Tampilkan postingan dengan label Berkendara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berkendara. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Oktober 2012

Tilangnya, Mas.

3 opini
Beberapa waktu yang lalu, saya ditilang karena dianggap melanggar lampu merah. Berhubung penilaian salah-benar dalam kondisi ini cenderung sepihak, apa pun yang saya katakan tidak bisa mengembalikan SIM saya yang terlanjur ditahan polisi yang bertugas. Berhubung saya tidak mau ribut, saya terima saja lembar merah surat tilang yang diberikan polisi kepada saya untuk menebus SIM saya di Pengadilan Negeri Tangerang.

Terus terang saya sempat ragu saat hendak menerima surat tilang itu. Alasan paling kuat adalah karena saya malas berurusan dengan calo. Buat apa saya repot-repot menerima surat tilang kalau pada akhirnya saya harus menggunakan calo untuk menebus SIM saya? Mendingan damai deh.

Tetap saja saya optimis. Saya yakin bisa menghindari calo saat menghadiri sidang di Pengadilan Negeri nantinya. Saya pikir menghadiri sidang tilang adalah sesuatu yang perlu saya lakukan sendiri. Ini adalah pengalaman sekali seumur hidup. Maksudnya tentu saja jangan sampai saya ditilang lagi. Selain itu, saya yakin pengalaman ini bisa menjadi bahan tulisan baru di blog memberikan manfaat bila saya share lewat blog.

Saya dipanggil untuk menghadiri sidang pada hari Jum'at, 12 Oktober 2012. Umumnya Pengadilan Negeri Tangerang sudah beroperasi mulai jam 8 pagi. Sayangnya hari Jum'at adalah waktu bagi pegawai negeri sipil untuk melakukan olah raga pagi bersama. Jadi saya pun terpaksa menunggu hingga pukul 9 pagi.

Padahal saya sendiri sengaja datang ke sana sekitar pukul 07:30. Saya berasumsi pukul 07:30 itu belum masuk jam beroperasi calo. Jadi saya datang sepagi mungkin dengan tujuan untuk menghindari calo -dan untuk menghindari antrian. Ternyata Pengadilan Negeri Tangerang sudah bersih dari calo. Dan... antrian orang yang menghadiri sidang tilang sepagi itu pun sudah cukup panjang.

Untungnya, walaupun sidang belum bisa dimulai, antrian sudah dibuka. Pengurus tilang diminta mengumpulkan lembar merah sidang tilang mereka. Tidak sampai jam 9 pagi, para "tersangka" yang sudah mengumpulkan lembar merah pun dipanggil satu per satu. Setiap orang yang dipanggil satu per satu masuk dan menunggu di dalam ruang sidang. Setelah memenuhi "kuota" ruang sidang, kami pun menghadap hakim satu per satu.

Peraturan di dalam ruang sidang cukup ketat. Setiap orang diminta untuk mematikan handphone (atau mengaktifkan mode silent) dan melepas jaket masing-masing. Saya pribadi maklum dengan peraturan seperti ini, tapi yang membuat saya heran adalah tidak ada keharusan untuk menggunakan sepatu. Saya pikir masuk ke ruang sidang itu harus formal sehingga saya sendiri berpakaian lengkap dengan batik, celana panjang, dan sepatu pantofel. Mungkin untuk sidang tilang aturannya lebih fleksibel karena toh yang hadir di sidang tilang ini datang dari berbagai kalangan; termasuk yang tidak merasa perlu repot-repot memiliki sepatu pantofel.

Sidang tilang berlangsung cepat. Hakim menanyai para pelanggar itu satu per satu, tapi tetap saja terkesan seperti formalitas. Saya pun ditanya "di mana" dan "kenapa", tapi apa pun yang saya katakan terkesan tidak ada artinya. Pada akhirnya saya harus mengeluarkan uang Rp. 75.000 untuk menebus SIM A saya; ditambah Rp. 500 untuk biaya perkara.

Dan... selesai. SIM yang ditahan polisi pun sudah kembali ke dalam dompet saya.

