Tulisan ini merupakan sambungan dari Kapan Menikah?
--
Lalu bagaimana dengan kesiapan mental saya saat hendak menikah?
Saat saya hendak menikah, walau saat itu saya "masih" berusia 22-23 tahun, tentu saja saya merasa saya siap secara mental. Saya lebih percaya diri untuk masalah kesiapan mental dibandingkan dengan masalah kesiapan finansial. Namun sepertinya kepercayaan diri saya terlalu berlebihan.
Saat hendak menikah, saya merasa diri saya adalah orang yang cukup bertanggung jawab dan cukup toleran. Cukup bertanggung jawab untuk menafkahi istri lahir dan batin. Cukup toleran untuk menerima perbedaan yang (pasti) terjadi dengan istri dalam hubungan pernikahan. Pada kenyataannya, kadar "cukup" yang saya pegang itu sangat rendah; terutama di bagian toleransi.
Hubungan pernikahan adalah hubungan yang jauh berbeda dari hubungan sosial dengan pihak-pihak seperti keluarga, teman, atau rekan kerja. Hubungan pernikahan jauh lebih rumit, lebih menantang, lebih memancing emosi, lebih menyesakan dada, dan lebih membuat pusing kepala. Di awal pernikahan, konflik-konflik kerap bermunculan. Mulai dari konflik dengan intensitas yang rendah hingga yang tinggi dan yang jarang hingga yang sering terjadi.
Masalah-masalah yang timbul kadang membuat saya depresi. Namun setelah enam tahun menikah, tingkat depresi itu menurun. Dapat juga dikatakan bahwa frekuensi dan intensitas konflik rumah tangga sudah menurun. Kami (saya dan istri) pun sudah jauh lebih piawai mengendalikan perkembangan konflik dan mengatasi masalah.
Intinya adalah kita tidak pernah benar-benar siap mental untuk menikah. Justru kesiapan mental itu terbentuk dengan sendirinya seiring dengan usaha kita untuk menyelesaikan masalah rumah tangga. Toleransi terhadap perbedaan, kemampuan memahami keinginan istri/suami, kerelaan untuk mengalah, dan sikap mengutamakan hubungan baik dalam pernikahan akan terbentuk dengan sendirinya melalui pengalaman.
Hanya saja mekanisme peningkatan kedewasaan dalam berumah tangga seperti di atas memerlukan sikap positif dari masing-masing pihak (suami dan istri). Sikap positif yang dimaksud adalah kesadaran bahwa hubungan pernikahan itu lebih penting ketimbang ego pribadi. Kesadaran ini yang menjadi fondasi kesiapan mental untuk menikah.
Dengan memiliki kesadaran seperti itu, perbedaan pendapat dapat diselesaikan dengan tenang. Kalau pun terjadi konflik, maka ketegangan yang terjadi akibat konflik pun dapat diredam. Setiap masalah dapat dicari jalan keluarnya dan setiap perbedaan pun dapat diselaraskan karena prinsip mengalah untuk memenangkan hubungan pernikahan dipegang erat.
Saya yakin kemampuan untuk menahan ego itu yang menjadi kekuatan pengikat hubungan pernikahan terlepas dari usia dan latar belakang setiap pasangan suami dan istri. Dapat dikatakan bahwa pasangan berpendidikan SMU yang masih berusia 20 tahun itu jauh lebih baik dalam mengelola pernikahannya dibandingkan pasangan berpendidikan S1 dengan usia yang jauh lebih tua.
Dengan prinsip kesiapan finansial dan kesiapan mental seperti di atas itu akhirnya saya memberanikan diri untuk menyegerakan menikah. Walau banyak pihak meragukan kesiapan saya, saya tetap melangkah maju dengan pasti. Alhamdulillah tidak ada satu masalah pun, baik besar maupun kecil, yang bisa membuat saya berpisah dengan istri saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar