kalau yang pokok saja tidak tersedia sesuai harapan, kemungkinannya sangat besar seseorang akan memilih untuk meninggalkan tempat tinggalnya. Jadi dengan nasi yang bermasalah ini, kemungkinan terjadinya perceraian akan bertambah besar secara signifikan. Kalau pun tidak terjadi perceraian, suami dan istri yang terkait akan kesulitan menemukan alasan untuk mempertahankan pernikahan mereka.

Oleh karena itu, nasi dan lauk itu harus diperhatikan oleh orang-orang yang menginginkan hubungan pernikahan yang kuat, harmonis, dan senantiasa mesra. Untuk hubungan pernikahan seperti ini diperlukan nasi dengan kualitas yang baik dan lauk dengan variasi yang tepat. Jangan karena sudah menikah, suami atau istri serta-merta memaksakan slogan "terima apa adanya" ke pasangan mereka. Slogan ini seharusnya digunakan sebagai pilihan terakhir. Yang perlu kita pikirkan terlebih dahulu adalah bagaimana membuat nasi dan lauk dalam pernikahan ini senantiasa menggiurkan dan memuaskan.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai nasi dan lauk itu tertukar. Jangan sampai makanan pokok dan makanan sampingan itu tertukar karena keduanya memiliki peranan yang berbeda. Nasi itu berfungsi sebagai sumber energi utama. Sementara lauk memiliki fungsi sebagai pelengkap atau penyedap rasa. Keduanya sama-sama penting, tapi masing-masing memiliki derajat urgensi yang berbeda.

Contoh kongkrit dari nasi dan lauk ini antara lain akhlak dan kecantikan. Akhlak adalah pokok dan kecantikan adalah sampingan. Akhlak yang baik itu penting. Tampil cantik di depan suami pun tak kalah pentingnya. Walaupun begitu, akhlak yang baik tetap lebih diutamakan daripada kecantikan yang berfungsi sebagai pelengkap.

Kalau seorang istri hanya mengandalkan akhlak yang baik, suami akan mencari kecantikan di luar rumah. Pada kenyataannya, kecantikan ini dapat dengan mudah ditemukan tanpa dicari. Kalau kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, kemesraan dalam hubungan pernikahan antara suami dan istri akan segera memudar. Ini alasannya kenapa setiap istri perlu berusaha untuk terlihat cantik di depan suaminya.

Kalau sampai akhlak yang baik pun tidak ada dalam diri istri, suami akan lebih mudah lagi meninggalkan rumah. Kali ini yang dicari bukan sekedar kecantikan, tapi justru pengganti istri. Saat seseorang kehilangan hal yang pokok dalam hidupnya, pelengkap sebanyak apa pun tak akan pernah cukup. Dalam kondisi ini, kecantikan istri tidak lagi penting. Suami akan mencari wanita dengan akhlak yang lebih baik dengan kecantikan yang tidak jauh berbeda dengan istrinya. Bukan hanya kemesraan yang akan memudar di sini, tapi hubungan suami istri yang terjalin pun kemungkinan besar akan retak atau bahkan putus.

Yang pokok dan yang sampingan harus sama-sama dijaga sesuai dengan porsi dan prioritasnya. Porsi dan prioritas di sini mungkin berbeda untuk masing-masing pasangan. Bisa jadi hal-hal yang termasuk pokok dan hal-hal yang termasuk sampingan pun berbeda untuk masing-masing pasangan. Akhlak dan kecantikan di atas adalah contoh dari sudut pandang saya sendiri. Jangan sampai kita terpaku pada dua hal itu saja.

Saya mengambil kecantikan sebagai contoh pelengkap pun tanpa maksud tertentu. Kita bisa mengambil ketampanan sebagai contoh pelengkap dari sudut pandang seorang wanita. Ini pun sifatnya masih subjektif. Mungkin menjadi tampan bukan hal yang penting bagi para istri, tapi saya yakin suami yang berpenampilan menarik di depan istri dapat menjadi penyedap dalam hubungan suami istri.

Masih ada banyak contoh lain yang dapat kita temukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Kesabaran istri dalam merawat anak-anak atau kemampuan suami menghidupi keluarga adalah contoh hal-hal pokok. Paras yang cantik atau kulit yang putih adalah contoh hal-hal sampingan. Semuanya perlu dijaga sesuai porsi dan prioritasnya dalam hubungan suami istri masing-masing pasangan. Tujuan akhirnya tentu saja demi mencapai hubungan pernikahan yang kuat, harmonis, dan senantiasa penuh kemesraan.

Kamis, 09 Juni 2011

Memutus untuk Menyambung

0 opini

Judul video yang saya sertakan di atas adalah "Disconnect to Connect". Video tersebut adalah iklan yang memperlihatkan perilaku penggunaan gadget secara umum. Walaupun iklan tersebut tidak didukung dengan data empiris seperti survei atau sejenisnya, perilaku dalam video tersebut dapat kita lihat di lingkungan sekitar kita. Bahkan mungkin saja perilaku penggunaan gadget dalam video tersebut merupakan cerminan dari perilaku kita sendiri.

Berdasarkan pengamatan saya pribadi, perilaku penggunaan gadget seperti BlackBerry, smartphone berbasis Android, iPhone, dan sejenisnya memang dapat mengganggu (kalau tidak merusak) perilaku sosial seseorang di dunia nyata. Seperti yang digambarkan dalam iklan di atas, orang yang sibuk dengan gadget mereka ibarat hidup sendirian di tengah keramaian. Mereka masuk ke dalam dunia virtual masing-masing dan secara tidak langsung keluar dari dunia nyata.

Oleh karena itu, pesan moral yang ingin disampaikan iklan di atas itu jelas. Saat kita terhubung ke dunia virtual, maka hubungan kita dengan dunia nyata akan terputus. Untuk kembali terhubung ke dunia nyata, kita harus memutus hubungan kita dengan dunia virtual. Kita memang diberkahi kemampuan untuk multi tasking, tapi perhatian kita sudah pasti akan terpecah saat menghadapi lebih dari satu urusan. Mengerjakan lebih dari satu hal pada hal yang sama itu bisa dilakukan, tapi perhatian (konsentrasi) kita akan terpecah.

Saat kita chatting dengan salah seorang teman kita dan mengobrol dengan istri kita, perhatian kita akan terpecah ke teman kita dan istri kita. Pembagian perhatian ini pun tidak selalu 50:50. Bukan tidak mungkin perhatian ke teman kita justru lebih besar dibandingkan ke istri kita. Contoh lain saat kita sedang menikmati tontonan terbaru sambil menemani anak-anak kita bermain. Dapat dipastikan bahwa perhatian kita pada anak-anak kita akan berkurang. Bukan tidak mungkin 100% perhatian kita tertuju pada tontonan dan baru beralih kepada anak-anak kita bila kita sudah mendengar tangisan mereka.

Tidak mungkin 100% perhatian kita akan tertuju pada dunia nyata di sekitar kita saat kita menyibukan diri dengan dunia virtual. Tidak mungkin 100% perhatian kita akan tertuju pada perkembangan rapat yang kita ikutibila kita menyibukan diri dengan update status kita di Facebook, Twitter, atau jejaring sosial lainnya. Tidak mungkin 100% perhatian kita akan tertuju pada mendengarkan kata-kata istri kita bila kita menyibukan diri dengan Facebook, Twitter, Yahoo Messenger, WhatsApp, blogging, bermain game, atau kegiatan lainnya dengan gadget/device kita.

Ada banyak hal dalam kehidupan nyata yang akan kita lewatkan saat kita hidup dalam dunia virtual kita. Contohnya kesempatan untuk bercengkrama dengan istri atau bermain dengan anak-anak akan terlewatkan bila kita menghabiskan lebih banyak waktu untuk hidup di dalam dunia jejaring sosial. Saya teringat pertengkaran sebuah pasangan yang disebabkan karena salah satu pihak meluangkan lebih banyak waktu di Facebook. Teringat juga sebuah puisi unik dari Serafina Ophelia berjudul "Ibu dan Facebook" yang berisi kritik kocak terhadap para ibu yang terlalu sering mengakses Facebook.

Teknologi hadir untuk memberikan kemudahan kepada manusia. Manusia itu sendiri yang menentukan apakah teknologi yang ada itu akan memberikan manfaat atau sebaliknya menyebabkan masalah.
Terus terang keterlibatan yang tinggi dalam dunia virtual ini bukanlah sesuatu yang mengherankan. Kemajuan teknologi membuat dunia virtual menjadi jauh lebih interaktif dan menyenangkan bila dibandingkan dengan dunia nyata. Kemajuan teknologi pun berperan besar untuk membuat dunia virtual ini lebih mudah dijangkau oleh banyak orang. Jadi tingginya intensitas orang-orang dalam dunia virtual lewat gadget yang mereka miliki ini dapat dimaklumi.

Tentu saja kita tidak dapat menyalahkan teknologi di sini. Teknologi hadir untuk memberikan kemudahan kepada manusia. Manusia itu sendiri yang menentukan apakah teknologi yang ada itu akan memberikan manfaat atau sebaliknya menyebabkan masalah. Saya sendiri pengguna smartphone. Alhamdulillah saya merasakan manfaatnya. Saya dapat mengakses situs web langganan, menerima dan mengirim email, mengolah spreadsheet (Excel), mengatur jadwal kegiatan, berkomunikasi lewat jejaring sosial atau platform chatting dan berbagai hal lain yang biasanya harus saya lakukan di komputer.

Saya pun merasakan celakanya. Misalnya interaksi saya lewat Facebook dan Twitter pun meningkat drastis. Seolah-olah setiap detik kehidupan saya harus dipublikasikan lewat Facebook dan Twitter itu. Status pun menjadi hal yang penting bagi saya. Interaksi saya dengan istri dan anak-anak di rumah secara garis besar berkurang karena saya sibuk dengan dunia virtual saya sendiri. Oleh karena itu saya memutuskan untuk mengurangi interaksi saya dengan dunia virtual ini.

Interaksi dengan Facebook dan Twitter saya batasi. Paling tidak saya berusaha keras untuk menegaskan kepada diri saya agar mengurangi interaksi ini selama saya di rumah bersama istri dan anak-anak. Kegiatan yang melibatkan gadget seperti bermain game, menonton film, membaca manga scanlation pun saya kurangi untuk memperbanyak waktu bersama keluarga. Pembatasan ini bukanlah hal yang mudah bagi saya, tapi paling tidak saya sudah melangkah ke arah sana.

Saya teringat sebuah poster iklan yang menggambarkan satu keluarga yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Ayahnya sedang sibuk dengan smartphone, ibu sedang sibuk dengan gadget sejenis iPad, dan anaknya sedang sibuk dengan game console. Mereka bertiga memang berkumpul bersama, tapi saya yakin mereka bertiga sedang berada di tempat yang berbeda. Saya tidak ingin memiliki keluarga seperti itu. Bukan berarti saya tidak ingin keluarga saya melek teknologi. Saya hanya tidak ingin suasana berkumpul bersama keluarga saya menjadi tidak ada artinya karena setiap orang sibuk dengan dunianya sendiri-sendiri. Dengan begitu, saya pun berusaha untuk MEMUTUS hubungan saya dengan dunia virtual untuk kembali MENYAMBUNG hubungan saya dengan dunia nyata di sekitar saya.

Jumat, 27 Mei 2011

Ibu, bukan Martir

2 opini
Menjadi seorang ibu tentu tidak mudah. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur'an, "ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun" (31:14). Kelemahan ini sering disebut sebagai kehamilan, persalinan dan menyusui. Tapi itu hanya awalnya.

Ibu berada di "parit" rutinitas penggantian popok, membantu mengerjakan pekerjaan rumah, memasak makan malam, menjaga kedisiplinan dan menyeimbangkan antara pekerjaan, menjemput anak-anak dari sekolah, dan menghadiri pertandingan sepak bola anak-anak. Rutinitas harian melayani keluarga ini dapat menyerap begitu banyak energi dari seorang ibu dan menyebabkan dia kehilangan keseimbangan dan perspektif terhadap dirinya sendiri. Ketika seorang wanita kehilangan makna yang mendalam dari peran seorang ibu, dia mungkin akan merasa bahwa tugas seorang ibu adalah untuk mengorbankan dirinya sendiri (menjadi martir) dengan mendahulukan kepentingan keluarganya. Tapi memikul semua beban dan kesulitan seperti itu bukanlah cara untuk menjadi ibu yang baik. Sikap seperti itu akan menghabiskan energi seorang wanita, dan mungkin dapat menumbuhkan kebencian, membuatnya berpikir bahwa anak-anak dan anggota keluarga yang lain "berhutang" kepada dirinya sebagai imbalan atas semua pengorbanannya.

Sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada kita: "Tidaklah berkurang harta yang disedekahkan." Apa sedekah yang lebih baik dibandingkan sedekah seorang ibu yang berkorban demi mengurus keluarganya? Akan tetapi, seperti halnya dengan berbagai bentuk memberi, balasannya ada dalam proses memberi, bukan dalam balasan dari orang yang kita beri. Sesungguhnya semua bentuk memberi itu membawa manfaat kepada pemberi, bila dilakukan dengan baik dan benar.

Menjadi seorang ibu itu bukan menjadi seorang martir. Menjadi seorang ibu adalah menghormati kepercayaan dan tanggung jawab membesarkan anak serta menghargai diri sendiri sebagai wanita yang kuat.
Keibuan adalah sebuah perjalanan yang memungkinkan seorang wanita untuk menyaksikan perkembangan anak-anak serta untuk mengembangkan diri menjadi lebih kuat dan lebih bijaksana. Allah memberkati wanita yang memiliki anak-anak dan para ibu ini pun berjanji kepada Allah untuk memelihara anak-anak mereka hingga dewasa. Melalui proses mengasuh anak, seseorang akan menyadari bahwa mengasuh itu adalah juga tentang memberi contoh gaya hidup yang seimbang dan sehat kepada anak-anak. Menjadi seorang ibu itu bukan menjadi seorang martir. Menjadi seorang ibu adalah menghormati kepercayaan dan tanggung jawab membesarkan anak serta menghargai diri sendiri sebagai wanita yang kuat. Anak-anak akan menghormati ibu mereka sebagai wanita yang melayani keluarga demi menggapai ridha Allah. Tanggung jawab keibuan membuat seorang wanita tumbuh lebih kuat secara fisik, mental dan spiritual karena dia diuji di semua sisi kehidupannya. Dia belajar untuk melayani orang-orang di sekitarnya dengan tujuan mencapai ridha Allah tanpa harus kehilangan kendali terhadap dirinya sendiri. Seorang ibu seharusnya tidak menjadi lemah melalui proses memberi kepada keluarganya, tapi justru menjadi lebih kuat dan lebih seimbang.

Berikut ini adalah enam cara bagi para ibu untuk menemukan keseimbangan dan tetap fokus melewati hari-hari sulit mengasuh anak-anak serta menikmati perjalanan keibuan mereka:

1. "Saya akan mengingatkan diri saya setiap hari bahwa waktu saya bersama anak-anak saya itu sangat berharga."

Suatu hari nanti, masa kanak-kanak akan berakhir dan "bayi" kita akan tumbuh dewasa. Anak-anak kita berubah setiap hari dan tumbuh menjadi dewasa. Mengasuh anak adalah merayakan peristiwa sehari-hari bersama anak-anak ketimbang sekedar fokus pada waktu peralihan kehidupan anak-anak kita. Yang akan kita kenang adalah waktu berkualitas yang kita habiskan bersama anak-anak kita dan waktu yang kita gunakan untuk berkomunikasi dan berbagi dengan anak-anak kita. Kegiatan duniawi dalam hidup kita adalah cara kita membentuk hubungan dengan anak-anak kita, sehingga kita perlu melihat anak-anak kita sebagai pengalaman bersosialisasi daripada sekedar kegiatan yang perlu dilewati untuk menuju kegiatan berikutnya.

2. "Saya akan mengurus diri saya."

Baik secara fisik, mental maupun spiritual. Dengan terus-menerus memberikan perhatian kepada anak-anak kita dan suami, kita seringkali lupa mengurus diri kita sendiri atau kita seringkali menempatkan kebutuhan kita di urutan terakhir. Beberapa ibu bahkan tidak menempatkan kebutuhan diri mereka dalam urutan mana pun. Hanya saja sebagai ibu kita hanya dapat memberikan sebanyak yang kita miliki, dan jika kita tidak mengisi ulang tangki kita sendiri maka tidak ada lagi yang tersisa untuk diberikan. Menjaga tubuh kita melalui latihan sangat penting untuk kesehatan fisik kita serta meningkatkan suasana hati kita dan energi secara keseluruhan. Menghabiskan waktu berolahraga itu bukan egois, tidak penting atau sekedar kegiatan tambahan. Hal ini harus dilihat sebagai prioritas untuk melakukan tugas kita sebagai seorang ibu dengan baik. Menjaga kondisi mental dan spiritual juga penting karena ini adalah area yang paling menantang dan terkuras ketika membesarkan anak-anak kita. Tujuan dari shalat kita adalah untuk membantu kita kembali fokus dan menata kehidupan kita yang sibuk, khususnya sebagai ibu. Karena wanita adalah "jantung" sebuah rumah tangga, kita harus memiliki hati yang tenang dan damai untuk memberikan keseimbangan ke tengah keluarga kita. Mencari dan mempertahankan rasa percaya diri dan kebahagiaan pada akhirnya akan terwujud pada diri anak-anak kita dan suami kita.

3. "Saya bukan ibu yang sempurna."

Banyak ibu-ibu Muslim memiliki pandangan yang sangat idealis dari pengasuhan atau harapan yang tinggi dari diri mereka sendiri sebagai seorang ibu. Anak-anak kita tidak membutuhkan kita menjadi sempurna dan mereka dapat dengan mudah memaafkan kita ketika kita mengakui kesalahan dan menunjukkan ketidaksempurnaan kita. Kita harus menerima bahwa mungkin bagi kita untuk melakukan kesalahan dan hal ini akan menjadi kesempatan bagi kita untuk tumbuh menjadi ibu yang lebih cerdas. Kita perlu memaafkan diri sendiri dan melepaskan diri dari beban perjuangan demi kesempurnaan. Kita perlu menghilangkan pola pikir bahwa ibu-ibu yang lain itu sempurna dan melakukan segalanya dengan benar. Kita hanya bisa melakukan yang terbaik dengan kemampuan yang kita miliki dan kita harus fokus pada hal-hal yang penting, yaitu hubungan kita dengan anak-anak kita. Makan malam tidak akan selalu menakjubkan, piring tidak akan selalu bersih, dan cucian akan menumpuk, tetapi ketika anak-anak kita menjadi dewasa mereka tidak akan ingat semua itu, melainkan mereka akan ingat waktu yang mereka habiskan bersama kita dan percakapan yang mereka lakukan dengan kita.

4. "Saya akan mengutamakan pernikahan saya."

Anak-anak memberikan tekanan yang besar pada pernikahan, terutama bagi para ibu dengan anak-anak belia. Banyak ibu fokus pada kebutuhan anak-anak mereka dan dalam prosesnya mengabaikan hubungan dengan suami. Kelelahan secara fisik dan emosi menyisakan hanya sedikit energi untuk diberikan kepada suami mereka dan sikap ini dapat menyebabkan terputusnya hubungan suami-istri. Sangat penting bahwa kita untuk menemukan keseimbangan dalam pernikahan dan mengasuh anak karena tidak hanya baik bagi anak-anak kita untuk melihat hubungan yang sehat antara ayah dan ibu mereka, tetapi juga baik untuk kesehatan mental kita. Hubungan dengan pasangan kita akan menggantikan hubungan kita dengan anak-anak kita, terutama ketika anak-anak kita tumbuh dewasa. Kita harus memelihara hubungan yang penuh kasih bersama pasangan kita sehingga kita mencapai usia senja bersama-sama dan menjadi lebih terikat antara satu sama lain setelah anak-anak kita tumbuh dewasa dan menikah. Ini berarti kita tidak bisa "menunda" pernikahan kita, tetapi kita justru harus mempertahankan ikatan persahabatan dan cinta melalui saat-saat sulit menjadi orangtua. Penting untuk menghabiskan waktu sendirian bersama suami kita sehingga kita dapat melihat satu sama lain melalui sudut pandang pasangan kita dan bukan hanya sebagai pengasuh anak-anak kita. Mengatur "malam kencan" dan tamasya akhir pekan sebagai pasangan sangat penting untuk menjaga hubungan dengan suami kita.

5. "Saya akan menghargai teman-teman saya."

Saling kontak dan berbagi dengan wanita lain akan membantu kita menemukan kesamaan perjuangan kita sebagai seorang ibu dan seorang wanita. Memiliki saudari dan teman wanita dalam hidup kita dapat menjadikan kita lebih kuat karena hubungan ini membantu menjaga stabilitas emosional kita dan membantu kita mengelola stres dalam hidup kita. Teman wanita dan saudari kita memiliki tempat khusus dalam kehidupan kita yang bahkan tidak bisa digantikan oleh suami kita sendiri. Meluangkan waktu untuk bertemu atau berbicara dengan teman-teman kita akan membantu kita merasa lebih bahagia sehingga kita mampu memberikan kebahagiaan yang sama kepada anak-anak dan suami kita. Berbicara dan bepergian dengan teman wanita sangat penting bagi seorang ibu untuk meningkatkan hubungan mereka dengan wanita lain. Hal ini akan meningkatkan suasana hati kita dan mengisi ulang energi kita sehingga kita dapat memberikan lebih banyak untuk anak-anak kita dan memiliki hubungan yang lebih baik dengan suami kita.

6. "Saya akan mengutamakan makan malam bersama keluarga."

Makan bersama keluarga merupakan kegiatan harian untuk membentuk ikatan. Rutinitas dalam kehidupan anak-anak dapat memupuk ketidakstabilan emosi pada diri anak-anak. Membiasakan tradisi seperti makan bersama menjadi sangat berguna bagi kehidupan kita karena itu adalah waktu untuk berbagi dan menguatkan ikatan antara satu sama lain. Penelitian telah menunjukkan anak-anak yang makan malam dengan keluarga mereka secara teratur memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk bersikap baik dan membuat pilihan yang baik berkaitan dengan teman-teman, narkoba dan seks. Mengajak semua anggota keluarga untuk duduk bersama setiap hari akan menciptakan sebuah dinamika keluarga yang lebih komunikatif dan tradisi makanan, percakapan dan sukacita akan menjadi kenangan yang dihargai setiap anggota keluarga.

Tulisan di atas merupakan terjemahan dari tulisan "Mother, not Martyr" yang dipublikasikan di sini: http://www.suhaibwebb.com/relationships/marriage-family/spouse/mother-not-martyr/ yang ditulis oleh MUNIRA LEKOVIC EZZELDINE. Terjemahan saya buat sendiri secara bebas.

Khusus untuk kutipan ayat Al Qur'an dan hadits, terjemahan saya ambil langsung dari terjemahan Al Qur'an dan hadits versi Bahasa Indonesia (tidak saya terjemahkan sendiri). Bagi yang berkenan, saya sarankan membaca tulisan aslinya karena sebaik-baiknya terjemahan tetap berpotensi menggeser maksud tulisan asli.

Minggu, 15 Mei 2011

Pernikahan Dini yang Suram

0 opini
Pernikahan dini sepertinya identik sekali dengan pernikahan yang amburadul, yaitu pernikahan dengan masa depan yang suram. Pandangan ini meluas karena pernikahan dini dianggap terjadi karena unsur keterpaksaan atau "kecelakaan". Dengan kata lain, pernikahan dini adalah pernikahan yang dilaksanakan tanpa persiapan yang matang.

Pernikahan dini pun melekat erat dengan pernikahan di usia muda. Bila ada pasangan muda belia menikah, pernikahan mereka dianggap terlalu dini, terlalu tergesa-gesa, atau digosipkan akibat "kecelakaan". Pandangan masyarakat sudah sebegitu negatifnya terhadap pernikahan dini. Jadi pemuda-pemudi yang ingin menyegerakan menikah kemungkinan besar akan menghadapi permintaan untuk menunda pernikahan mereka.

Pada kenyataannya, pernikahan dini memang merupakan pernikahan yang rentan terhadap masalah. Bukan sekedar akibat pengaruh berita dan film, tapi contohnya kadang kita lihat sendiri di sekitar kita. Mungkin juga kita mendengar cerita tidak menyenangkan mengenai pasangan muda dari keluarga atau teman kita sendiri. Pada akhirnya, masa depan pernikahan dini menyulut kekhawatiran tersendiri. Pernikahan dini pun menjadi momok yang menakutkan.

Padahal menyegerakan menikah atau dengan kata lain melakukan pernikahan dini itu tidak serta merta membawa dampak negatif. Menyegerakan menikah dapat juga berarti menyegerakan datangnya dampak positif pernikahan ke dalam hidup masing-masing pihak, baik suami maupun istri.

Yang perlu diperhatikan pada dasarnya adalah kesiapan seseorang menghadapi pernikahan dan kesiapan seseorang ini tidak harus dikaitkan dengan usia. Usia yang lebih tua tidak menjanjikan kematangan yang lebih. Jadi mereka yang menikah pada usia yang lebih tua tidak otomatis lebih siap menikah. Seseorang yang menikah di usia 30 tahun belum tentu lebih siap menghadapi pernikahan dibandingkan seseorang yang menikah di usia 20 tahun.

Walaupun begitu, saya sadar bahwa yang terjadi justru sebaliknya. Kalaupun ada pasangan muda yang hidup harmonis, jumlahnya mungkin tidak mencolok. Alhasil masyarakat pada umumnya tetap berpikir bahwa pernikahan dini itu penuh dengan resiko. Pola pemikiran ini yang dipegang oleh sebagian besar masyarakat, termasuk para bakal calon pengantin.

Pada intinya, pernikahan dini bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti.
Pola pendidikan anak memiliki andil yang besar dalam hal ini. Walau bagaimana pun, tingkat kematangan seseorang sangat dipengaruhi oleh cara orang itu dididik dan dibesarkan. Dengan pola pendidikan yang tepat, kematangan seseorang sudah mulai terbentuk di usia belasan tahun. Sebaliknya dengan pola pendidikan yang tidak tepat, kematangan itu tidak akan terbentuk walau usia seseorang sudah lebih dari 25 tahun.

Pada intinya, pernikahan dini bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Yang perlu ditakuti adalah pernikahan yang dilakukan oleh sepasang manusia yang tidak siap untuk menikah. Dini atau tidak dini itu menjadi tidak relevan karena yang perlu diperhatikan adalah kesiapan calon pengantin terlepas dari umur mereka.

Minggu, 08 Mei 2011

Siap Mental untuk Menikah?

0 opini
Tulisan ini merupakan sambungan dari Kapan Menikah?
--

Lalu bagaimana dengan kesiapan mental saya saat hendak menikah?

Saat saya hendak menikah, walau saat itu saya "masih" berusia 22-23 tahun, tentu saja saya merasa saya siap secara mental. Saya lebih percaya diri untuk masalah kesiapan mental dibandingkan dengan masalah kesiapan finansial. Namun sepertinya kepercayaan diri saya terlalu berlebihan.

Saat hendak menikah, saya merasa diri saya adalah orang yang cukup bertanggung jawab dan cukup toleran. Cukup bertanggung jawab untuk menafkahi istri lahir dan batin. Cukup toleran untuk menerima perbedaan yang (pasti) terjadi dengan istri dalam hubungan pernikahan. Pada kenyataannya, kadar "cukup" yang saya pegang itu sangat rendah; terutama di bagian toleransi.

Hubungan pernikahan adalah hubungan yang jauh berbeda dari hubungan sosial dengan pihak-pihak seperti keluarga, teman, atau rekan kerja. Hubungan pernikahan jauh lebih rumit, lebih menantang, lebih memancing emosi, lebih menyesakan dada, dan lebih membuat pusing kepala. Di awal pernikahan, konflik-konflik kerap bermunculan. Mulai dari konflik dengan intensitas yang rendah hingga yang tinggi dan yang jarang hingga yang sering terjadi.

Masalah-masalah yang timbul kadang membuat saya depresi. Namun setelah enam tahun menikah, tingkat depresi itu menurun. Dapat juga dikatakan bahwa frekuensi dan intensitas konflik rumah tangga sudah menurun. Kami (saya dan istri) pun sudah jauh lebih piawai mengendalikan perkembangan konflik dan mengatasi masalah.

Intinya adalah kita tidak pernah benar-benar siap mental untuk menikah. Justru kesiapan mental itu terbentuk dengan sendirinya seiring dengan usaha kita untuk menyelesaikan masalah rumah tangga. Toleransi terhadap perbedaan, kemampuan memahami keinginan istri/suami, kerelaan untuk mengalah, dan sikap mengutamakan hubungan baik dalam pernikahan akan terbentuk dengan sendirinya melalui pengalaman.

Hanya saja mekanisme peningkatan kedewasaan dalam berumah tangga seperti di atas memerlukan sikap positif dari masing-masing pihak (suami dan istri). Sikap positif yang dimaksud adalah kesadaran bahwa hubungan pernikahan itu lebih penting ketimbang ego pribadi. Kesadaran ini yang menjadi fondasi kesiapan mental untuk menikah.

Dengan memiliki kesadaran seperti itu, perbedaan pendapat dapat diselesaikan dengan tenang. Kalau pun terjadi konflik, maka ketegangan yang terjadi akibat konflik pun dapat diredam. Setiap masalah dapat dicari jalan keluarnya dan setiap perbedaan pun dapat diselaraskan karena prinsip mengalah untuk memenangkan hubungan pernikahan dipegang erat.

Saya yakin kemampuan untuk menahan ego itu yang menjadi kekuatan pengikat hubungan pernikahan terlepas dari usia dan latar belakang setiap pasangan suami dan istri. Dapat dikatakan bahwa pasangan berpendidikan SMU yang masih berusia 20 tahun itu jauh lebih baik dalam mengelola pernikahannya dibandingkan pasangan berpendidikan S1 dengan usia yang jauh lebih tua.

Dengan prinsip kesiapan finansial dan kesiapan mental seperti di atas itu akhirnya saya memberanikan diri untuk menyegerakan menikah. Walau banyak pihak meragukan kesiapan saya, saya tetap melangkah maju dengan pasti. Alhamdulillah tidak ada satu masalah pun, baik besar maupun kecil, yang bisa membuat saya berpisah dengan istri saya.

Kamis, 05 Mei 2011

Kapan Menikah?

0 opini
Menikah adalah urusan pribadi. Kapan kita akan menikah dan dengan siapa kita akan menikah adalah urusan kita masing-masing. Orang tua boleh khawatir, kakak boleh bertanya, adik boleh meledek, teman-teman boleh mencarikan kenalan, tapi waktu dan pasangan hidup adalah urusan pribadi. Tulisan ini pun tidak bermaksud mempertanyakan waktu yang baik untuk menikah, tapi sekedar berbagi keputusan-keputusan yang saya ambil saat saya hendak menikah.

Saya menikah pada tanggal 20 Agustus 2005; sekitar 6-7 bulan sejak saya lulus kuliah S1. Tidak sedikit orang yang menganggap pernikahan ini terlalu dini. Padahal kenyataannya ada teman kuliah saya (satu angkatan) yang sudah lebih dulu menikah. Saya sendiri tidak merasa bahwa pernikahan saya itu terlalu cepat. Saya merasa bahwa memang sudah waktunya saya menikah. Saya sendiri tidak lagi terikat dengan bangku kuliah sehingga saya dapat memaksimalkan waktu saya untuk bekerja dan menghidupi keluarga. Saya siap menikah.

Akan tetapi, tidak semua orang menganggap saya siap untuk menikah. Bahkan ada yang menyarankan agar saya menunda pernikahan sebelum memiliki kesiapan finansial. Untungnya tidak ada yang meragukan kesiapan mental saya untuk menikah. Mungkin tidak ada yang berani mengutarakan hal ini, tapi saya asumsikan saja memang tidak ada yang meragukannya. Walaupun begitu, saya masih tegas dengan pendirian saya bahwa saya siap menikah.

Lalu bagaimana dengan kesiapan finansial saya saat hendak menikah?

Mengenai kesiapan finansial, saya yang perlu meyakinkan diri saya bahwa saya dapat menghasilkan pemasukan yang cukup untuk membiayai hidup saya dan istri saya. Saya memberanikan diri melamar istri saya walaupun saya belum mendapatkan pekerjaan pasca lulus kuliah. Untungnya istri saya berpikiran sama dengan saya. Jadi dia berkenan mempertimbangkan lamaran saya. Saya perlu tegaskan bahwa lamaran pertama saya tidak langsung diterima. Hanya saja kesiapan finansial tidak menjadi masalah bagi istri saya.

Berselang beberapa waktu sejak saya melamar istri saya, saya mendapat lampu hijau untuk bertemu orang tua istri saya. Dengan modal dengkul saya pun menguatkan hati dan memberanikan diri untuk bertamu ke rumah orang tua istri saya dan melamar anak perempuan mereka. Untungnya saya sudah mendapatkan pekerjaan sebelum pertemuan ini. Jadi modal dengkul saya dapat dikatakan modal dengkul plus plus -tapi tetap saja dengkul.

Rupanya orang tua istri saya pun tidak terlalu merisaukan masalah kesiapan finansial. Setahu saya yang dilihat justru latar belakang saya sendiri seperti pendidikan dan keluarga saya. Walaupun begitu, berhubung orang tua istri saya baru pertama kali bertemu saya, saya diminta untuk lebih sering bertamu ke rumah mereka. Jadi mereka memiliki kesempatan untuk mengenal saya lebih jauh lagi. Kenapa pertama kali? Karena saya dan istri saya tidak pernah berpacaran. Alhamdulillah. Jadi saat saya melamar istri saya kepada orang tua istri saya itu adalah pertemuan pertama saya dengan mereka.

Tiga paragraf panjang di atas pada dasarnya merupakan argumen saya terhadap "kesiapan finansial" yang seringkali diributkan. Saya tidak bermaksud menafikan fakta bahwa modal finansial itu penting. Hanya saja kesiapan finansial itu perlu dilihat dari sudut pandang kemampuan calon suami untuk mencari nafkah terlepas dari berapa jumlah uang yang dimilikinya. Kalau calon suami, calon istri, dan orang tua dari kedua belah pihak dapat memahami hal ini, pernikahan dapat berjalan tanpa perlu menimbun uang terlebih dahulu.

Lalu bagaimana dengan kesiapan mental saya saat hendak menikah?

Bersambung ...

Kamis, 17 Februari 2011

Istri Bukan Pembantu

4 opini
Sebuah judul yang menarik minat baca saya. Pertama kali saya melihat judul artikel "Istri Bukan Pembantu", saya bergegas membacanya. Artikel tersebut adalah tulisan Ust. Ahmad Sarwat yang membongkar sempitnya persepsi masyarakat terhadap kedudukan istri dalam rumah tangga; tentunya disertai dalil Al-Qur'an, Sunnah, dan Mahzab para ulama. Tulisan lengkapnya dapat dibaca di sini: http://www.ustsarwat.com/web/foto_berita/istri.pdf.

Dalam tulisan tersebut, Ust. Ahmad Sarwat menjelaskan betapa mulianya kedudukan istri dalam Islam. Sebegitu mulianya sampai-sampai kewajiban mengurus rumah tangga sebenarnya tidak berada di tangan para istri. Jangankan wajib, sunnah pun tidak. Justru para suami yang wajib mengurus semua urusan rumah tangga. Bila para suami tidak mampu melakukannya, maka mereka wajib menyediakan pembantu rumah tangga.

Paparan Ust. Ahmad Sarwat jelas bertolak belakang dengan kondisi saat ini dalam masyarakat (baik di Indonesia maupun di seluruh dunia). Diskriminasi terhadap wanita masih kental. Posisi wanita secara umum dianggap lebih rendah dari pria. Bahkan wanita pun tidak jarang dianggap sebagai sebuah objek ketimbang sebagai seorang manusia yang layak dihormati dan dihargai.

Dalam konteks kehidupan rumah tangga, suami dianggap sebagai seseorang yang WAJIB dipatuhi dan dilayani oleh istri. Penting bagi seorang istri untuk bisa memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, mengurus anak-anak, dan melayani kebutuhan suami. Aturan suami harus dipatuhi dan pendapat suami harus didengar. Hal yang sama belum tentu berlaku sebaliknya untuk istri.

Jelas sekali persepsi masyarakat saat ini berbeda dengan paparan Ust. Ahmad Sarwat. Yang jelas tulisan beliau pun sedikit banyak berlawanan dengan persepsi saya mengenai kedudukan istri. Saya sendiri tidak keberatan urusan rumah tangga dikerjakan pembantu, terutama bila istri saya bekerja. Saya pun tidak pernah keberatan bila istri saya bekerja, terutama bila ilmu (dan ijazah) yang dimilikinya dapat memiliki manfaat yang lebih di luar rumah tangga. Hanya saja saya masih berharap istri saya yang akan mengurus rumah dan anak-anak seandainya saya tidak bisa menyediakan pembantu.

Beruntung sampai saat ini saya berusaha mengalahkan dominasi saya sehingga saya mau membuka hati dan pikiran untuk menerima pendapat-pendapat istri. Dalam mengambil keputusan keluarga, saya selalu menegaskan kepada diri saya bahwa istri itu ibarat penasihat kerajaan. Setiap raja (yang waras) perlu mendengar pendapat dari penasihat kerajaan walau pada akhirnya keputusan ada di tangan raja. Dalam hal ini, istri bukan selir yang cukup mengikuti keputusan raja.

Alhamdulillah saya menemukan tulisan "Istri Bukan Pembantu" dari Ust. Ahmad Sarwat. Paling tidak saya menyadari masih banyak hal lain yang perlu saya pelajari dalam rangka memuliakan istri. Semoga saya tidak terjebak dalam persepsi kolot yang mengatakan bahwa istri adalah pembantu; sadar atau tidak sadar.