Ada beberapa hal menarik yang perlu saya ungkapkan di sini. Pertama, ladies are welcome. Saya melihat ada 3 atau 4 orang wanita yang menghadiri sidang tilang; salah satunya adalah seorang ibu yang menggendong balita. Mungkinkah balita itu diajak untuk melembutkan hati hakim agar tidak memutuskan denda terlalu tinggi? Entahlah.

Kedua, ditilang dua kali berturut-turut itu memungkinkan. Di dalam rombongan yang menghadiri sidang tilang itu, ada 2 (dua) orang yang mengaku mengurus dua tilang. Salah satu dari mereka sempat bercerita kalau tilang pertama diambil SIM-nya dan tilang kedua diambil STNK-nya; atau malah sebaliknya? Saya agak lupa.

Itu saja yang bisa saya tuangkan dalam tulisan kali ini.

Semoga bermanfaat!

Rabu, 14 Desember 2011

Belajar dari Kecelakaan

0 opini
Tadi pagi, saat saya sedang mengendarai motor saya menuju kantor, saya melihat sebuah taksi dalam posisi terbalik di pinggir jalan atau lebih tepatnya di dalam sebuah selokan. Selokan? Bukan selokan kecil yang biasa ada di depan rumah. Selokan yang saya maksud di sini sebenarnya cukup lebar untuk menampung sebuah sedan. Entah apa namanya, tapi tulisan ini tidak ditujukan untuk menjelaskan selokan tersebut.

Kemarin pagi, saat saya sedang mengendarai motor saya menuju kantor, sebuah angkot menabrak saya. Saat itu kendaraan-kendaraan dari arah yang sama dengan saya sedang berhenti untuk memberi jalan kendaraan dari arah lain. Saya sedang melaju perlahan di sisi kanan saat angkot itu tiba-tiba memutar arah dan BRAK! Saya mencoba menahan rem dan menghindar tapi tabrakan tidak dapat dihindari.

Satu hari sebelum kemarin, saat saya sedang mengendarai motor saya menuju kantor, tidak terjadi insiden apa pun. Alhamdulillah. Tapi rentetan kejadian itu mengingatkan saya pada insiden-insiden lain yang saya alami sebelumnya. Pernah suatu ketika mobil saya diserempet oleh mobil lain yang melaju dari arah berlawanan. Mobil itu melaju di luar lajurnya dan saya tidak bisa menghindar karena ukuran jalan pun pas-pasan.

Dan masih ada berbagai insiden lain yang saya alami, baik saya sebagai korban maupun saya sebagai pelaku. Dari setiap insiden itu saya senantiasa belajar bagaimana mengemudi dengan baik dan bertanggung jawab, baik sebagai pengendara motor maupun sebagai pengendara mobil. Saya senantiasa belajar bagaimana menjadi pengendara yang tertib berkendara.

Kita sama-sama tahu bahwa saat kita berada di belakang kemudi itu kita sedang memikul tanggung jawab untuk menjaga ketertiban dalam berkendara. Ketertiban dalam berkendara ini tentu saja bertujuan untuk menciptakan kenyamanan dan keamanan di jalan raya. Jadi pada dasarnya tanggung jawab kita di jalan raya itu tidak hanya terhadap nyawa kita sendiri, tapi juga nyawa orang lain.

Ketertiban lalu-lintas tidak akan pernah terwujud tanpa ada kesadaran dari setiap pengendara untuk mematuhi peraturan dan menghargai hak pengguna jalan yang lain.
Setiap pengendara memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjaga ketertiban, kenyamanan, dan keamanan bersama. Oleh karena itu, perilaku egois sebaiknya tidak hadir saat kita sedang berada di belakang kemudi. Kita perlu mengedepankan empati kita terhadap pengendara lain. Kita perlu hindari sikap "mau enak sendiri" dan mulai memikirkan pengguna jalan yang lain.

Apalah artinya segudang peraturan lalu-lintas kalau kita hidup untuk melanggar peraturan-peraturan itu. Apalah artinya kehadiran polisi lalu-lintas kalau kita sendiri tidak pernah mau diatur. Apalah artinya lampu-lampu lalu-lintas kalau kita main terobos tanpa lihat kiri-kanan depan-belakang. Ketertiban lalu-lintas tidak akan pernah terwujud tanpa ada kesadaran dari setiap pengguna jalan untuk mematuhi peraturan dan menghargai hak pengguna jalan yang lain.

Ada banyak hal yang dapat kita perbaiki dari cara mengemudi kita demi menjaga ketertiban, kenyamanan, dan keamanan bersama itu. Mulai dari mengutamakan keselamatan ketimbang kecepatan, mendahulukan mematuhi peraturan lalu-lintas ketimbang melanggarnya, mengedepankan kesabaran ketimbang emosi saat menyikapi pengguna jalan yang lain, membiasakan memberi jalan ketimbang terus-menerus meminta jalan, atau sikap-sikap lain yang menjadikan kenyamanan dan keamanan bersama sebagai prioritas; dan bukan kenyamanan dan keamanan pribadi saja. Kemungkinan perubahan yang dapat kita lakukan dalam hal ini benar-benar tidak terbatas.

Tetap saja yang utama adalah menumbuhkan kesadaran berkendara itu sendiri. Bila kesadaran untuk mengutamakan kepentingan bersama ini sudah terbentuk, aturan-aturan seperti larangan menggunakan handphone saat mengemudi pun akan mudah dipatuhi. Bila kesadaran ini sudah terbentuk, kenyamanan dan keamanan berkendara akan mudah dicapai.

Kamis, 14 April 2011

Mengurangi Stres Negatif Saat Pulang-Pergi Kerja

0 opini
Senin sampai Jum'at adalah hari yang melelahkan. Bukan melelahkan karena kita harus bekerja, tapi melelahkan karena kita harus melewati hiruk-pikuk kemacetan di jalan raya menuju tempat kita bekerja. Rasa lelah itu yang saya -dan mungkin juga Anda- rasakan setiap pagi dan sore hari setiap hari kerja di belantara Jakarta ini.

Stres yang muncul akibat kemacetan itu mengakibatkan efek samping yang buruk bagi kehidupan. Saat berangkat kerja, perjalanan yang melelahkan dan menambah stres itu sudah pasti menguras energi yang seharusnya dapat kita manfaatkan untuk bekerja. Saat pulang kerja, perjalanan yang sama akan semakin menguras energi yang seharusnya dapat kita manfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga.

Belum lagi kalau kita mengalami masalah di tengah perjalanan, tingkat kesabaran kita akan menurun drastis. Rendahnya tingkat kesabaran kita tentu memberikan efek negatif tersendiri baik di lingkungan pekerjaan maupun di tengah-tengah keluarga kita. Sumbu amarah kita menjadi lebih pendek sehingga sedikit kesalahan saja akan membuat kita kesal bukan main.

Alhamdulillah sejak beberapa bulan yang lalu saya berhasil mengurangi stres negatif saat melakukan perjalanan pulang-pergi kerja ini. Tidak ada trik khusus yang saya lakukan dalam hal ini. Saya hanya beruntung menemukan rute pulang-pergi kantor dengan menggunakan sepeda motor yang terbilang nyaman. Bila dibandingkan dengan rute dan media transportasi lain yang pernah saya gunakan, rute terbaru ini adalah yang paling nyaman dan paling singkat waktu tempuhnya.

Awalnya rute sepeda motor yang terpikir oleh saya adalah melewati jalur Cipulir-Ciledug-Kebayoran Lama-Blok M-Senopati. Jalur ini adalah jalur neraka (karena melibatkan Cipulir, Ciledug, dan Kebayoran Lama), baik saat berangkat kerja maupun saat pulang kerja. Saya langsung beralih ke pilihan lain. Pilihan berikutnya adalah menggunakan transportasi umum melewati jalur Alam Sutera-Kebon Jeruk-Tomang-Semanggi. Bagian yang paling menyulitkan adalah waktu kedatangan bus yang tidak menentu. Resiko saya terlambat menjadi lebih besar, kecuali saya mau berangkat jam 05.30 pagi (atau lebih pagi lagi).

