Menikah adalah urusan pribadi. Kapan kita akan menikah dan dengan siapa kita akan menikah adalah urusan kita masing-masing. Orang tua boleh khawatir, kakak boleh bertanya, adik boleh meledek, teman-teman boleh mencarikan kenalan, tapi waktu dan pasangan hidup adalah urusan pribadi. Tulisan ini pun tidak bermaksud mempertanyakan waktu yang baik untuk menikah, tapi sekedar berbagi keputusan-keputusan yang saya ambil saat saya hendak menikah.
Saya menikah pada tanggal 20 Agustus 2005; sekitar 6-7 bulan sejak saya lulus kuliah S1. Tidak sedikit orang yang menganggap pernikahan ini terlalu dini. Padahal kenyataannya ada teman kuliah saya (satu angkatan) yang sudah lebih dulu menikah. Saya sendiri tidak merasa bahwa pernikahan saya itu terlalu cepat. Saya merasa bahwa memang sudah waktunya saya menikah. Saya sendiri tidak lagi terikat dengan bangku kuliah sehingga saya dapat memaksimalkan waktu saya untuk bekerja dan menghidupi keluarga. Saya siap menikah.
Akan tetapi, tidak semua orang menganggap saya siap untuk menikah. Bahkan ada yang menyarankan agar saya menunda pernikahan sebelum memiliki kesiapan finansial. Untungnya tidak ada yang meragukan kesiapan mental saya untuk menikah. Mungkin tidak ada yang berani mengutarakan hal ini, tapi saya asumsikan saja memang tidak ada yang meragukannya. Walaupun begitu, saya masih tegas dengan pendirian saya bahwa saya siap menikah.
Lalu bagaimana dengan kesiapan finansial saya saat hendak menikah?
Mengenai kesiapan finansial, saya yang perlu meyakinkan diri saya bahwa saya dapat menghasilkan pemasukan yang cukup untuk membiayai hidup saya dan istri saya. Saya memberanikan diri melamar istri saya walaupun saya belum mendapatkan pekerjaan pasca lulus kuliah. Untungnya istri saya berpikiran sama dengan saya. Jadi dia berkenan mempertimbangkan lamaran saya. Saya perlu tegaskan bahwa lamaran pertama saya tidak langsung diterima. Hanya saja kesiapan finansial tidak menjadi masalah bagi istri saya.
Berselang beberapa waktu sejak saya melamar istri saya, saya mendapat lampu hijau untuk bertemu orang tua istri saya. Dengan modal dengkul saya pun menguatkan hati dan memberanikan diri untuk bertamu ke rumah orang tua istri saya dan melamar anak perempuan mereka. Untungnya saya sudah mendapatkan pekerjaan sebelum pertemuan ini. Jadi modal dengkul saya dapat dikatakan modal dengkul plus plus -tapi tetap saja dengkul.
Rupanya orang tua istri saya pun tidak terlalu merisaukan masalah kesiapan finansial. Setahu saya yang dilihat justru latar belakang saya sendiri seperti pendidikan dan keluarga saya. Walaupun begitu, berhubung orang tua istri saya baru pertama kali bertemu saya, saya diminta untuk lebih sering bertamu ke rumah mereka. Jadi mereka memiliki kesempatan untuk mengenal saya lebih jauh lagi. Kenapa pertama kali? Karena saya dan istri saya tidak pernah berpacaran. Alhamdulillah. Jadi saat saya melamar istri saya kepada orang tua istri saya itu adalah pertemuan pertama saya dengan mereka.
Tiga paragraf panjang di atas pada dasarnya merupakan argumen saya terhadap "kesiapan finansial" yang seringkali diributkan. Saya tidak bermaksud menafikan fakta bahwa modal finansial itu penting. Hanya saja kesiapan finansial itu perlu dilihat dari sudut pandang kemampuan calon suami untuk mencari nafkah terlepas dari berapa jumlah uang yang dimilikinya. Kalau calon suami, calon istri, dan orang tua dari kedua belah pihak dapat memahami hal ini, pernikahan dapat berjalan tanpa perlu menimbun uang terlebih dahulu.
Lalu bagaimana dengan kesiapan mental saya saat hendak menikah?
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar