Senin, 31 Desember 2012

Tersambar Petir

2 opini
Once upon a time, there was a boy.

Kalau saya melihat kembali ke masa lalu, saya bisa melihat bahwa hidup saya senantiasa mengikuti arus. Mulai dari kecil hingga saya lulus kuliah, saya tidak bisa pungkiri bahwa hidup saya cuma gitu-gitu doank. Contohnya dalam konteks pendidikan formal. Saya masuk SD agar bisa masuk SMP, saya masuk SMP agar bisa masuk SMA, dan saya masuk SMA agar bisa kuliah.

Padahal di beberapa kesempatan, saya merasa ada hal-hal yang seharusnya bisa merubah hidup saya. Saya sempat diterima di SMA 3 Bandung; sebuah SMA unggulan. Sayangnya saya tidak bisa mengoptimalkan motivasi belajar saya di sana. Saat kelas 3 SMA, saya pindah ke SMA 1 Ciputat karena alasan domisili. Di SMA ini, saya mendadak menonjol (dari sebelumnya biasa saja di SMA 3). Saya bahkan mendapatkan kesempatan untuk ikut seleksi Olimpiade Fisika. Kesempatan ini pun tidak saya maksimalkan.

Kuliah pun bagi saya tidak lebih dari rangkaian pendidikan formal yang perlu saya lewati untuk mendapatkan pekerjaan kelak. Saya kuliah di Fakultas Ilmu Komputer UI, tapi tempat kuliah ini tidak jauh berbeda dengan SMA. Kampus ini bagi saya hanya tempat untuk mendapatkan nilai yang bagus agar peluang kerja saya meningkat. Hidup saya seolah-olah diarahkan oleh apa yang umum saja; benar-benar seperti mengikuti arus. Nothing special.

Once upon a time, there was a boy who wanted to fly.

Hanya saja saya memang merasakan sebuah perbedaan yang signifikan dalam hidup saya di akhir kuliah saya. Pada saat itu saya yakin interaksi saya dengan Islam yang telah merubah sikap saya terhadap hidup. Saya tidak lagi sekedar mengikuti arus, tapi saya mulai berenang menentukan arah saya sendiri. Saya ingin kehadiran saya menjadi signifikan. I wanted to make a difference. Walaupun pada saat itu keinginan untuk make a difference ini agak rancu dengan keinginan untuk pamer.

Saya lulus kuliah dengan IPK di atas 3 (tiga). 2 (dua) semester terakhir menjadi medan tempur untuk memaksimalkan nilai-nilai di SKS yang tersisa. Saya ingin mengambil langkah pertama untuk membuat perbedaan di dunia ini dengan mendapatkan IPK yang "memuaskan". Saya ingin mendapatkan peluang kerja yang menantang dan menarik. Untuk melakukan itu, saya pikir IPK 3 (tiga) koma sekian adalah awal yang baik. Or is it?

Saya pindah kerja dari satu tempat ke tempat yang lain; trying to make a difference. Di setiap pekerjaan, saya senantiasa ingin menjadi seseorang yang signifikan. Sayangnya saya tidak pernah merasa berhasil menggapai itu. Terus terang saya sendiri tidak merasa memiliki motivasi yang cukup untuk menjadi signifikan. Hampir di setiap pekerjaan yang saya geluti, saya selalu mengawali dengan semangat dan pada akhirnya kehilangan semangat itu seiring waktu.

Saya selalu ingin sukses, saya selalu ingin menjadi yang terbaik, saya selalu ingin menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang memiliki pengaruh yang signifikan. Lulus kuliah, menikah, mempunyai anak, dan bekerja di berbagai tempat sepertinya tidak membantu saya mendapatkan apa yang saya inginkan. Have I really made a difference in my life to date?

Once upon a time, there was a boy who flew.

Pada kenyataannya, saya sudah membuat perbedaan untuk saya dan orang-orang di sekitar saya. Saya sudah berhasil menjadi pribadi yang kehadirannya signifikan. Saya sudah berhasil melakukan banyak hal walaupun tidak dapat dikatakan "luar biasa". Indeed, I made a difference.

Saat saya sadari, IPK 3 (tiga) yang saya dapatkan saat kuliah S1 berhasil membawa saya ke pekerjaan saya sekarang. Kemampuan teknis yang saya miliki serta pengalaman-pengalaman dari berbagai tempat kerja saya sebelumnya telah membawa saya ke posisi yang penting di tempat kerja saya sekarang. Saya berhasil menjadi pekerja yang diperhitungkan dan dipercaya. Semua itu pada akhirnya "terbukti" saat saya diberi kepercayaan untuk memikul beban sebagai salah satu pegawai terbaik. Pemikiran dan hasil kerja saya telah membawa pengaruh yang cukup signifikan untuk diperhitungkan oleh para atasan.

Menikah di usia menjelang 23 tahun juga sebuah pencapaian yang luar biasa bagi saya. Jelas bahwa saya berhasil melewati berbagai tantangan kehidupan pernikahan dan membentuk hubungan penuh kasih sayang dengan istri saya. Memiliki anak kembar di usia menjelang 26 tahun memperpanjang rangkaian pencapaian yang saya lakukan dalam kehidupan berumah-tangga. Saya berhasil menjadi ayah yang luar biasa. Saya bisa menandingi istri saya dalam berbagai urusan merawat dan mendidik anak. Satu-satunya hal yang tidak bisa saya lakukan adalah memproduksi air susu untuk anak-anak saya.

Dalam dunia blogging pun "karir" saya memang tidak cemerlang. Saya bukan seorang "seleb blog", tapi kumpulan blog saya sudah berhasil mencapai ratusan ribu page views dengan Bagaimana Cara meraup lebih dari 200.000 page views. Yang lebih penting lagi adalah begitu banyaknya komentar (sebagian besar berupa pertanyaan) di blog Bagaimana Cara yang bisa saya jawab. Hal ini yang menjadi tolok ukur saya bahwa tulisan saya berhasil membantu orang lain.

Dan masih banyak lagi pencapaian dalam hidup saya yang bisa saya ceritakan, tapi tulisan berisi riwayat hidup saya ini sudah terlalu panjang. Satu hal yang ingin saya tegaskan adalah tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membangga-banggakan diri saya sendiri. Tulisan ini sebenarnya hanya sebatas self-proclamation bahwa saya sudah terbang; saya bukan lagi seseorang yang hanya ingin terbang. Saya sudah terbang, saya sudah membuat perbedaan, saya sudah menjadi pribadi yang signifikan.

Once upon a time, there was a boy who continued flying in search for another great adventure.

[Bersambung...]

*Tulisan ini terinspirasi oleh film Struck by Lightning
**Semua gambar ditemukan lewat Google

Sabtu, 22 Desember 2012

Rapor Pertama Raito Aidan

0 opini
Akhirnya setelah 1 (satu) semester bersenang-senang belajar di TK setempat, Raito dan Aidan pun menerima rapor pertama mereka. Inilah rapor pertama dalam hidup mereka; salah satu indikator penting yang akan menentukan arah bimbingan saya dan ibu mereka. Tentu saja yang deg-degan saat menerima rapor itu bukan Raito dan Aidan, tapi justru saya dan ibu mereka.

Sejak Raito dan Aidan baru belajar merangkak, saya dan ibu mereka mencoba untuk terus memperhatikan perkembangan kecerdasan dan keterampilan mereka. Dengan perbedaan yang begitu kontras di antara mereka, kami sudah menduga bahwa mereka memiliki bakat dan minat yang juga berbeda. Ya, mereka memang beda. Bukan hanya beda di paras, warna kulit, jenis rambut, tinggi badan, dan berbagai segi fisik lainnya, mereka pun berbeda dalam tahap-tahap perkembangan mereka.

Aidan lebih unggul dalam perkembangan motorik kasar. Dia lebih dulu belajar berbalik badan, merangkak, merambat, dan pada akhirnya berjalan. Perbandingan yang paling kontras adalah saat Aidan sudah gemar merangkak dan merambat, Raito masih merayap gaya dada. Benar-benar sebuah kenangan manis mengingat hal itu. Raito sendiri lebih unggul dalam perkembangan motorik halus. Cara dia memegang dan menggenggam sesuatu, terutama alat tulis, memperlihatkan keunggulannya dibandingkan Aidan. Genggaman Raito begitu kuat sampai Aidan yang badannya lebih besar pun lebih sering kalah saat mereka tarik tambang tarik-menarik berebut mainan.

Seiring waktu, perkembangan mereka berjalan stabil. Saya tidak merasakan kekurangan apa pun dalam perkembangan fisik dan mental Raito dan Aidan. Hanya saja saat masuk TK, saat mereka akhirnya berhadapan dengan "pendidikan formal", Raito mulai terlihat dominan. Perkembangan Raito terlihat lebih baik dibandingkan Aidan dalam banyak hal. Ini yang saya lihat langsung di rapor mereka.

Raito unggul dalam menghafal, berbicara (bercerita), menggambar, melukis, berhitung, dan banyak hal lainnya. Bahkan, yang cukup mengherankan, Raito pun lebih unggul dalam perkembangan motorik kasar. Ini kesimpulan singkat yang saya dapatkan dari membandingkan rapor mereka. Hanya saja Raito ini dinilai kurang dalam urusan manajemen emosi, sementara Aidan dapat dikatakan unggul dalam hal menahan diri.

Pada titik ini, saya yakin para penggemar bagian otak akan mengatakan Raito itu dominan otak kirinya. Sementara Aidan sendiri lebih dominan otak kanannya. Hal itu mungkin saja benar, tapi saya masih menganggap pemisahan seperti itu terlalu dini untuk anak seusia mereka. Saya sendiri merasa, setelah membaca beberapa karakteristik otak-kiri dan otak-kanan, saya bisa memaksimalkan kedua bagian otak itu. Kalau saya yang sudah "uzur" saja bisa, saya pun yakin kedua anak-anak saya yang masih berumur 4,5 tahun itu masih bisa berkembang lebih jauh lagi.

Lalu bagaimana dengan "kekalahan" Aidan? Sampai saat ini saya lebih cenderung menduga bahwa Aidan termasuk tipe orang yang tidak suka dengan metode pengajaran formal di kelas. Raito sendiri memang lebih mudah untuk fokus pada sesuatu, sementara Aidan perlu dibangkitkan terlebih dahulu minatnya untuk bisa fokus. Kalau mereka sudah fokus pada sesuatu, saya tidak melihat perbedaan yang signifikan dengan kemampuan mereka untuk memperhatikan dan mempelajari sesuatu itu.

Jadi fokus saya dan ibu mereka lebih kepada Aidan; tentu saja dengan tidak melupakan Raito. Yang perlu kami cari tahu untuk saat ini adalah bagaimana meningkatkan minat belajar Aidan dan membiasakan Aidan untuk fokus (tidak mudah teralihkan). Kalau kami berhasil melakukan itu, kami rasa tidak sulit bagi Aidan untuk tetap keep up dengan metode pengajaran formal di kelas.

Kamis, 18 Oktober 2012

Tilangnya, Mas.

3 opini
Beberapa waktu yang lalu, saya ditilang karena dianggap melanggar lampu merah. Berhubung penilaian salah-benar dalam kondisi ini cenderung sepihak, apa pun yang saya katakan tidak bisa mengembalikan SIM saya yang terlanjur ditahan polisi yang bertugas. Berhubung saya tidak mau ribut, saya terima saja lembar merah surat tilang yang diberikan polisi kepada saya untuk menebus SIM saya di Pengadilan Negeri Tangerang.

Terus terang saya sempat ragu saat hendak menerima surat tilang itu. Alasan paling kuat adalah karena saya malas berurusan dengan calo. Buat apa saya repot-repot menerima surat tilang kalau pada akhirnya saya harus menggunakan calo untuk menebus SIM saya? Mendingan damai deh.

Tetap saja saya optimis. Saya yakin bisa menghindari calo saat menghadiri sidang di Pengadilan Negeri nantinya. Saya pikir menghadiri sidang tilang adalah sesuatu yang perlu saya lakukan sendiri. Ini adalah pengalaman sekali seumur hidup. Maksudnya tentu saja jangan sampai saya ditilang lagi. Selain itu, saya yakin pengalaman ini bisa menjadi bahan tulisan baru di blog memberikan manfaat bila saya share lewat blog.

Saya dipanggil untuk menghadiri sidang pada hari Jum'at, 12 Oktober 2012. Umumnya Pengadilan Negeri Tangerang sudah beroperasi mulai jam 8 pagi. Sayangnya hari Jum'at adalah waktu bagi pegawai negeri sipil untuk melakukan olah raga pagi bersama. Jadi saya pun terpaksa menunggu hingga pukul 9 pagi.

Padahal saya sendiri sengaja datang ke sana sekitar pukul 07:30. Saya berasumsi pukul 07:30 itu belum masuk jam beroperasi calo. Jadi saya datang sepagi mungkin dengan tujuan untuk menghindari calo -dan untuk menghindari antrian. Ternyata Pengadilan Negeri Tangerang sudah bersih dari calo. Dan... antrian orang yang menghadiri sidang tilang sepagi itu pun sudah cukup panjang.

Untungnya, walaupun sidang belum bisa dimulai, antrian sudah dibuka. Pengurus tilang diminta mengumpulkan lembar merah sidang tilang mereka. Tidak sampai jam 9 pagi, para "tersangka" yang sudah mengumpulkan lembar merah pun dipanggil satu per satu. Setiap orang yang dipanggil satu per satu masuk dan menunggu di dalam ruang sidang. Setelah memenuhi "kuota" ruang sidang, kami pun menghadap hakim satu per satu.

Peraturan di dalam ruang sidang cukup ketat. Setiap orang diminta untuk mematikan handphone (atau mengaktifkan mode silent) dan melepas jaket masing-masing. Saya pribadi maklum dengan peraturan seperti ini, tapi yang membuat saya heran adalah tidak ada keharusan untuk menggunakan sepatu. Saya pikir masuk ke ruang sidang itu harus formal sehingga saya sendiri berpakaian lengkap dengan batik, celana panjang, dan sepatu pantofel. Mungkin untuk sidang tilang aturannya lebih fleksibel karena toh yang hadir di sidang tilang ini datang dari berbagai kalangan; termasuk yang tidak merasa perlu repot-repot memiliki sepatu pantofel.

Sidang tilang berlangsung cepat. Hakim menanyai para pelanggar itu satu per satu, tapi tetap saja terkesan seperti formalitas. Saya pun ditanya "di mana" dan "kenapa", tapi apa pun yang saya katakan terkesan tidak ada artinya. Pada akhirnya saya harus mengeluarkan uang Rp. 75.000 untuk menebus SIM A saya; ditambah Rp. 500 untuk biaya perkara.

Dan... selesai. SIM yang ditahan polisi pun sudah kembali ke dalam dompet saya.

Ada beberapa hal menarik yang perlu saya ungkapkan di sini. Pertama, ladies are welcome. Saya melihat ada 3 atau 4 orang wanita yang menghadiri sidang tilang; salah satunya adalah seorang ibu yang menggendong balita. Mungkinkah balita itu diajak untuk melembutkan hati hakim agar tidak memutuskan denda terlalu tinggi? Entahlah.

Kedua, ditilang dua kali berturut-turut itu memungkinkan. Di dalam rombongan yang menghadiri sidang tilang itu, ada 2 (dua) orang yang mengaku mengurus dua tilang. Salah satu dari mereka sempat bercerita kalau tilang pertama diambil SIM-nya dan tilang kedua diambil STNK-nya; atau malah sebaliknya? Saya agak lupa.

Itu saja yang bisa saya tuangkan dalam tulisan kali ini.

Semoga bermanfaat!

Selasa, 08 Mei 2012

Berkah Di Balik Pertengkaran Suami Istri

2 opini
http://samarakita.net/
Di setiap masalah yang kita hadapi itu senantiasa ada hikmah; ada sesuatu yang dapat kita pelajari. Pelajaran yang kita dapatkan saat menghadapi masalah dalam hidup kita ini yang membantu kita berkembang dan menjadi dewasa. Akan tetapi, setiap masalah tidak otomatis memberikan pelajaran kepada kita. Berhasil tidaknya kita mendapatkan pelajaran di balik masalah kita sangat bergantung pada bagaimana kita bersikap.

Begitu juga halnya dengan masalah rumah tangga. Masalah dengan pasangan, dengan anak, dengan orang tua, dengan mertua, atau bahkan dengan pembantu (PRT) dapat memberikan pelajaran berharga bagi hidup kita, terutama dalam hal mengelola hubungan keluarga. Lagi-lagi saya tegaskan bahwa pelajaran yang dimaksud itu sangat bergantung pada bagaimana kita menyikapi masalah dalam keluarga kita.

Untuk menjaga agar tulisan ini tidak melebar ke mana-mana, saya batasi topik tulisan ini ke masalah suami istri. Setelah hampir 7 tahun menikah, hubungan saya dengan istri saya sudah pasti naik turun. Kadang baik, kadang buruk. Kadang romantis, kadang sadis. Kadang erat, kadang bertengkar hebat. Menikah memang benar-benar sebuah pengalaman yang luar biasa.

Bertengkar dengan pasangan hidup kita memang memancing emosi dan menguras energi; benar-benar melelahkan. Akan tetapi, momen tersebut adalah momen yang penting untuk bertukar pikiran dan pendapat dari lubuk hati yang paling dalam. Seorang penulis buku atau artikel yang pernah saya baca menggunakan istilah the moment of truth untuk menggambarkan pertengkaran antara suami dan istri.

The Moment of Truth
Kenapa "the moment of truth"? Karena saat bertengkar dengan pasangan itu kita tidak lagi peduli dan tidak lagi sungkan. Saat bertengkar itu kita benar-benar menyuarakan pendapat kita apa adanya. Segala sesuatu yang biasa kita pendam jauh di lubuk hati kita, karena kita takut menyakiti pasangan kita, bisa jadi akan keluar satu demi satu. Semua isi hati kita pun kita keluarkan tanpa ditutup-tutupi atau diperhalus. Kita tidak lagi peduli dan tidak lagi sungkan.

Ada banyak hal yang saya pahami dari istri saya setelah saya dan istri saya bertengkar hebat. Justru momen-momen menyakitkan saat bertengkar dengan istri itu membukakan mata saya dan mencoba melihat dari sudut pandang istri saya. Dari situ saya membuka diri untuk benar-benar memahami perbedaan pendapat yang menyebabkan pertengkaran kami dan mencoba menemukan titik temu untuk menyelaraskan perbedaan kami.

Tentu saja apa yang saya lakukan itu tidak terjadi sepihak. Saya yakin istri saya pun melakukan hal yang sama. Saya yakin istri saya pun mencoba memahami saya. Saya yakin istri saya pun berusaha melihat dari sudut pandang saya dan mencoba menyelaraskan perbedaan pendapat di antara kami.

Dalam proses memahami perbedaan itu, saya pun dihadapkan pada tiga pilihan: mempertahankan pendapat saya, mengalah dan memenangkan keinginan/kebutuhan istri saya, atau mencari jalan tengah yang mengakomodir kebutuhan bersama. Idealnya tentu saja jalan tengah itu yang dipilih, tapi realita tidak memungkinkan kondisi ideal itu terus tercapai. Kadang kita memang harus kekeuh dan kadang kita memang harus mengalah.

For the Greater Good
Kata kuncinya adalah for the greater good, yaitu demi kebaikan yang lebih besar. Kebaikan yang lebih besar yang saya maksud adalah keutuhan pernikahan. Kalau kita merasa bahwa kita tidak akan bertahan tanpa mempertahankan pendapat kita, maka mengalah pada pasangan kita mungkin akan menjadi pilihan buruk. Kalau kita merasa bahwa mengalah itu lebih baik karena pasangan kita kekeuh mempertahankan pendapatnya, maka mengalah itu mungkin akan menjadi pilihan yang baik.

Apa yang terjadi kalau masing-masing pihak, baik suami maupun istri, sama-sama merasa pendapatnya harus dipertahankan? Apa yang terjadi kalau masing-masing pihak tidak mau mengalah? Kita kembalikan lagi ke frase "for the greater good" tadi. Kalau masing-masing pihak bergerak menuju keutuhan pernikahan, maka jalan tengah yang mengakomodir pihak suami dan pihak istri itu pasti akan ditemukan. Kalau masing-masing pihak hanya bergerak menuju keinginan/kebutuhannya sendiri-sendiri, maka hubungan pernikahan yang terbentuk kelak akan keropos dan rusak dengan sendirinya.

Seperti yang saya tegaskan di atas, berkah di balik pertengkaran dengan pasangan kita itu sangat bergantung pada bagaimana kita dan pasangan kita bersikap. Bila masing-masing pihak bersikap positif dan menerima perbedaan yang ada kemudian bergerak untuk menyelaraskan perbedaan yang ada, berkah di balik pertengkaran itu akan datang dengan sendirinya. Dengan begitu, di akhir pertengkaran besar sekali pun, kita akan membentuk ikatan yang jauh lebih kuat dengan pasangan hidup kita.

--
Tulisan terkait:

Rabu, 02 Mei 2012

Antara Tegas dan Keras

0 opini
http://www.zawaj.com/
Raito dan Aidan memang anak-anak yang keras kepala. Saat mereka memiliki keinginan, mereka press forward. Sayangnya tidak semua keinginan mereka selaras dengan keinginan saya dan bunda mereka. Potensi konflik pun terbuka. Kadang potensi konflik ini dapat diredam lewat mufakat, kadang potensi konflik ini berlanjut menjadi konflik yang sebenarnya.

Raito - Aidan vs. Abi. Fight!

Saat emosi mulai keluar (baca: saat saya mengernyitkan dahi, menghapus senyum, dan meniadakan intonasi lembut di suara saya), perseteruan ayah dan anak pun sulit dihindari. Saya bersikeras untuk tidak menuruti keinginan anak-anak, anak-anak pun bersikeras meminta keinginan mereka dituruti. Pada saat seperti inilah batas antara sikap tegas dan sikap keras menjadi kabur. Hal ini pasti terjadi walaupun saya sendiri sudah mampu membedakan antara tegas dan keras.

Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa praktek itu jauh, jauh, dan jauh lebih sulit dan kompleks dibandingkan teorinya. Walaupun saya berusaha sebisa mungkin untuk tidak menjadi seorang ayah yang keras, berurusan dengan dua malaikat keras kepala di rumah itu seringkali menjebak saya untuk melewati batas. Tanpa saya sadari, awan di atas kepala saya sudah mengeluarkan petir dan awan di atas kepala anak-anak saya sudah menurunkan hujan deras.

Saya akui bahwa alasan saya "bablas" dan memarahi anak itu karena saya lelah. Saat saya lelah, menyikapi kelakuan menyebalkan anak-anak saya itu menjadi perjuangan yang hebat. Apalagi saat kelakuan menyebalkan itu tidak kunjung berhenti, saya pun terpancing untuk menggunakan jalan singkat. Jalan singkat itu adalah dengan menjadi sekeras batu dan sepanas api.

Saat saya sudah terlanjur marah, nasi pun sudah menjadi bubur. Saya bersyukur bila saya sadar di tengah-tengah kemarahan saya. Tidak jarang istri saya berperan besar membantu saya meredam amarah ini. Saat saya sadar, hal pertama yang saya lakukan adalah diam. Lewat diam itu saya berusaha menenangkan hati.

Ada kalanya bahkan saya meninggalkan anak-anak saya, misalnya dengan pindah ke kamar lain, hanya untuk menenangkan diri. Setelah diri saya tenang, saya pun kembali menghadapi anak-anak saya. Pada saat itu, saya sudah mampu untuk bersikap dengan bijak. Dengan hati yang tenang, seburuk apa pun kelakuan anak-anak saya, saya selalu bisa menghadapinya dengan senyuman.

Perlu saya tegaskan bahwa peran istri saya di sini sangat besar. Saat saya marah kepada anak-anak saya, istri saya tidak serta-merta berpihak kepada anak-anak. Istri saya justru berusaha memahami kenapa saya marah dan berkenan bila saya meninggalkannya bersama anak-anak yang berteriak-teriak menangis tiada henti. Tidak terbayang bila istri saya justru berbalik menyalahkan saya saat saya marah. Bila itu terjadi, saya mungkin akan sakit hati dan semakin merasa kesal.

Bukan berarti saya merasa benar saat saya marah. Walaupun keputusan saya sendiri memang benar, marah pada anak-anak tetap saja bukan hal yang bisa saya benarkan. Saya tetap yakin bahwa marahnya saya akan memberi dampak buruk kepada anak-anak saya, misalnya membuat anak-anak saya menjadi penakut atau justru mengajarkan mereka untuk menjadi orang yang pemarah.

Itulah alasannya mengapa saat saya kembali menghadapi anak-anak saya setelah saya menenangkan diri. Hal ini saya tujukan untuk mengajarkan kepada anak-anak saya bahwa marah itu tidak baik dan masalah itu dapat diselesaikan lewat kompromi/mufakat. Alhamdulillah anak-anak saya masih dekat dengan saya. Sebesar apa pun masalah mereka dengan saya, mereka selalu menerima saya saat saya bergerak mendekati mereka.

Demikian sekelumit kisah kecil saya bersama Raito dan Aidan. Kalau saya pikir-pikir, semua stres yang muncul saat konflik dengan Raito dan Aidan itu memang tidak signifikan. Pada akhirnya perbedaan keinginan antara saya dengan Raito dan Aidan berakhir baik lewat kompromi dan kesepakatan, baik dari sisi saya maupun dari sisi mereka, dan bukan lewat teriakan dan tangisan.

--
Rekomendasi: Menyiasati Marah Dalam Keluarga http://asyafrudin.blogspot.com/2011/02/menyiasati-marah-dalam-keluarga-1.html

Rabu, 04 April 2012

Dunia Tanpa Hak Cipta

0 opini
http://www.cwu.edu/
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana kondisi di dunia ini tanpa adanya hak cipta? Apakah itu berarti tidak ada pembajakan? Apakah itu berarti tidak ada tuntutan hukum terhadap penggunaan hasil karya orang lain? Apakah itu berarti inovasi akan terus berjalan? Apakah itu berarti dunia ini akan lebih aman, nyaman, dan damai?

Saya tidak tahu dan tidak berusaha mencari tahu jawaban dari pertanyaan di atas. Akan tetapi, saya rasa pembajakan itu akan tetap ada. Hanya saja mungkin definisinya akan sedikit berbeda. Saat ini definisi pembajakan selalu dikaitkan dengan pelanggaran hak cipta. Bagi saya, ada hak cipta atau tidak, menjiplak hasil kerja orang lain tanpa persetujuan dari orang tersebut adalah pembajakan.

Pertanyaannya adalah mungkinkah kehidupan di dunia ini membaik tanpa hak cipta? Jawabannya antara mungkin dan tidak mungkin. Bila hak cipta itu tidak ada, kasus-kasus pelanggaran hak cipta tidak mungkin ada karena tidak ada yang dapat digunakan sebagai bukti terjadinya pelanggaran. Dengan begitu, para oportunis yang gemar mencari uang lewat tuntutan hukum pelanggaran hak cipta pun akan kehilangan lahan untuk bermain.

Di sisi lain, tanpa adanya hak cipta itu, penjiplakan sangat mungkin meningkat dengan pesat. Hasil kerja seseorang dapat kita temukan dengan mudah di tempat-tempat lain. Tanpa adanya perlindungan hukum terhadap hasil kerja seseorang, maka para oportunis yang gemar mencari keuntungan lewat penjiplakan akan semakin merajalela.

Hak cipta itu sendiri memiliki dimensi yang mencakup berbagai aspek kehidupan. Membahas satu per satu contohnya tidak akan habis. Berhubung saya kurang suka dengan eksploitasi tuntutan hukum terhadap pelanggaran hak cipta, saya lebih cenderung memilih agar hak cipta itu dihilangkan saja. Akan tetapi, melihat kondisi penjiplakan yang terus meningkat, hati saya justru merasa bahwa aturan tentang hak cipta itu memang diperlukan. Kalau saja manusia lebih mampu menghargai hasil karya orang lain dan tidak sembarangan meniru, mencontek, atau menjiplak tanpa menyebutkan sumber (referensi) aslinya, mungkin saja dunia ini tidak akan memerlukan hak cipta.

Perdebatan tentang Hak Cipta
Terlepas dari penjelasan di atas, saya ingin berbagi sedikit pengalaman saya seputar perdebatan tentang hak cipta. Tahukah Anda bahwa di dunia ini ada orang (atau orang-orang) yang sangat tidak setuju dengan keberadaan hak cipta? Bukan saja tidak setuju dengan keberadaan hak cipta, mereka ini bahkan tidak setuju bahwa manusia itu memiliki hak terhadap hasil kerjanya sendiri. Kenapa? Karena segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan ciptaan Yang Maha Kuasa.