Alternatif lain yang saya coba adalah mobil pribadi. Jalur yang saya lewati adalah BSD City-Tol Serpong-Tol JORR-Citos-Antasari-Prapanca-Blok M-Senopati. Dibandingkan dengan transportasi umum, pilihan ini memungkinkan saya berangkat lebih siang (maksimal jam 6 pagi). Sayangnya menggunakan mobil pribadi memiliki dampak yang sangat besar terhadap jumlah pengeluaran saya. Saya bahkan sempat mengakali dengan menghindari Tol JORR, tapi penghematan yang didapat tidak terlalu signifikan.

Akhirnya pilihan saya jatuh pada rute yang sudah saya gunakan selama berbulan-bulan ini, yaitu rute sepeda motor melewati Parigi Lama-Bintaro-Veteran-Pondok Indah-Radio Dalam-Panglima Polim-Senopati. Sampai saat ini, rute ini dapat dikatakan sebagai rute impian. Jarak tempuh paling dekat, waktu tempuh pun paling singkat, dan tentunya pengeluaran paling irit.

Kendaraan umum dan mobil pribadi memang memiliki kelebihannya sendiri-sendiri seperti kenyamanan dan akses jalan tol. Hanya saja urutan prioritas saya membuat saya bersyukur saya menemukan rute alternatif melewati Bintaro ini. Satu-satunya hal yang perlu saya pikirkan adalah bagaimana mengurangi bawaan di tas agar beban di punggung saat mengendarai motor bisa berkurang.

Walaupun begitu, kesabaran tetap merupakan hal yang krusial untuk bisa menekan stres negatif di jalan raya Ibukota. Pemicu emosi (atau stres negatif) itu senantiasa ada. Entah karena ada Metro Mini yang melaju kencang tanpa lihat kiri-kanan, pengendara lain yang tiba-tiba memotong jalan, atau kendaraan super pelan yang menghalangi jalan, atau angkutan umum yang berhenti mendadak. Berkendara tanpa kesabaran sama saja dengan bunuh diri pelan-pelan.

Rabu, 23 Maret 2011

Kepentingan Umum atau Kepentingan Saya?

0 opini
Bicara soal keteraturan sosial yang didasari kesadaran untuk mengutamakan kepentingan umum, saya teringat akan banyak insiden dalam hidup saya sehari-hari yang menunjukan kondisi sebaliknya. Contoh yang paling sering saya temukan adalah saat seorang pengendara motor berjalan santai di tengah jalan sambil mengirim pesan dengan BlackBerry miliknya.

Contoh lain, yang masih sangat segar di ingatan, adalah saat seorang supir angkot mengisi bensin dan membiarkan mesinnya menyala seraya menerima telepon masuk. Mungkin supir itu tidak tahu resiko menyalakan mesin dan menerima telpon saat mengisi bensin, tapi yang sulit ditolerir adalah saat supir itu tidak terlalu peduli saat ditegur petugas SPBU.

Mungkin akibat kesembronoan yang sama itu mobil saya akhirnya kena serempet sedan dari arah berlawanan yang keluar dari jalur. Saya sempat berpikir pengendara sedan itu sedang sibuk dengan _smartphone_ miliknya sehingga dia tidak memperhatikan jalan. Apalagi setelah kejadian itu dia sama sekali tidak berhenti walau untuk sekedar meminta maaf.

Sehari sebelum tulisan ini saya buat, sebuah sepeda motor selip saat memaksa menyalip dari sisi kiri kendaraan lain. Posisi motor itu tidak jauh di depan motor saya. Untung saya menjaga jarak aman sehingga saya tidak menabrak motor itu saat saya injak rem mendadak.

Pengendara motor yang cek SMS atau menerima telepon cukup sering saya temui. Sepertinya mereka lebih memilih mengambil resiko menabrak atau ditabrak ketimbang berhenti sebentar saat cek SMS atau terima telepon. Pengendara mobil pun tak sedikit yang melakukan hal tersebut.

Ada lagi contoh lain, yaitu saat dua motor berjalan bersampingan. Saat mengendarai motornya itu mereka mengobrol. Tentunya mudah untuk kita bayangkan dua motor berjalan bersampingan dengan kecepatan rendah. Hal ini benar-benar mengganggu kenyamanan pengguna jalan lain.

Contoh lain tentunya segudang. Contohnya ada baik di antara pengendara motor maupun di antara pengendara mobil. Itu baru bicara contoh orang-orang yang tidak peduli kepentingan umum di jalan raya. Belum bicara keegoisan di tempat-tempat lain selain jalan raya.

Pengendara yang mengambil dua lahan parkir untuk memarkir mobilnya. Orang yang menyelak antrian di kasir _hypermarket_. Perokok yang merokok di kantor, angkutan umum, atau tempat umum lainnya. Orang-orang yang membuang sampah sembarangan. Dan masih banyak lagi contoh ketidakpedulian terhadap kepentingan umum.

Potret orang-orang yang mengutamakan kepentingan masing-masing itu pada akhirnya dapat menggambarkan karakter masyarakat yang rapuh. Masyarakat yang kepedulian sosialnya hanya muncul saat terjadi bencana besar. Itu pun datangnya dari balik zona nyaman masing-masing individu. Saat zona nyaman itu belum terbentuk, kepedulian sosial tenggelam ditelan ombak kepedulian pribadi dan golongan.

Setiap muslim tentunya tahu bahwa berjamaah itu lebih baik dibandingkan sendirian; mulai dari shalat hingga perbuatan baik lainnya. Jepang yang dilanda gempa, tsunami, dan radiasi nuklir beberapa waktu yang lalu pun sudah membuktikan hal ini. Kalau kita semua hanya mementingkan diri kita sendiri, maka kita tidak akan pernah menjadi kelompok, masyarakat, dan bangsa yang kuat dan tahan goncangan.

Rabu, 18 Agustus 2010

Bajingan Bernama Pengendara Motor

7 opini
Dia yang nyelip, dia yang oleng, dia yang nyungsruk, dia yang marah. Berkendara tidak hati-hati tapi justru merasa orang lain yang harus lebih hati-hati. Jalanan seharusnya milik bersama tapi justru hanya orang lain yang harus mengalah. Sopan santun berkendara tertinggal di rumah. Yang dibawa dalam perjalanan hanya keegoisan semata. Bajingan!

Pengendara motor itu memang egois dan tidak tahu sopan santun. Mendahului dari berbagai sisi, melawan arus kendaraan seenak dengkulnya sendiri, menerobos lampu merah tanpa basa basi, memotong jalan orang tanpa permisi, dan berbagai bentuk keegoisan berkendara sudah menjadi citra para pengendara motor. Citra buruk ini yang membuat para pengendara kendaraan roda empat atau lebih (terutama mobil pribadi) memilih untuk mengalah dan membiarkan para pengendara motor itu semakin menggila. Bajingan!

Saya yakin tidak sedikit pengendara mobil yang lebih memilih mengalah dibandingkan harus berurusan dengan pengendara motor. Bagaimana tidak? Dalam sebuah kecelakaan antara mobil dan motor, kemungkinan besar pihak yang dinyatakan bersalah adalah pengendara mobil. Walaupun kecelakaan itu merupakan akibat dari kecerobohan pengendara motor, masyarakat pada umumnya tetap menyalahkan pengendara mobil. Ini pun salah satu faktor yang membuat para pengendara motor itu semakin menggila. Mereka dipenuhi kesombongan karena merasa dirinya akan dibela dalam kondisi apa pun. Bajingan!

