Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Senin, 17 Juli 2023

Berburu SMA

0 opini

Melihat kembali perjalanan pendaftaran sekolah anak-anak dari SD, SMP, sampai SMA di tahun ini, indikasi kecurangan itu tetap ada. Sampai kapan, ya?

Berburu SD

Sembilan tahun yang lalu, saat berburu SD, prosedur pendaftarannya sederhana, tapi hasil pendaftarannya kurang transparan. Anak-anak saya tidak diterima di 3 sekolah dengan alasan jarak atau usia, tapi berhubung ada kabar "uang pelicin" untuk diterima, saya tidak terlalu percaya.

Saya tidak mau repot-repot mencari bukti dan memperjuangkan agar anak-anak saya diterima di 3 sekolah itu. Cari yang dekat saja, walaupun kualitasnya pas-pasan. Pada akhirnya, walaupun sedikit lebih repot, anak-anak saya berhasil mendapatkan sekolah.

Berburu SMP

Enam tahun kemudian, saat daftar SMP, prosesnya lebih sederhana dan lebih mudah karena dilakukan secara daring. Kriteria penerimaannya juga mudah dipahami dan hasilnya cukup transparan. Kondisinya seperti bumi dan langit bila dibandingkan dengan pendaftaran SD yang lalu.

Walaupun begitu, sistem zonasi memang menjadi momok. Lokasi sekolah yang tidak merata membuat banyak calon siswa tersingkir, termasuk anak-anak saya. Itu alasannya kenapa banyak orang tua rela memindahkan anak mereka ke kartu keluarga (KK) yang lokasinya dekat sekolah.

Kami beruntung karena saat itu ada jalur pendaftaran tahap 2 berbasis prestasi. Posisi anak-anak saya tetap mengkhawatirkan, tapi berakhir baik. Walaupun mereka tidak memiliki prestasi gemilang, nilai rata-rata mereka masih cukup untuk mengamankan kursi di salah satu SMP negeri.

Terlepas dari happy ending itu, mekanismenya perlu diperbaiki. Sistem zonasi, misalnya, bisa mendorong orang mengatur KK untuk anak mereka. Prestasi anak juga bisa saja diatur dengan nilai-nilai di sekolah sebelumnya. Dari 2 hal itu, mekanisme zonasi yang paling berisiko.

Berburu SMA Negeri

Di pendaftaran SMA baru-baru ini, kondisi itu terbukti. Ada siswa yang rumahnya hanya berjarak 7 meter dari sekolah. Ada sekelompok siswa yang jarak tempat tinggalnya sama persis dari SMA yang sama. Ada juga yang mengaku terdaftar di jalur zonasi lewat "orang dalam".

Kuota di jalur zonasi memang sangat banyak. Tidak heran kalau para orang tua akhirnya "memaksa" untuk masuk lewat jalur itu. Kalaupun mereka mengatur KK, aturannya memang membolehkan, terlepas dari kasus absurd seperti jarak 7 meter atau sekelompok siswa yang ada di KK yang sama.

Anak-anak saya memang tidak mungkin terdaftar di jalur zonasi karena pasti kalah bersaing. Kami hanya mengandalkan jalur prestasi. Sayangnya kuota jalur prestasi itu jauh lebih sedikit dari kuota zonasi. Alhasil nilai rata-rata 86,68 mereka gagal mengamankan kursi.

Saya akhirnya mendaftarkan anak-anak saya ke salah satu SMA Muhammadiyah. Mereka sudah diterima dan, saat tulisan ini dibuat, sudah mulai sekolah. Namun, lucunya eksekusi sistem pendaftaran SMA ini masih menjadi topik yang hangat di tengah keluarga.

Anak-anak saya menyaksikan sendiri kecurangan yang dilakukan orang demi mendapatkan sekolah negeri. Mereka juga melihat langsung kecurangan itu seperti dibiarkan oleh pihak yang berwenang. "Percuma saja ada verifikasi," keluh salah satu anak saya. Kami semua hanya bisa tertawa.

Semoga saja kondisinya terus membaik. Semoga hal-hal konyol di jalur zonasi bisa digerus sampai habis. Semoga kuota jalur prestasi ditambah. Semoga prestasi di tingkat sekolah bisa diperhitungkan. Semoga kecurangan di proses pendaftaran sekolah dapat diminimalkan.

Berlaku curang saat daftar sekolah itu ironis. Masak untuk diterima di sekolah negeri harus "mengakali" KK atau masih lewat orang dalam? Kalau masih begitu, untuk apa ada sistem pendaftaran elektronik? Lagi pula, didikan apa yang mau kita tanamkan di dalam diri anak-anak kita?

Di balik semua itu, ada pelajaran yang bisa diambil. Anak-anak saya jelas mendapat pelajaran soal pentingnya disiplin dan rajin. Mereka disadarkan bahwa kegagalan mereka, walaupun ada pihak lain yang bisa disalahkan, adalah karena kemalasan mereka sendiri.

Beralih ke SMA Swasta

Kami juga mendapat kesempatan berbaik sangka pada Yang Maha Kuasa. Walaupun tidak masuk sekolah negeri, kami tetap bersyukur ditunjukkan jalan menuju SMA yang islami. Bukan tidak mungkin memang ini jalannya untuk membentuk karakter yang lebih baik dalam diri anak-anak kami.

Tidak bisa dipungkiri bahwa jalan menuju SMA Muhammadiyah itu seperti dibukakan untuk kami. Dari gagal masuk sekolah negeri, ada yang tiba-tiba mengarahkan ke SMA Muhammadiyah, sampai uang juga cukup untuk menutupi biaya pendaftaran. Apa itu istilahnya, "semesta mendukung", ya?

Last but not least, hidup harus jalan terus dan terus lurus. Kecurangan harus dihindari karena memang itu jalan hidup yang diridai Allah Swt. Jangan sampai kecurangan yang kita anggap kecil berbalik menjadi masalah di masa depan, apalagi di akhirat. Na'uudzubillaahi.

Senin, 13 Juli 2020

Berburu SMP Di PPDB Tangerang 2020

0 opini
Sekolah (Gambar oleh srip)
Akhirnya blog ini mendapat kesempatan untuk bernapas kembali. Kali ini saya ingin berbagi pengalaman saya mendaftarkan kedua anak saya ke SMP melalui Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Kota Tangerang untuk tahun ajaran 2020/2021. Berhubung saya mencoba dua jalur, yaitu jalur zonasi dan jalur prestasi akademik, ada beberapa hal menarik yang bisa saya bagikan.

Semua dimulai pada tanggal 20 Agustus 2005, saat saya resmi menikahi calon ibu dari anak-anak saya. ...

Maaf saya mundurnya terlalu jauh. Saya ulangi.

Semua dimulai saat saya mendapat kepastian bahwa pendaftaran SMP untuk kedua anak saya akan dilakukan secara online (daring). Hal itu merupakan kabar baik bagi saya karena pendaftaran daring seharusnya lebih mudah dan efisien. Sebelumnya saat saya dan istri saya berburu SD untuk kedua anak saya, pendaftarannya harus dilakukan dengan datang ke sekolah. Cara itu tentu saja lebih ribet karena kami harus mengunjungi beberapa sekolah secara bergantian, menyiapkan dokumen (1 rangkap untuk 1 sekolah), dan mengantri berkali-kali.

Kabar yang lebih baik lagi adalah ujian nasional (UN) segera ditiadakan akibat wabah Covid-19. Anak-anak (termasuk kami) tidak perlu jumpalitan lagi untuk mempersiapkan diri menghadapi UN. Kami tidak perlu khawatir lagi kedua anak kami kesulitan mendapatkan nilai pada ujian dengan standar nasional yang kemungkinan standarnya lebih tinggi daripada sekolah kedua anak kami.

Tanpa adanya UN, penilaian akademik hanya dilakukan berdasarkan nilai rata-rata rapor dari kelas 4 sampai kelas 6. Untungnya kedua anak kami memiliki prestasi akademik yang cukup baik. Salah satunya langganan peringkat 1, sementara saudaranya, di kelas yang berbeda, tidak pernah lepas dari peringkat 2, 3, atau 4; bahkan berhasil mendapat peringkat 1 di kelas 6 semester 1. Kami begitu yakin bahwa nilai-nilai mereka akan memudahkan mereka mendapatkan SMP kelak.

Ternyata dugaan kami salah. Tanpa adanya UN, standar penilaian justru menjadi tidak jelas. Saat nilai rata-rata dijadikan acuan, standar tidak mungkin tercapai karena tiap-tiap sekolah memiliki standar nilai tersendiri. Di antara semua SD yang ada di Kota Tangerang, apa mungkin semuanya memiliki standar nilai yang sama? Sepertinya tidak mungkin. Akhirnya kabar baik dihapuskannya UN berubah menjadi kabar buruk.

Jalur Zonasi
Sebelum curcol saya di atas menjadi terlalu panjang, saya langsung masuk ke proses pendaftaran yang saya jalani bersama istri dan anak-anak saya. Proses ini benar-benar efisien. Kami hanya perlu menunggu PIN yang disiapkan dan didistribusikan kepada tiap-tiap siswa oleh SD (bukan SMP). Setelah menerima PIN, anak-anak saya dapat login ke dalam situs PPDB Mandiri menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan PIN masing-masing.

Jadwal PPDB SMP Kota Tangerang Tahun 2020 (Sumber: Situs Resmi PPDB Kota Tangerang)

Situs PPDB Mandiri tersebut mulai dapat digunakan sesuai jadwal yang saya cantumkan di atas. Seperti yang dapat dilihat di gambar tersebut, PPDB SMP Kota Tangerang terbagi menjadi 2 tahap, yaitu Tahap 1 dan Tahap 2. Tahap 1 dibagi menjadi 4 jalur, yaitu zonasi, afirmasi, perpindahan orang tua, dan prestasi (akademik dan non-akademik yang dilombakan). Tahap 2 hanya memiliki 1 jalur, yaitu jalur prestasi akademik yang dibatasi untuk daerah dalam kota (Kota Tangerang).

Prosesnya berjalan sesuai jadwal. Kedua anak saya mulai dari jalur zonasi. Persaingannya sangat ketat. Saya melihat banyak pendaftar yang memiliki nilai rata-rata 90. Itu artinya para siswa itu memperoleh nilai yang sangat tinggi sejak kelas 4 semester 1 sampai kelas 6 semester 1. Bagi siswa dan sekolah terkait, hal itu adalah prestasi yang luar biasa, tapi kondisi itu justru menegaskan dalam diri saya bahwa kemungkinan terjadinya ketimpangan dalam penilaian itu cukup besar.

Persaingannya semakin ketat bagi anak-anak saya karena, selain nilai rata-rata mereka tidak terlalu tinggi, skor zona mereka juga rendah. Dari nilai maksimal 5, anak-anak saya hanya mendapat skor 2. Berhubung lokasi sekolah di Kota Tangerang tidak tersebar secara merata, saya melihat banyak sekali pendaftar yang memiliki skor 2. Persaingan pendaftar dengan skor zona 2 benar-benar tinggi karena jumlah mereka benar-benar dominan. Hal itu terjadi di setiap SMP yang ada di Kota Tangerang.

Kenapa saya bisa tahu? Karena sistemnya transparan. Kami bisa melihat perkembangan penerimaan di setiap SMP. Kami dapat melihat siapa orangnya, berapa skor zonanya, berapa nilai rata-ratanya, berapa usianya, dan berapa skor totalnya. Skor total itu yang menjadi penentu apakah seorang siswa diterima atau tidak dan ada di urutan keberapa dari keseluruhan siswa yang diterima.

Skor Jalur Zonasi
Skor (Freepik)
Skor total itu yang perlu diperhatikan. Ada 4 faktor yang menentukan skor total itu, yaitu zona, nilai rata-rata, usia, dan nomor urut pendaftaran. Semakin tinggi skor zonanya, semakin tinggi nilai rata-ratanya, semakin tua usianya, semakin cepat mendaftarnya, semakin besar peluangnya. Sayangnya faktor-faktor tersebut diperlakukan sebagai skala prioritas. Tidak ada pembobotan untuk tiap-tiap faktor. Di bawah ini saya berikan ilustrasinya.

Saya ambil contoh salah satu anak saya dengan skor total 28402899283xxxxx. Saya pecah menjadi:
  • Digit 1: 2. Ini adalah skor zona.
  • Digit 2-5: 8402. Ini adalah skor berdasarkan nilai rata-rata. Nilai rata-rata anak saya adalah 84,02.
  • Digit 6-11: 899283. Ini adalah skor berdasarkan tanggal lahir.
  • Digit 12-16: xxxxx. Sepertinya ini adalah skor berdasarkan urutan pendaftaran.
Digit 1 itu menjadi penentu pertama. Seandainya ada pendaftar lain yang memiliki skor zona 3, 4, atau 5, maka skornya sudah pasti lebih tinggi dari anak saya, walaupun nilai rata-ratanya 60,00. Bila skor zonanya sama, nilai rata-rata yang akan menentukan. Bila nilai rata-rata, tanggal lahir yang menjadi penentu. Begitu pula bila semua faktor itu sama, urutan pendaftaran yang akan menjadi penentu.

Hal itu sempat dialami langsung oleh anak saya. Ada pendaftar lain dengan nilai rata-rata 77 yang diterima di sebuah sekolah karena skor zonanya 5. Terakhir saya lihat, posisinya ada di antara posisi 15-20 di sekolah tempat dia mendaftar. Anak saya justru ada di area waswas. Ada juga pendaftar lain dengan skor zona dan nilai rata-rata yang sama persis dengan anak saya. Posisinya 1 tingkat di atas anak saya karena usianya sedikit lebih tua.

Persaingan yang ketat membuat kedua anak saya pindah-pindah pilihan sekolah. Salah satunya justru gugur di hari kedua pendaftaran karena kalah persaingan di skor zona 2. Di akhir proses pendaftaran jalur zonasi, anak saya yang masih bertahan di area waswas tidak sreg dengan sekolah yang berhasil dipilihnya karena lokasinya sulit dijangkau. Dia pun bergabung dengan saudaranya untuk melawan monster jahat yang merusak kota, eh, untuk berjuang di jalur prestasi.

Jalur Prestasi
Monster (Gambar oleh Smashicons)
Setelah jalur afirmasi dan perpindahan orang tua selesai, jalur prestasi pun dimulai. Rasa waswas akibat pengalaman pahit di jalur zonasi masih ada, tapi kami mencoba untuk tetap optimis. Kami cukup yakin bahwa jalur zonasi telah melahap habis para siswa yang bernilai tinggi sehingga persaingan di jalur prestasi pun tidak akan seketat jalur zonasi.

Keyakinan itu pun terbukti. Walaupun jalur prestasi itu mencakup para siswa dengan prestasi non-akademik yang dilombakan, mayoritas tetap berisi para siswa yang mendaftar melalui prestasi akademik. Itu artinya persaingannya lebih ditentukan oleh nilai rata-rata dan usia. Pada akhirnya, walaupun awalnya posisi kedua anak saya sempat sempat mengkhawatirkan, mereka berhasil bertahan.

Model penghitungan skornya serupa tapi tak sama dengan penghitungan skor di jalur zonasi. Perbedaannya adalah di jalur prestasi tidak ada faktor seperti zona sehingga skor total yang diperoleh benar-benar mencerminkan nilai rata-rata, usia, dan urutan pendaftaran. Kami beruntung karena nilai rata-rata kedua anak saya masih mampu membawa mereka bertahan di SMP yang sesuai harapan mereka.

Perbaikan yang Perlu Dilakukan
Saya yakin tidak semua pendaftar itu mengalami happy ending seperti anak-anak saya. Walaupun sistem PPDB Kota Tangerang secara daring terbukti efektif, efisien, dan transparan, penghitungan skor yang menentukan diterima atau tidaknya seorang siswa masih perlu dioptimalkan. Saya sendiri melihat ada beberapa hal yang dapat diperbaiki.

Pertama, perbaikan di skor zona. Berhubung menyebarkan lokasi sekolah lebih merata butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit, penentuan skor zona perlu dimodifikasi agar tidak ada penumpukan siswa dengan skor zona 2. Ada yang mengusulkan agar kelurahan-kelurahan yang tidak memiliki SMP dipertimbangkan untuk "didekatkan" dengan sekolah tertentu sehingga skor zonanya meningkat untuk sekolah tersebut.

Kedua, pembobotan faktor penghitungan skor. Pembobotan juga dapat dijadikan alternatif. Faktor-faktor di atas jangan dijadikan urutan prioritas, tapi masing-masing memiliki bobot untuk menentukan skor total. Model penghitungannya tentu tidak sesederhana yang dilakukan saat ini (seperti saya jelaskan di atas), tapi hasilnya mungkin akan lebih adil. Dengan bobot, skor zona tetap dapat meningkatkan daya saing seorang siswa, tapi tidak terlalu dominan seperti saat ini.

Menurut saya, kedua hal itu yang penting untuk diperhatikan. Sistemnya sendiri tidak hanya efektif, efisien, dan transparan, tapi juga sudah cukup stabil. Saya sendiri tidak merasakan kendala yang berarti selama saya menggunakan sistem tersebut bersama anak-anak saya. Rasa waswas justru timbul saat saya melihat hasilnya. Tentu disayangkan bila sistem yang layak pakai justru memberikan keluaran atau hasil yang mengecewakan. 

Sabtu, 20 September 2014

Bermain Di Khan Academy

3 opini
Selagi sempat...

Kali ini saya ingin berbagi pengalaman saya menggunakan Khan Academy. Bagi yang belum tahu, Khan Academy adalah sebuah situs belajar online (daring) yang menyediakan materi dari berbagai subyek seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan Computing (Pemrograman). Situs tersebut dapat diakses di www.khanacademy.org. Saat ini, situs tersebut memungkinkan penggunanya untuk login dengan membuat akun baru atau menggunakan akun Facebook atau akun Google yang sudah dibuat sebelumnya. Saya sendiri memilih untuk menggunakan akun Google (tidak membuat akun baru) agar inventaris akun saya tidak semakin menumpuk.

Kembali ke Khan Academy.

Logo Khan Academy*
Yang membuat saya tertarik untuk menggunakan Khan Academy adalah metode belajarnya yang interaktif; tidak hanya bersifat satu arah. Khan Academy tidak hanya menyediakan video-video yang dapat diakses penggunanya kapan pun dan di mana pun (asalkan terhubung ke Internet), tapi juga memungkinkan penggunanya untuk mencoba sendiri konsep-konsep yang sedang dipelajari melalui sistemnya. Metode belajar interaktif ini memang merupakan salah satu kelebihan sistem belajar daring sebagaimana saya paparkan sebelumnya di dalam tulisan saya Potensi Besar Sistem Belajar Online.

Yang disayangkan adalah metode belajar interaktif tersebut belum (atau memang "tidak") mencakup semua subyek yang ditawarkan Khan Academy. Saat ini, metode belajar interaktif ini hanya diterapkan untuk 2 (dua) subyek, yaitu Matematika dan Pemrograman. Saya sudah mencoba menjelajahi kedua subyek tersebut di Khan Academy dan proses belajarnya memang menyenangkan. Keseluruhan prosesnya yang saya maksud "menyenangkan"; bukan karena banyaknya badge (lencana) yang berhasil saya raih.

Yang lebih menarik lagi adalah fitur mastery challenge di subyek Matematika. Tidak seperti di subyek Pemrograman yang konsepnya masih diatur secara sequential (berurutan), fitur mastery challenge di subyek Matematika memungkinkan saya untuk menguji pengetahuan Matematika saya saat ini sehingga Khan Academy bisa merekomendasikan topik yang tepat untuk saya pelajari. Semakin sering saya menggunakan fitur tersebut, semakin akurat topik yang direkomendasikan untuk saya.

Cuplikan Mastery Challenge
Masih banyak hal menarik lainnya di dalam Khan Academy, tapi lebih baik tidak saya beberkan di sini. Untuk sebuah pengalaman yang menarik, akan lebih baik bila dicoba sendiri ketimbang diceritakan oleh orang lain. Saya yakin masing-masing orang akan menemukan pengalaman uniknya sendiri dalam menggunakan salah satu situs belajar daring yang menyenangkan itu.

Tapi ceritanya belum selesai.

Satu hal unik lagi di Khan Academy yang ingin saya bagi lewat tulisan ini adalah fitur coaching (bimbingan) yang ditujukan bagi para pendidik (baca: guru) dan para orang tua. Saat saya mengetahui ada fitur tersebut (seingat saya sekitar pertengahan Juli), waktunya bertepatan dengan masuknya 2 (dua) anak pertama saya ke kelas 1 SD. Saya pun segera membuatkan akun-akun baru untuk kedua anak saya agar mereka bisa segera mulai mengakses dan menggunakan Khan Academy.

Hingga saat ini, kedua anak saya masih antusias untuk "bermain" di Khan Academy. Awalnya saya mengajak mereka sesekali waktu saat the one and only laptop di rumah saya sedang tidak saya gunakan untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah atau menonton film. Saat ini, saat intensitas kuliah saya sedang turun, saya mencoba jadwal rutin bermain di Khan Academy untuk kedua anak-anak saya: 30-60 menit setiap 2 (dua) hari. Alhamdulillah mereka tidak bosan dan senantiasa bersemangat untuk bermain di Khan Academy.

Saat ini, kedua anak saya masih berkutat di bagian Early Math, yaitu bagian dari subyek Matematika yang ditujukan untuk anak kelas 1 SD. Ada beberapa konsep yang bisa mereka pahami dengan mudah, sementara beberapa konsep lainnya butuh waktu lebih lama untuk mereka pahami. Untuk konsep-konsep yang bisa mereka pahami dengan mudah, anak-anak saya bisa belajar secara mandiri. Hanya saja untuk menerjemahkan bahasa Inggris yang menjadi bahasa utama di Khan Academy itu mereka masih harus dibantu. Sementara untuk konsep-konsep yang tidak mudah mereka pahami, peran saya atau istri saya menjadi lebih besar. Selain membantu menerjemahkan bahasa Inggris, kami harus turun tangan membantu mereka memahami konsep-konsepnya. Hal ini memang agak merepotkan, tapi saat mereka sudah mulai paham, mereka bisa kembali mencoba belajar secara mandiri.

Secara garis besar, ada beberapa hal yang saya rasakan selama anak-anak menggunakan Khan Academy, yaitu:
  • Anak-anak saya masih butuh didampingi, tapi selama saya mendampingi mereka, saya harus hati-hati agar tidak memaksa mereka untuk menjawab dengan benar. Penting untuk saya ingat bahwa anak-anak harus terbiasa berbuat salah dan terus mencoba lagi agar kemandirian belajar mereka bisa terbentuk. Bila kemandirian belajar ini tidak tercapai, anak-anak saya tidak akan bisa menggunakan Khan Academy tanpa kehadiran saya. Kondisi ini justru meniadakan kelebihan sistem belajar daring yang ditawarkan Khan Academy.
  • Ada kalanya intervensi untuk menjawab soal yang sulit dijawab oleh anak-anak itu perlu saya lakukan. Hal ini saya lakukan dalam rangka mengajarkan cara menjawab soal yang mereka hadapi. Dalam kondisi seperti ini, mereka memang berhasil menjawab soal karena saya bantu, tapi Khan Academy hanya menganggap anak-anak sudah mulai memahami sebuah konsep kalau mereka berhasil menjawab  5 (lima) pertanyaan sejenis secara berturut-turut. Jadi, intervensi yang saya lakukan pada dasarnya tidak mengganggu proses belajar anak-anak saya.
  • Anak-anak perlu dibiasakan untuk memahami pertanyaan yang diberikan dan tidak menjawab hanya berdasarkan pola atau hafalan. Hal ini kerap terjadi saat anak-anak saya menggunakan Khan Academy dan menurut saya hal ini berbahaya karena berhasil menjawab pertanyaan tanpa pemahaman yang baik akan membuat fondasi belajar mereka keropos. Pada akhirnya, mereka sering kesulitan menjawab soal dengan pola yang berbeda walaupun konsepnya sama. Contohnya mereka bisa menjawab pertanyaan tentang penambahan yang soalnya dilengkai gambar/ilustrasi, tapi mereka kesulitan menjawab pertanyaan tentang penambahan yang soalnya hanya berisi teks.
  • Perhatian anak-anak pun perlu dialihkan dari pencapaian-pencapaian seperti lencana atau nilai yang umumnya didapat lewat mastery challenge. Mereka masih perlu diarahkan untuk mencoba konsep-konsep lain, misalnya yang direkomendasikan oleh Khan Academy itu sendiri. Kadang anak-anak saya malas mencoba yang lain karena dianggap terlalu sulit. Di sinilah salah satu peran penting saya sebagai orang tua, yaitu mendorong agar anak justru mau mencoba yang sulit dan berusaha memahaminya. "Kalau cuma ngerjain yang sudah ngerti sih bukan belajar dong namanya," begitu kira-kira kalimat yang sering saya lontarkan saat mereka menghindari konsep yang sulit di Khan Academy.
Masih banyak pengalaman menarik lain yang bisa saya bagi lewat tulisan ini, tapi saya rasa paparan di atas sudah cukup banyak. Intinya baik saya maupun anak-anak menikmati waktu yang kami habiskan di Khan Academy. Dalam konteks bimbingan, Khan Academy jelas membantu saya mengawasi perkembangan belajar anak-anak saya. Kalaupun saya tidak bisa terus-menerus menemani mereka bermain di Khan Academy, saya masih bisa memantau perkembangan anak-anak saya lewat sebuah dashboard yang dirancang khusus untuk para pendidik dan orang tua.

Dashboard yang berisi perkembangan belajar anak-anak
Lewat dashboard tersebut, saya bisa melihat apa saja yang sudah dikerjakan anak-anak saya, apa saja yang berhasil mereka kuasai, apa saja yang sulit mereka kuasai, dan berbagai informasi lainnya. Gambar di atas hanya menyediakan ringkasan perkembangan, tapi rinciannya tetap dapat diakses dengan mudah oleh saya. Tidak mungkin saya paparkan satu per satu informasi yang bisa saya dapatkan lewat dashboard tersebut. Yang pasti, dashboard tersebut sangat membantu saya dalam memahami perkembangan belajar anak-anak saya. Dashboard ini menjadi nilai tambah tak tergantikan yang saya dapatkan dari Khan Academy.

Ada begitu banyak pengalaman menarik selama saya menggunakan Khan Academy, baik untuk belajar sendiri maupun untuk membiasakan anak-anak saya belajar secara mandiri. Tulisan ini pada akhirnya hanya menggambarkan sedikit saja dari pengalaman menyenangkan tersebut. Satu hal yang pasti, Salman Khan sudah berhasil mendapatkan 3 (tiga) tambahan pengguna yang puas menggunakan sistem yang dikembangkannya.

--
*Gambar ditemukan lewat Google Image Search

Minggu, 29 Juni 2014

Berburu SD

3 opini
Akhirnya blog ini pun di-update kembali. Kali ini saya akan berbagi pengalaman saya dan +Ratna Aditia berburu sekolah dasar (SD) untuk Raito dan Aidan. Bagi para orang tua kawakan, pengalaman kami mungkin bisa menjadi sarana hiburan dan nostalgia. Sementara bagi para orang tua pemula seperti kami, pengalaman kami ini mungkin bisa menjadi tempat untuk menemukan rekan senasib dan sepenanggungan.

Saya mulai.

Seperti halnya yang dilakukan oleh setiap orang tua yang bertanggung jawab, liburan sekolah kali ini kami (saya dan istri saya) manfaatkan untuk mendaftarkan Raito dan Aidan ke salah satu SD negeri di Tangerang. Terus terang, kami sangat awam untuk urusan daftar SD ini. Kami tidak tahu kapan pendaftaran sekolah itu dibuka, apa saja yang menjadi persyaratannya, bagaimana prosedurnya, atau berapa biayanya. Oleh karena itu, langkah pertama yang kami lakukan adalah bertanya ke beberapa SD terkait tanggal dibukanya pendaftaran. Dari informasi yang kami dapatkan, tanggal dibukanya pendaftaran untuk SD negeri itu serentak. Bila waktu pendaftaran itu sudah dekat, SD-SD negeri itu akan memasang spanduk atau sejenisnya yang akan mengumumkan tanggal dibukanya pendaftaran. Bila ada 1 (satu) SD negeri yang memasang pengumuman itu, dapat dipastikan bahwa SD-SD negeri lainnya pun sudah (atau akan) memasang pengumuman yang sama. Yang perlu kami lakukan adalah memeriksa apakah ada SD negeri yang sudah memasang pengumuman seperti itu. Hal ini kami lakukan secara berkala (selang 2 - 3 hari) sejak awal Juni.

Setelah spanduk pengumuman itu terpasang, langkah selanjutnya adalah melakukan pendaftaran. Untuk Raito dan Aidan, SD pertama yang kami sambangi adalah SD P (bukan nama sebenarnya) yang merupakan SD unggulan. Di SD P ini, untuk mendaftar saja harus mengantri. Terlihat jelas bahwa para orang tua berbondong-bondong ingin memasukan anaknya ke SD unggulan ini. Persis di sebelah SD P ini pun ada SD Q (bukan nama sebenarnya) yang sudah menjadi langganan cadangan SD unggulan (baca: cadangan SD P). Terlihat jelas bahwa setiap orang tua yang mendaftarkan anaknya di SD P itu juga mendaftarkan anaknya di SD Q; termasuk kami. Selain SD P dan SD Q, kami pun mendaftarkan Raito dan Aidan ke SD R: SD negeri lain yang terlihat bonafid.

Di ketiga sekolah tersebut, baik prosedur maupun persyaratan pendaftarannya terbilang sama. Untuk persyaratannya, saya hanya perlu menyiapkan akta kelahiran asli (hanya untuk diperlihatkan), fotokopi akta kelahiran, fotokopi KTP saya, fotokopi KTP istri saya, dan fotokopi kartu keluarga; 1 (satu) rangkap untuk masing-masing anak. Yang sedikit berbeda adalah prosedurnya. Setelah kami mengisi formulir pendaftaran, SD Q dan SD R melanjutkan dengan melakukan wawancara singkat kepada Raito dan Aidan, sementara di SD P tidak ada wawancara sama sekali. Setelah semua prosedur dilewati, kami menerima tanda bukti pendaftaran yang nantinya harus dibawa saat kami akan melakukan daftar ulang; itu pun kalau Raito dan Aidan diterima. Berapa biayanya? 0 (nol) alias gratis.

Walaupun persyaratan dan prosedurnya terbilang mudah dipenuhi dan diikuti, prosesnya sendiri terbilang melelahkan karena waktu pendaftarannya sangat terbatas. Waktu pendaftaran sekolah di SD negeri, khususnya yang kami sambangi, hanya dibatasi selama 3 (tiga) hari. Di setiap harinya pun jamnya dibatasi dari pagi (sekitar pukul 07.30-08.00) sampai siang (sekitar pukul 12.00-13.00). Jadi untuk mendaftar ke beberapa SD negeri itu waktunya tidak terlalu longgar. Kami menghabiskan waktu 2 (dua) hari untuk mendaftarkan Raito dan Aidan ke tiga SD tersebut.

Pedih!*
Setelah proses pendaftaran selesai, yang bisa kami lakukan adalah menunggu pengumuman. Bagaimana hasilnya? Gagal total! Raito dan Aidan tidak diterima di SD P dan SD Q, sementara di SD R, Raito dan Aidan masuk ke dalam daftar tunggu; untuk menunggu tanpa kepastian. Saat kami berpikir bahwa 3 (tiga) SD itu sudah terlalu banyak, rupanya Raito dan Aidan tidak diterima di satu SD pun. Pedih!

Mengapa Raito dan Aidan bisa gagal? Apakah karena Raito dan Aidan kurang pintar? Sepertinya bukan itu alasannya. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, kriteria penerimaan siswa baru di SD P, Q, dan R adalah lokasi domisili dan usia calon siswa. Untuk kriteria lokasi domisili, yang diutamakan adalah jarak lokasi tempat tinggal dari lokasi SD. Semakin dekat jarak tersebut, semakin besar peluang diterimanya siswa di SD terkait. Untuk kriteria usia calon siswa, yang diutamakan adalah yang berusia 7 (tujuh) tahun, kemudian di atas 7 (tujuh) tahun, dan terakhir di bawah 7 (tujuh) tahun. Kami sempat bertanya kepada panitia penerimaan SD P mengenai tidak adanya wawancara singkat? Salah seorang panitia mengatakan "tidak perlu" karena yang diterima lebih ditentukan oleh lokasi domisili. Jadi kami berasumsi bahwa Raito dan Aidan tidak diterima di ketiga SD tersebut karena lokasi rumah kami terlalu jauh atau karena umur mereka terlalu muda.

Percaya dengan kriteria itu? Tidak terlalu.

Saya memang hanya setengah percaya dengan kriteria-kriteria yang saya paparkan di atas. Masalahnya adalah saat pengumuman itu pun tidak jelas di mana tempat tinggal dan berapa usia para calon siswa yang diterima. Yang tercantum di dalam daftar pengumuman itu hanya status "diterima" dan "tidak diterima"; khusus untuk SD R juga ada status "cadangan". Bagaimana kami bisa percaya dengan kriteria penerimaan siswa baru tersebut kalau hasil pengumumannya saja tidak terlalu transparan? Selain itu, kabar burung terkait "uang pelicin" pun masih beredaran sehingga semakin sulit bagi saya untuk mempercayai kriteria penerimaan siswa baru itu.

Terima bahwa Raito dan Aidan gagal masuk SD? 100%.

Apapun alasannya, nasi sudah menjadi bubur ayam Cirebon. Setelah rasa pedih di hati sirna, kami mencoba menentukan langkah selanjutnya. Menurut kami, berhubung Raito dan Aidan masih berumur 6 (enam) tahun, masuk SD tahun depan pun tidak masalah. Waktu luang yang mereka miliki selama menunggu datangnya tahun ajaran baru itu dapat diisi dengan mengikuti kursus-kursus seperti kursus bahasa Inggris atau komputer. Prinsipnya adalah sekolah boleh ditunda, tapi belajar harus tetap berjalan.

Walaupun begitu, tetap saja ada perasaan yang mengganjal. Istri saya merasa usaha kami belum maksimal dan mengusulkan untuk mencoba mencari SD negeri lain yang masih membuka pendaftaran. Walaupun waktu pendaftaran SD negeri yang kami tahu itu sudah tutup, kami berasumsi masih ada sekolah yang kuotanya belum penuh dan masih menerima pendaftaran di luar waktu pendaftaran yang resmi. Strategi kami pun kami ubah dari mengejar SD negeri unggulan dan cadangan unggulan menjadi mengejar SD negeri terdekat.

Alhamdulillah salah seorang tetangga pernah memberikan informasi SD negeri yang jaraknya sangat dekat dengan lokasi tempat tinggal kami, yaitu SD S (bukan nama sebenarnya). Dengan perasaan harap-harap cemas, kami pun mendatangi SD S. Saat itu, suasana di SD S sangat sepi; tidak ada tanda-tanda penerimaan siswa baru. Kami maklum karena memang waktunya sudah lewat, tapi berhubung gerbangnya terbuka, kami tetap masuk dan mencoba mencari informasi. Alhamdulillah ternyata masih ada seorang guru yang berbaik hati untuk menerima pendaftaran siswa baru. Seorang? Ya, beliau sendirian menangani pendaftaran siswa baru sementara guru-guru lain sedang mengikuti penataran di sekolah lain. Kenapa saya bisa tahu alasannya? Beliau curcol.

Intinya Raito dan Aidan diterima di SD S. Rasa pedih itu memutuskan untuk tidak datang kembali menghampiri hati kami. Baik persyaratan maupun prosedurnya mirip dengan di SD P, Q, dan R. Bedanya adalah di SD S ini, akta kelahiran asli harus diserahkan dan hanya bisa diambil kembali saat daftar ulang. Mengapa begitu? Karena SD S ini sudah terlalu sering menjadi cadangan yang tidak diambil. Dengan begitu panitia penerimaan siswa baru di SD S ini berinisiatif kalau memang orang tua siswa benar-benar berniat mendaftarkan anak mereka di SD S, mereka harus berani meninggalkan akta kelahiran anak mereka yang asli. Tanpa akta kelahiran yang asli, mendaftarkan anak di SD lain menjadi sulit (atau bahkan tidak mungkin). Kenapa saya bisa tahu sejauh ini? Guru tersebut (lagi-lagi) curcol. Selama guru tersebut curcol, saya hanya mesem-mesem sendiri; itu pun di dalam hati.

Selain masalah akta kelahiran asli yang harus diserahkan ke pihak sekolah, prosedur di SD S pun sedikit berbeda. Di SD S ini, calon siswa akan diuji kemampuannya dalam menulis, membaca, dan berhitung. Ujiannya sendiri hanya sedikit (satu halaman A4/Folio) dan penilaiannya tidak terlalu ketat, tapi terlihat sekali bahwa SD S ini lebih mengharapkan kesiapan calon siswa dalam menghadapi pelajaran-pelajaran SD yang berat dibandingkan SD-SD yang sebelumnya saya datangi. Yang juga berbeda di SD S ini adalah masalah biaya. Di SD S ini, saya harus mengeluarkan uang Rp. 20.000 untuk biaya pendaftaran per anak. Jadi saya perlu membayar Rp. 40.000 untuk biaya pendaftaran Raito dan Aidan. Inilah risiko memiliki anak kembar.

Perjuangan saya dan istri saya untuk mendaftarkan Raito dan Aidan ke SD negeri pun berakhir; dan untungnya berakhir dengan baik. Raito dan Aidan bisa segera melanjutkan sekolah tahun ini dan kami pun tidak perlu terlalu pusing mencarikan kegiatan belajar lain untuk mereka. Selanjutnya bagaimana? Tahap selanjutnya adalah daftar ulang. Entah apa yang harus kami siapkan saat daftar ulang nanti. Semoga saja urusan itu pun berakhir dengan baik.

--
*Gambar ditemukan lewat Google Image Search

Selasa, 14 Juli 2009

Kegagalan Pendidikan Umum

6 opini
Pola pendidikan yang lumrah diterapkan pada generasi muda saat ini adalah pola pendidikan umum yang mencakup SD (Sekolah Dasar), SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), dan SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Pendidikan umum ini diarahkan untuk menyiapkan generasi muda yang tidak buta huruf dan terdidik.

Dengan adanya pola pendidikan umum seperti ini, kita bisa mengharapkan adanya arahan dan pedoman yang jelas dalam konteks pengembangan pendidikan. Setiap pelajar yang diikutkan dalam pola pendidikan umum tersebut dapat mengikuti arahan yang diberikan oleh para pengajar yang bertanggung jawab. Dengan adanya pola pendidikan umum ini, kita dapat memiliki tolok ukur perkembangan pendidikan generasi muda.

Selain itu pola pendidikan umum ini juga memiliki peran yang signifikan dalam membantu para orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Apalagi untuk para orang tua yang kesulitan meluangkan waktu untuk anak-anaknya, misalnya karena bekerja, tentu sangat terbantu dengan adanya pola pendidikan umum ini.

Saya yakin masih ada manfaat lain dari pola pendidikan umum yang berjalan saat ini. Akan tetapi yang ingin saya ungkapkan lewat tulisan ini adalah sisi negatifnya. Saya melihat masih banyak "kesalahan" yang dapat diperbaiki atau ditingkatkan pada pola pendidikan umum dalam usahanya mencetak generasi muda terdidik.

Kesalahan pertama pada pola pendidikan umum yang saya perhatikan sampai saat ini adalah kurang memicu inisiatif dan inovasi dari para pelajar. Pendidikan umum kerap menaruh perhatiannya pada teori dan hapalan. Para pelajar dituntut untuk mengetahui sesuatu (menghapal teori) tanpa dipicu untuk mengembangkan pengetahuan mereka. Minat dan rasa ingin tahu para pelajar kurang mendapatkan rangsangan. Yang lebih mengenaskan lagi adalah saat minat dan rasa ingin tahu itu timbul, para pengajar tidak dapat mengarahkannya dengan baik.

Kesalahan kedua pada pola pendidikan adalah kurang melibatkan orang tua. Pendidikan umum sering hanya berputar di sekitar pengajar dan pelajar. Padahal interaksi antara pengajar dan pelajar seringkali dibatasi oleh ruang kelas atau paling jauh gerbang sekolah. Bagaimana tindak lanjut pendidikan saat para pelajar sudah kembali ke rumah masing-masing? Kurang atau bahkan tidak ada tindak lanjut sama sekali. Pola pendidikan umum secara tidak langsung mengajarkan orang tua untuk mengandalkan orang lain (yaitu para pengajar) dalam mendidik anak-anak mereka. Hal ini sering berujung pada sikap orang tua yang sering lepas tangan dan hanya ingin melihat hasil.

Kesalahan ketiga pada pola pendidikan umum adalah kurang menjelaskan tujuan belajar. Setahu saya tujuan pembelajaran dicantumkan dalam kurikulum masing-masing mata pelajaran. Sayangnya tujuan pembelajaran ini belum tentu diterapkan oleh para pengajar. Kalaupun memang diterapkan, para pengajar tidak pernah beranjak lebih jauh dari tujuan pembelajaran menjadi tujuan belajar. Misalnya mata pelajaran Biologi menuntut seorang pelajar memahami tentang A, B, dan C. Hal ini mungkin lumrah untuk diterapkan oleh para pengajar. Akan tetapi para pengajar kerap tidak berlanjut dengan menjelaskan apa tujuan dari memahami A, B, dan C itu.

Kesalahan keempat pada pola pendidikan umum adalah kurang memperhatikan variasi kecerdasan yang dimiliki para pelajar. Teori kecerdasan ganda bukanlah hal yang baru. Sayangnya pola pendidikan umum kurang memberikan perhatian pada hal ini. Akhirnya metode pengajaran yang diterapkan masih mengandalkan metode konvensional. Definisi kecerdasan seorang pelajar pun lebih diutamakan pada kecerdasan logika dan kemampuan berhitung anak.

Empat kesalahan yang saya ungkapkan di atas mungkin tidak dapat memberikan gambaran komprehensif mengenai kekurangan yang ada pada pola pendidikan umum. Walaupun begitu, saya berharap empat kesalahan di atas dapat menyadarkan kita mengenai dampak negatif yang mungkin timbul dari pola pendidikan umum dalam masyarakat kita.

Ada banyak generasi muda yang menjadi pintar lewat pola pendidikan umum. Sayangnya potensi mereka sering tidak tersalurkan karena mereka tidak terbiasa mengembangkan minat dan rasa ingin tahu mereka. Mereka dapat diibaratkan seperti orang yang tahu berbagai rumus matematika namun tidak dapat mengembangkannya untuk menemukan persamaan-persamaan lain.

Bagi generasi muda yang tidak terlihat pintar lewat pola pendidikan umum, semakin kecil kemungkinan penyaluran potensi yang mereka miliki. Rendahnya penghargaan terhadap kecerdasan lain selain kecerdasan logika atau matematika jelas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penyaluran potensi ini.

Minimnya keterlibatan orang tua menambah pelik pengembangan potensi seorang anak. Orang tua pun terpengaruh dengan cara pandang terhadap kecerdasan anak secara umum sehingga anak yang memiliki kecerdasan logika atau matematika yang rendah langsung dicap bodoh. Keterlibatan orang tua dalam menggali potensi anak menjadi krusial dalam hal ini. Sayangnya pola pendidikan umum kerap tidak memungkinkan keterlibatan yang signifikan dari orang tua masing-masing pelajar.

Itu hanya sebagian kecil dari dampak negatif yang mungkin timbul lewat penerapan pola pendidikan umum. Walaupun pendidikan umum membawa banyak manfaat, saya yakin hasilnya akan jauh lebih optimal seandainya diberikan perhatian yang memadai terhadap hal-hal yang saya ungkapkan di atas.

Referensi:
--
* Gambar diambil dari http://www.free-clipart-pictures.net/ dan http://www.hscripts.com/

Versi PDF: http://www.4shared.com/file/117981741/73741438/KegagalanPendidikanUmum.html

Senin, 13 Juli 2009

Sekolah Itu Membosankan

4 opini
Hari ini adalah hari pertama tahun ajaran baru untuk banyak sekolah. Saya mengetahui hal ini karena kedua keponakan saya sedang "menangis sedih" karena harus masuk sekolah lagi. Mereka memilih libur lebih lama lagi ketimbang harus menghabiskan waktu belajar di sekolah mereka.

Sepertinya mereka menganggap sekolah itu membosankan. Bagian yang menyenangkan dari sekolah adalah waktu olahraga, waktu istirahat, dan waktu pulang. Bagian yang tidak menyenangkan adalah saat belajar di dalam kelas, menghapal, mengerjakan tugas, dan mengerjakan PR (pekerjaan rumah).

Mereka tidak punya motivasi untuk masuk sekolah. Mereka terpaksa masuk sekolah karena berbagai alasan. Mungkin karena takut dimarahi orang tua, mungkin karena takut nilai mereka jelek, mungkin karena takut dicap bodoh, atau berbagai alasan lainnya.

Keterpaksaan bukan sumber motivasi yang baik. Keengganan mereka untuk sekolah berujung pada keengganan mereka untuk belajar. Persepsi mereka bahwa sekolah itu membosankan pada akhirnya juga membuat mereka berpikir bahwa belajar itu membosankan.

Kalau saya berkaca dari pengalaman saya sendiri, 3 (tiga) jenjang sekolah -dasar, menengah, atas- tidak pernah meninggalkan kesan yang signifikan. Motivasi terbaik saya untuk belajar adalah untuk mendapatkan nilai yang bagus. Sayangnya motivasi mendapatkan nilai yang bagus kerap tidak disertai alasan yang signifikan. Alasan yang paling umum adalah agar nilai rapor tidak ada yang berwarna merah.

Belajar di sekolah tidak memiliki tujuan besar. Saya sekolah karena pada dasarnya semua orang seumur saya pun sekolah. Saya tidak melihat sesuatu yang signifikan yang saya bisa capai dengan bersekolah. Hal ini terus berlangsung mulai dari tingkat sd (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama) sampai SMA (Sekolah Menengah Atas).

Ada kalanya saya menyayangkan semua itu karena saya merasakan juga dampaknya saat duduk di bangku kuliah. Alasan saya kuliah sepertinya lebih cenderung karena kekhawatiran tidak akan mendapatkan pekerjaan yang layak dengan ijazah SMA.

Pola belajar di bangku kuliah pun lebih sering karena saya mengejar nilai. Ibarat kata usaha yang saya keluarkan untuk belajar pada dasarnya untuk menjaga agar saya tidak perlu mengulang sebuah mata kuliah. Tujuan akhirnya adalah mengejar IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang memuaskan tanpa perlu mengulang satu mata kuliah pun.

Pengalaman saya yang paling berharga di bangku kuliah justru saat saya melakukan kerja praktek. Pada kerja praktek itu saya diminta membuatkan sebuah aplikasi komputer sederhana. Di sini saya baru menyadari betapa pentingnya keahlian saya dan betapa minimnya ilmu yang saya miliki. Padahal pada saat itu saya sudah kuliah lebih dari 2 (dua) tahun.

Saya sering menyayangkan betapa banyaknya waktu yang terbuang untuk belajar tanpa tujuan/arahan yang jelas. 72 bulan di SD, 36 bulan di SMP, 36 bulan di SMA, dan 54 bulan di bangku kuliah. Seandainya saya memanfaatkan 198 bulan itu untuk belajar secara terarah, mungkin wawasan dan kemampuan yang saat ini saya miliki akan jauh lebih terasah. Sangat disayangkan bila waktu yang seharusnya kita manfaatkan untuk mengasah kemampuan justru kita gunakan untuk belajar dari awal.

Walaupun begitu, faktanya tidak semua orang mengalami apa yang saya alami. Tidak sedikit teman sekolah atau teman kuliah yang mencapai hasil belajar yang jauh lebih baik dari yang saya harapkan. Tidak sedikit teman sekolah atau teman kuliah yang dapat memaksimalkan hasil belajar mereka. Tidak sedikit teman sekolah atau teman kuliah yang mendapat manfaat maksimal dari tempat-tempat pendidikan.

Yang jelas semua yang saya paparkan di atas adalah hasil pengalaman pribadi. Walaupun tidak semua orang mengalami hal yang sama, bukan tidak mungkin tidak sedikit orang yang MEMANG mengalami hal yang sama. Bisa jadi tidak sedikit orang yang menyesali hal yang sama setelah mereka lulus kuliah dan bekerja seperti saya.

--
* Gambar diambil dari http://www.freeschoolclipart.com/