Pemikiran di atas menegaskan bahwa manusia itu dapat menghasilkan sesuatu atas petunjuk, pertolongan, dan izin dari Yang Maha Kuasa. Manusia itu tidak mungkin menghasilkan sesuatu tanpa andil Yang Maha Kuasa. Manusia pun tidak memiliki hak terhadap hasil kerjanya sendiri. Kepemilikan terhadap hasil kerja manusia ada pada Yang Maha Kuasa. Dengan begitu, hak cipta adalah sesuatu yang tidak pantas ada di muka bumi ini.

Sebagai seorang Muslim, saya pun meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah atas izin (dan kehendak) dari Allah SWT. Akan tetapi, sulit bagi saya untuk menerima pendapat yang mengatakan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak kepemilikan atas hasil kerjanya. Logika saya sederhana saja. Bukankah kita digaji atas hasil kerja kita? Bukankah kita dinilai atas perkataan dan perbuatan kita? Bukankah pahala dan dosa pun tidak lepas dari apa yang kita hasilkan dalam hidup kita?

Bahkan dalam menulis hal yang "sepele" seperti sebuah blog post pun penulisnya masih berhak mengakui bahwa tulisan itu adalah miliknya atau hasil kerjanya. Walaupun ide dan pengetahuan yang tertuang itu datangnya langsung dari Allah SWT, blog post yang berhasil di-publish oleh penulis itu adalah hasil kerjanya (miliknya). Penulis tersebut pun memiliki hak untuk meminta agar orang lain tidak asal menjiplak hasil kerjanya atau paling tidak menyebutkan blog post tersebut sebagai sumber saat dijiplak. Inilah alasannya kenapa saya setuju bila para plagiator itu disebut maling, karena mereka mengambil hasil kerja orang lain DAN mengakuinya sebagai hasil kerja sendiri.

Terkait dengan pernyataan 'plagiator adalah maling", saya pun mendapat kesempatan untuk bertukar pikiran dengan salah seorang pendukung pemikiran di atas. Singkat cerita, pendapat saya tetap menjadi pendapat saya. Sementara mereka yang menganggap Yang Maha Kuasa sebagai pemilik hak terhadap hasil kerja manusia itu pun sepertinya tetap mempertahankan pendirian mereka. Dapat ditebak bahwa perdebatan antara saya dengan salah satu dari mereka dapat dipastikan menjadi debat kusir. Kami justru sibuk memperdebatkan definisi seperti definisi tentang "kepemilikan" dan "hak milik", definisi tentang "mencuri", dan berbagai definisi lainnya yang tetap saja tidak akan menyatukan perbedaan pendapat yang sudah ada. Dan perdebatan tersebut pun ditutup dengan "we agree to disagree".

Demikian paparan sederhana dari saya tentang hak cipta. Saya tidak bisa mengatakan bahwa saya mendukung adanya hak cipta, tapi saya pribadi berusaha semaksimal mungkin menghargai hasil kerja orang lain. Menjiplak hasil kerja orang lain dan mengakuinya sebagai milik saya sendiri adalah hal yang tabu bagi diri saya.

Sabtu, 24 Maret 2012

Menjadi Teladan, Bukan Atasan

4 opini
Apapun metode mendidik anak yang kita gunakan, mendidik anak dengan menjadi teladan (memberi contoh) itu tetap lebih baik dibandingkan mendidik anak dengan menjadi atasan (memberi perintah). Berikut ini adalah rangkaian tweet saya sendiri tentang mendidik anak dengan menjadi teladan:
  1. Anak-anak adalah tukang tiru. Mereka lebih mudah belajar dengan meniru kita. Susah bagi mereka untuk mempelajari sesuatu lewat kata-kata.
    https://twitter.com/#!/asyafrudin/status/183357190709583872
  2. Untuk anak balita yang jarang keluar rumah, orang tua adalah narasumber utama untuk ditiru anak-anak kita.
    https://twitter.com/#!/asyafrudin/status/183357665395752961
  3. Dari yang baik sampai yang buruk, dari yang sepele sampai yang penting, anak-anak pasti akan meniru kita.
    https://twitter.com/#!/asyafrudin/status/183357878961319937
  4. Itulah alasannya kenapa untuk mendidik anak menjadi baik itu diperlukan orang tua yang memiliki karakter baik juga.
    https://twitter.com/#!/asyafrudin/status/183358170792607744
  5. Dari orang tua yang baik, lahir pula anak yang baik. Begitu kira-kira teorinya. Lalu bagaimana prakteknya? Prakteknya selaras dengan teori.
    https://twitter.com/#!/asyafrudin/status/183358506890559489
  6. Raito dan Aidan pun banyak meniru ayah dan ibunya; mulai dari kelakuan baik sampai dengan buruk; dari yang kecil sampai yang besar.
    https://twitter.com/#!/asyafrudin/status/183358735849226241
  7. Contohnya Raito dan Aidan suka meniru gaya saya menyetir. Gaya ini dipraktekan saat mereka mengendarai mobil mainan mereka.
    https://twitter.com/#!/asyafrudin/status/183359154516262912
  8. Tidak hanya itu. Sebegitu gemarnya mereka "menyetir", hampir semua objek dijadikan setir: gantungan baju, kotak kosong, dll.
    https://twitter.com/#!/asyafrudin/status/183359359626133504
  9. Ada banyak hal lain yang ditiru oleh Raito dan Aidan. Terlalu banyak untuk disebut satu per satu.
    https://twitter.com/#!/asyafrudin/status/183360252446642176
  10. Intinya adalah anak-anak itu pasti meniru kita. Jadi, kalau anak-anak kita bersikap buruk, mari kita introspeksi. Jangan cuma marahi anak.
    https://twitter.com/#!/asyafrudin/status/183361142972882944
  11. Untuk mengajarkan anak kita hal-hal yang baik, kita contohkan. Bahkan hal-hal yang remeh pun perlu kita contohkan.
    https://twitter.com/#!/asyafrudin/status/183361489724387328
  12. Membaca do'a sebelum makan, membaca do'a sebelum tidur, membaca do'a sebelum bepergian, makan sambil duduk, makan dengan tangan kanan, ...
    https://twitter.com/#!/asyafrudin/status/183361767370530817
  13. ... bersikap lembut kepada orang tua, tidak mudah marah-marah, mandi pagi, mandi sore, menyikat gigi, memakan sayur, minum jus buah, ...
    https://twitter.com/#!/asyafrudin/status/183362310713245697
  14. ... mau memberi maaf, tidak menyakiti orang lain, shalat, membaca Al Qur'an, dan berbagai kebaikan lain perlu dicontohkan oleh orang tua.
    https://twitter.com/#!/asyafrudin/status/183362568168013825
  15. Sulit menjadi teladan bagi anak? Memang begitu. Tidak pernah ada yang bilang mendidik anak menjadi baik itu mudah.
    https://twitter.com/#!/asyafrudin/status/183362818144354304
  16. #parenting adalah pekerjaan yang sulit dan tanpa tanda jasa, tapi sangat rewarding dan sangat mulia.
    https://twitter.com/#!/asyafrudin/status/183363374007074817
  17. Didiklah anak dengan menjadi teladan, bukan dengan menjadi atasan. #parenting
    https://twitter.com/#!/asyafrudin/status/183363589204217856
Itu saja sekelumit tulisan saya tentang mendidik anak dengan menjadi teladan. Semoga menjadi pengingat yang bermanfaat bagi saya sendiri dan semua orang tua yang sedang penat mendidik anak mereka. Semoga anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang taat beragama, bermoral baik, berbakti kepada orang tua, dan bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Aamiin.

Rabu, 21 Maret 2012

Ocean Heaven

0 opini
Ocean Heaven (http://hkmdbnews.com/)
Film Ocean Heaven adalah film tentang seorang ayah bernama Wang yang memiliki anak autis berumur 21 tahun bernama Dafu. Cerita di dalam film Ocean Heaven ini berkisar tentang usaha Wang untuk mencarikan tempat yang mau menerima dan merawat Dafu. Alasannya adalah karena Wang sendiri sudah menghitung hari menuju kematiannya. Berhubung istrinya sudah terlebih dahulu meninggal dunia, Wang merasa memang sudah menjadi kewajibannya untuk memastikan bahwa Dafu dapat bertahan hidup setelah dia meninggal nanti.

Ada dua alasan yang membuat saya tertarik menonton film ini. Pertama, Jet Li di sebuah film drama. Aktor film action kawakan seperti Jet Li mengambil peran utama dalam sebuah film drama keluarga adalah adalah sesuatu yang menarik. Tentu saja saya penasaran melihat bagaimana Jet Li memerankan karakter seorang ayah (dan jauh dari unsur "keras"). Alasan kedua film ini menarik bagi saya tentu saja untuk melihat bagaimana perkembangan cerita perjuangan Wang untuk menyelamatkan masa depan Dafu sebelum akhirnya pergi meninggalkan Dafu.

Saya tidak bisa mengatakan bahwa film ini adalah film yang hebat. Saya sendiri bahkan beranggapan bahwa ceritanya sendiri terlalu "mulus" untuk dapat terjadi di dunia nyata. Akan tetapi, sebagai seorang ayah, saya pribadi menganggap cerita di film ini begitu nyambung dengan kehidupan saya sendiri. Saya merasa dapat memahami perasaan dan beban Wang hampir di setiap adegan dalam film ini. Benar-benar sebuah film yang sangat mengena.

Ulasan saya mengenai film ini tentu saja bias. Hal ini jelas terlihat dari pengakuan saya di paragraf sebelumnya. Untungnya tulisan saya ini tidak dimaksudkan untuk mengulas film Ocean Heaven ini. Saya justru ingin menekankan pada pelajaran menarik (dan mengharukan) yang dapat saya ambil dari film ini.

Pelajaran utama yang saya dapatkan adalah betapa pentingnya menjadi seorang ayah yang memiliki dedikasi yang besar dalam merawat anaknya. Kehidupan sehari-hari Wang itu sebenarnya tidak istimewa. Wang hanyalah seorang pekerja biasa di sebuah Ocean Park; seseorang yang dapat kita temui setiap hari dalam hidup kita. Akan tetapi, dedikasinya merawat Dafu menjadikan dia seseorang yang istimewa di mata orang-orang di sekitarnya. Wang pun hidup bagaikan pahlawan tanpa tanda jasa.

Kasih sayang yang Wang berikan kepada anaknya sudah pasti luar biasa besarnya. Merawat Dafu sehari-hari saja sudah pasti membutuhkan kesabaran yang tinggi, apalagi saat Wang sadar bahwa dia akan segera meninggal. Kasih sayang Wang kepada Dafu justru memaksa dia untuk berusaha lebih keras lagi mengajarkan Dafu untuk bisa bertahan hidup sendirian. Kasih sayang Wang juga yang memaksa dia untuk terus mencari alternatif tempat yang mau menerima Dafu.

Yang membuat saya terharu adalah di balik "mulus"-nya cerita dalam film ini, masih ada adegan-adegan yang memperlihatkan bahwa Wang pun hanya manusia biasa. Adegan pertama adalah saat pertama kali Wang harus berpisah dengan Dafu setelah Wang berhasil mendapatkan tempat yang mau menerima Dafu. Saat itu Wang digambarkan terlihat kesepian; seolah-olah ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Yang tidak saya sangka adalah Dafu pun ternyata memiliki perasaan yang sama. Sangat mengharukan.

Adegan berikutnya adalah saat Wang sedang mengajarkan Dafu untuk mengepel. Berkali-kali Wang memberi contoh mengepel dengan gerakan ke kiri dan ke kanan sambil berjalan mundur, berkali-kali pula Dafu justru mengepel dengan berjalan ke depan. Berkali-kali hal itu terjadi sampai ke sebuah titik saat Wang pun membentak Dafu. Dafu hanya terdiam dan menangis. Akhirnya Wang menghampiri Dafu dan mengatakan kepada Dafu bahwa dia akan pelan-pelan mengajari Dafu. Lagi-lagi sebuah adegan yang mengharukan.

Adegan yang paling mengharukan dan berhasil membuat saya meneteskan air mata adalah ... adegan yang saya rasa perlu ditonton langsung. Semakin banyak saya menulis di sini, semakin banyak pula spoiler Ocean Heaven yang terbuka. Satu hal yang pasti, film ini mengingatkan saya untuk kembali bersabar dalam menyikapi Raito dan Aidan, yaitu bahwa sesungguhnya menjadi ayah yang penyabar dan penuh kasih sayang adalah sesuatu yang penting.

Senin, 19 Maret 2012

Kenapa Pakai Rok Mini, Kakak?

26 opini
Seandainya saya bertanya, "Kenapa pakai rok mini, Kakak?" Saya rasa jawaban dari pertanyaan ini akan bervariasi. Akan tetapi saya yakin salah satu jawaban yang akan saya dengar adalah demi kebebasan berekspresi, yaitu bahwa setiap wanita sudah selayaknya memiliki kebebasan untuk memakai pakaian yang dia inginkan. Yang paling penting adalah pakaian yang dipilihnya tidak dianggap mengganggu kenyamanan publik. Jadi, kalaupun seorang memakai bikini di tengah keramaian atau bahkan telanjang dada sekalipun, semua itu tidak masalah apabila publik menyetujuinya.

Baiklah. Saya tidak akan mempermasalahkan keinginan setiap wanita untuk bebas berekspresi, tapi apakah kebebasan berekspresi ini harus dibuktikan lewat rok mini? Ini yang sebenarnya ingin saya tanyakan pada para wanita yang mengenakan rok mini. Ini pula yang saya ingin tanyakan kepada para pria yang mendukung para wanita untuk mengenakan rok mini.

Kita ini hidup di dunia para pria, Kakak. Para pria ini memiliki syahwat yang tidak terbatas. Bagi para pria normal, wanita seksi yang mengenakan rok mini adalah pemandangan yang membangkitkan gairah. Kalau memang ada pria normal yang tidak "terangsang" melihat wanita seksi yang mengenakan rok mini, kemungkinan pria ini sudah terlalu sering melihatnya sehingga wanita dengan rok mini tidak lagi menarik.