Kombinasi dari sifat sombong dan egois itu yang membuat para pengendara motor itu terus tumbuh menjadi kumpulan bajingan. Hal ini berlaku benar terutama bagi mereka yang merasa dirinya hebat dan gemar tancap gas. Motor mereka modifikasi sedemikian rupa sehingga (mereka pikir) menyerupai motor balap. Jalan raya pun mereka jadikan arena balap. Setiap kendaraan mereka jadikan lawan tanding yang harus disalip walau harus mengorbankan nyawa. Sayangnya yang menjadi korban seringkali tidak hanya nyawa mereka sendiri, tapi juga nyawa orang lain. Bajingan!

Untunglah tidak semua pengendara motor itu bajingan. Masih ada pengendara motor yang mematuhi peraturan dan berkendara dengan penuh sopan santun. Masih ada pengendara motor yang memikirkan akibat dari cara berkendara yang sembrono sehingga mereka pun lebih berhati-hati.

Pada kenyataannya memang bukan pengendara motor yang merupakan bajingan. Bajingan-bajingan sombong dan egois ini ada di mana-mana. Ada yang berwujud pengendara motor, ada yang berwujud pengendara motor gede, ada yang berwujud pengendara mobil, ada yang berwujud pengendara angkutan umum, ada yang berwujud pengendara truk, dan berbagai wujud lain. Tidak semua pengendara motor itu bajingan, tapi sebagian bajingan itu ada dalam wujud pengendara motor.

Bajingan-bajingan itu mungkin akan terus ada sampai akhir dunia ini. Kalau Anda adalah salah satunya dan masih memiliki sedikit kesadaran akan sopan santun dan toleransi, maka berubahlah. Saya yakin dunia ini akan menjadi tempat yang lebih nyaman bila jumlah bajingan di dunia ini berkurang.

Rabu, 25 November 2009

Urus Pajak Motor (Samsat Ciledug)

6 opini
Sabtu yang lalu saya menyempatkan diri untuk membayar pajak kendaraan bermotor untuk motor saya. Jatuh tempo pembayaran pajaknya ternyata sudah lewat dua bulan yang lalu. Dengan dana yang lebih untuk mengantisipasi denda, saya menuju Samsat Ciledug untuk mengurus STNK saya.

Prosedur mengurus pajak kendaraan bermotor ini telah saya paparkan sebelumnya di http://bagaimana-cara.blogspot.com/2008/11/urus-pajak-kendaraan.html. Untuk persyaratan dan prosedur pengurusan pajak kendaraan belum mengalami perubahan dari tulisan tersebut.

Untuk persyaratan kita tetap perlu menyediakan fotokopi BPKB, STNK, dan KTP pemilik kendaraan. Berdasarkan pengalaman saya di dua Samsat berbeda, sebaiknya kita mempersiapkan fotokopi yang dimaksud di Samsat tersebut. Samsat menyediakan jasa fotokopi yang sudah mengerti apa saja fotokopi yang perlu disiapkan serta bagaimana menyusun fotokopi dan berkas-berkas aslinya agar mudah diteliti oleh petugas Samsat. Biaya yang perlu saya keluarkan untuk urusan fotokopi ini hanya Rp. 4.000.

Prosedurnya sama seperti yang saya jelaskan dalam tulisan sebelumnya. Kita mulai dari pendaftaran, dilanjutkan dengan pemeriksaan, dilanjutkan dengan pembayaran di kasir, dan diakhiri dengan pengambilan berkas STNK kita. Setelah itu kita bisa melanjutkan urusan kita masing-masing.

Prosedurnya tidak dipersulit. Saat saya mengurus pajak motor saya ini, saya melihat sendiri banyak orang lain yang mengurus sendiri pembayaran pajak kendaraan mereka. Tidak hanya dari kalangan pria, tapi tidak sedikit wanita yang ikut mengantri untuk mengurus pajak mereka tanpa bantuan calo.

Waktu pengurusan hanya 1 (satu) jam. Biaya yang perlu dikeluarkan oleh kita sesuai dengan ketentuan perpajakan daerah tanpa ada biaya tambahan lainnya. Khusus untuk saya tentunya harus membayar lebih karena saya dikenakan denda karena membayar pajak melewati batas jatuh tempo.