Dalam dunia pria ini, para wanita adalah anggota masyarakat kelas dua. Kalau saja tidak ada yang turun tangan dan membela hak para wanita, maka sampai saat ini pun para wanita akan tetap tertindas. Bahkan saat pembelaan hak terhadap para wanita ini sudah sebegitu gencarnya, para wanita ini tetap saja dianggap anggota masyarakat kelas dua. Pelecehan seksual, pemerkosaan, dan berbagai perampasan hak para wanita masih terus berjalan. Dan tebak siapa yang menjadi mayoritas bintang utama dalam film-film porno? Pria atau wanita? Saya rasa cukup jelas untuk dikatakan bahwa kita ini memang hidup di dunia para pria, Kakak.

Satu hal yang tidak luput dari "peran" para wanita ini adalah sebagai objek syahwat pria, Kakak. Entah itu secara eksplisit lewat pornografi dan prostitusi atau secara implisit lewat siulan-siulan lelaki hidung hitam putih (baca: belang). Kalau seorang wanita mengenakan rok mini, bukankah itu sama saja menegaskan kalau wanita ini siap menjadi objek syahwat pria? Kalau seorang wanita mengenakan rok mini, bukankah itu sama saja membuka dirinya terhadap pelecehan para pria (baik implisit maupun eksplisit)?

Di tengah-tengah perjuangan para wanita untuk mendapatkan kesetaraan hak terhadap para pria, bukankah mengenakan rok mini justru bersifat kontraproduktif? Saat para wanita ingin dinilai dari kemampuannya, bukankah mengenakan rok mini justru membuat para pria menilai wanita dari banyaknya kulit yang diperlihatkan? Saat para wanita bersikeras untuk mendapatkan penghargaan yang sama dengan para pria, bukankah mengenakan rok mini jelas-jelas akan membuat wanita tetap dihargai dari sudut pandang syahwat semata?

Kenapa pakai rok mini, Kakak? Dengan penalaran yang saya lakukan di atas, sulit bagi saya untuk menerima alasan Kakak memakai rok mini. Dengan begitu, sulit pula bagi saya untuk mendukung Kakak saat Kakak ingin mengenakan rok mini. Walaupun Kakak bersikeras atas nama kebebasan, saya justru berpikir kebebasan yang Kakak inginkan ini salah arah.

Apakah Kakak hanya ingin mengikuti trend? Apakah Kakak terpengaruh opini para pembela kebebasan? Apakah Kakak terpengaruh media dengan berbagai iklan mode yang provokatif dan proaktif itu? Apakah Kakak rela menjadi objek syahwat pria demi trend, kebebasan, atau iklan mode itu?

Akhirnya saya harus bertanya kembali. Kenapa mau (dan masih) pakai rok mini, Kakak?

Update [29 Mei 2012]
Perihal otak kotor, jawaban saya selaras dengan apa yang saya kutip di bawah ini:
Otak kami yang kotor? Ayolah, jika saja para lelaki diciptakan tanpa nafsu, maka sudah lama manusia punah.. Sudah kodratnya laki-laki akan tergerak nafsunya jika melihat paha wanita.. Jika ada lelaki yang dengan gagah berani tepuk dada bilang: tidak tergerak nafsunya saat melihat paha wanita cantik, itu hanya omong kosong agar semakin banyak wanita yang memamerkan pahanya dengan senang hati.. Rok mini, memang diciptakan untuk memancing perhatian (dan nafsu) para lelaki.. Jika kami memang berfikiran kotor dan tak bisa menahan iman, tentu kami akan turun ke jalan mendukung semua wanita untuk memakai rok mini.. Agar makin banyak wanita yang bisa memuaskan nafsu kotor kami.. Jadi, siapakah yang berfikiran kotor dan tidak bisa menahan iman? Para lelaki yang menentang rok mini, atau pendukungnya? Para penentang seks bebas, atau pendukungnya?
Sumber kutipan di atas: http://dinasulaeman.wordpress.com/2012/05/28/kata-kata-bijak-yang-koplak-dian-jatikusuma/

Senin, 12 Maret 2012

Jangan Meniup Makanan atau Minuman Panas

5 opini
Seperti yang tertera (secara implisit) pada judul, tulisan saya kali ini akan masuk kategori Kesehatan. Jarang sekali saya menulis tentang kesehatan karena saya sendiri memang bukan ahli kesehatan. Tulisan kali ini pun bukan hasil karya saya sendiri, tapi merupakan rangkaian tweet yang saya kutip apa adanya dari akun Twitter @ManJaddaWaJadaa. Berikut ini kutipannya:


Demikian 28 tweet yang saya kutip dari akun Twitter @ManJaddaWaJadaa tentang resiko meniup makanan atau minuman yang masih panas. Bagi pembaca yang merasa bahwa informasi ini tidak benar atau bahkan menyesatkan, harap meninggalkan komentar disertai bukti atau penjelasan yang relevan. Terlepas dari itu, semoga kompilasi tweet di atas dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Kamis, 08 Maret 2012

Tentang Nabi Yusuf

1 opini
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf:2)
Di dalam surat Yusuf ini, Allah banyak bercerita mengenai Nabi Yusuf a.s.. Ceritanya bermula dari mimpi Nabi Yusuf a.s. yang merupakan tanda-tanda kenabian beliau. Ceritanya berlanjut dengan makar (konspirasi) saudara-saudara Nabi Yusuf a.s. untuk "menyingkirkan" beliau karena mereka iri akan kenabian yang diterima Nabi Yusuf a.s.. Sebagaimana yang kita tahu bersama, saudara-saudara mereka memutuskan untuk menyingkirkan Nabi Yusuf a.s. dengan cara memasukan beliau ke dalam sumur.

Nabi Yusuf a.s. ditemukan oleh musafir-musafir yang sedang mengambil air dari sumur tersebut. Beliau pun segera dijual oleh musafir-musafir itu dengan harga murah. Para musafir ini berpikir bahwa Nabi Yusuf a.s. ini adalah milik seseorang. Oleh karena itu, Nabi Yusuf a.s. segera dijual (dengan harga murah) sebelum ditemukan pemiliknya.

Nabi Yusuf a.s. dibeli oleh seorang raja Mesir bernama Qithfir. Raja Mesir ini berkata kepada istrinya (yang bernama Zulaikha): "Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi dia bermanfaat kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak."[1] Dengan izin Allah, Nabi Yusuf a.s. justru menemukan kehidupan yang baik setelah dibuang oleh saudara-saudara beliau. Akan tetapi, setelah Nabi Yusuf a.s. dewasa, Zulaikha justru menggoda beliau. Dengan izin Allah, beliau berhasil menahan diri dari godaan Zulaikha.
Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: "Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?" (QS. Yusuf:25)
Dalam ayat di atas diceritakan bahwa Nabi Yusuf a.s. akhirnya difitnah saat beliau mencoba menghindar dari godaan Zulaikha. Ayat-ayat selanjutnya bercerita bagaimana Nabi Yusuf a.s. itu berhasil dibebaskan dari tuduhan Zulaikha dengan melihat posisi koyaknya baju gamis beliau.

Cerita tentang kehidupan Nabi Yusuf pun terus berlanjut. Mulai dari ayat 30 s.d. ayat 35, surat Yusuf bercerita bagaimana Nabi Yusuf a.s. akhirnya tetap dipenjara walaupun beliau tidak bersalah. Di dalam penjara, Nabi Yusuf a.s. justru mendapatkan kesempatan untuk berdakwah sebagaimana diceritakan dari ayat 36 s.d. ayat 42. Di dalam dakwahnya ini Allah memperlihatkan mukjizat Nabi Yusuf a.s. yang mampu menakwilkan mimpi penghuni penjara yang lain.

Nabi Yusuf a.s. tetap dipenjara selama beberapa tahun[2]. Saat beliau dipenjara, beliau mendapatkan kesempatan untuk menakwilkan mimpi raja saat tidak satu orang pun tidak dapat menakwilkan mimpi raja itu sebagaimana tertuang dalam ayat 43 s.d. ayat 49. Kebenaran pun akhirnya sampai kepada raja dan Nabi Yusuf a.s. mendapatkan kesempatan untuk bebas dari penjara. Walaupun begitu, Nabi Yusuf a.s. tidak serta merta keluar dari penjara sebelum membuktikan bahwa beliau memang benar-benar tidak berkhianat dengan menggoda Zulaikha (istri raja).
Raja berkata: "Bawalah dia kepadaku." Maka tatkala utusan itu datang kepada Yusuf, berkatalah Yusuf: "Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakanlah kepadanya bagaimana halnya wanita-wanita yang telah melukai tangannya. Sesungguhnya Tuhanku, Maha Mengetahui tipu daya mereka." {*} Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu[+1] ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?" Mereka berkata: "Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan dari padanya." Berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar." {*} (Yusuf berkata): "Yang demikian itu agar dia (Al Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya, dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat. (QS. Yusuf:50 - 52)
Setelah keluar dari penjara, dikisahkan bahwa Nabi Yusuf a.s. akhirnya diberikan kedudukan yang tinggi, yaitu sebagai bendaharawan negara. Bagian ini begitu mengena karena memperlihatkan bagaimana Nabi Yusuf a.s. akhirnya mendapatkan kedudukan yang tinggi karena keteguhannya bertahan sebagai manusia yang jujur dan dapat dipercaya. Sebuah kisah yang jarang kita temukan di antara para pemimpin/wakil rakyat kita saat ini.

Kisah tentang Nabi Yusuf a.s. berlanjut dengan pertemuan beliau dengan saudara-saudaranya. Bagian ini cukup panjang dan diceritakan mulai dari ayat 58 s.d. ayat 93. Bagian ini bercerita tentang kedatangan saudara-saudara Nabi Yusuf a.s. ke Mesir menghadap pembesar-pembesar Mesir untuk meminta bantuan bahan makanan.

Ceritanya agak panjang (36 ayat) untuk saya uraikan di dalam tulisan ini. Inti dari cerita pertemuan ini adalah siasat Nabi Yusuf a.s. untuk dapat bertemu kembali dengan saudara beliau yang bernama Bunyamin dan menahan Bunyamin agar dapat tinggal di Mesir bersama Nabi Yusuf a.s. Kisah pertemuan Nabi Yusuf a.s. dengan Bunyamin ini yang akhirnya berlanjut dengan kisah pertemuan Nabi Yusuf a.s. dengan kedua orang tuanya. Semua itu memungkinkan dengan izin Allah SWT.
Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud[+2] kepada Yusuf. Dan berkata Yusuf: "Wahai ayahku inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Yusuf:100)
Sebagai penutup, saya kutip doa Nabi Yusuf a.s. menjelang akhir surat Yusuf dalam Al-Qur'an sebagai berikut:
Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh. (QS. Yusuf:101)
Satu hal yang saya pelajari dari cerita tentang Nabi Yusuf a.s. ini adalah bagaimana saudara-saudara Nabi Yusuf a.s. untuk "melenyapkan" Nabi Yusuf a.s. itu tidak berjalan sesuai rencana. Pada akhirnya justru siasat Nabi Yusuf a.s. yang diizinkan oleh Allah SWT untuk berjalan sesuai rencana. Pada saat itu terungkaplah kekuasaan Allah yang tidak terkalahkan siasatnya. Hal yang sama juga berlaku pada siasat Zulaikha yang ingin menjebak Nabi Yusuf a.s. saat Nabi Yusuf a.s. menolak godaannya.

Hanya saja bukti kekuasaan Allah itu tidak datang begitu saja. Bahkan untuk seorang nabi seperti Nabi Yusuf a.s. pun bukti kekuasaan Allah itu datang perlahan dalam rentang waktu yang sangat panjang. Kesabaran dan kejujuran Nabi Yusuf a.s. yang menjadi "perantara" datangnya bukti kekuasaan Allah.

Bagaimana dengan kita? Wallahu a'lam.
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yusuf:111)
--
[1]Al-Qur'an surat Yusuf ayat 21.
[2]Al-Qur'an surat Yusuf ayat 42.
[+1]Yang dimaksud dengan keadaanmu ialah pendapat wanita-wanita itu tentang Yusuf a.s. apakah dia terpengaruh oleh godaan itu atau tidak.
[+2]Sujud disini ialah sujud penghormatan bukan sujud ibadah.

Kamis, 16 Februari 2012

Menyikapi Cacian Terhadap Islam

2 opini
*http://cerero.deviantart.com/
Menerima cacian dari orang lain bukanlah hal yang menyenangkan. Setiap kali menerima cacian, hati ini senantiasa memaksa kita untuk membalas cacian tersebut. Rasanya tidak sreg bila orang yang mencaci kita bisa pergi begitu saja tanpa merasakan rasa sakit yang sama; atau yang lebih parah. Rasanya kita ingin menghujamkan ribuan pukulan ke wajah orang yang mencaci kita.

Rasa ingin membalas di atas itu tidak pandang bulu. Rasa kesal karena dicaci itu pun tidak memandang konteks cacian. Apa pun atribut kita yang dicaci oleh orang lain, hati kita akan "terpanggil" untuk membalas. Contohnya bila agama dan kepercayaan kita yang dicaci oleh orang lain, hati kita pun akan "terpanggil" untuk membalas mencaci agama dan kepercayaan orang yang mencaci kita itu.

Saya pun sama. Setiap kali saya mendengar atau membaca cacian terhadap Islam, amarah langsung muncul di dalam hati. Rasanya saya ingin membalas semua cacian yang dilontarkan terhadap Islam. Rasanya saya ingin melihat para pencaci itu dipukuli dan dibungkam. Rasanya saya ingin memberikan balasan yang lebih pedih bagi orang-orang yang telah mencaci Islam.

Hanya saja, sejauh yang saya tahu, Allah SWT dan Rasulullah SAW tidak pernah menyarankan untuk membalas cacian dengan cacian. Saya tidak pernah menemukan ayat Al-Qur'an atau hadits yang menghimbau (atau bahkan memerintahkan) setiap Muslim untuk membalas keburukan dengan keburukan. Justru sebaliknya Islam menghimbau setiap Muslim untuk membalas keburukan dengan kebaikan.

Membalas keburukan dengan kebaikan ini dapat kita cermati lewat peristiwa turunnya ayat 199 dari surat Al-A'raaf sebagaimana saya kutip di bawah ini:
“Apa maksud semua ini wahai Jibril?” Tanya Rasul SAW pun ketika turun ayat: “Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (Al-A’raf: 199).  Jibril pun menjawab, “Wahai Rasul Allah, sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk memaafkan orang yang menzalimimu, memberi kepada orang yang pelit kepadamu, dan menyambung silaturahim kepada orang yang memutuskannya denganmu”.[1]
Simak juga cuplikan dari kisah masyhur tentang seorang nenek buta yang konsisten menjelek-jelekan Rasulullah Muhammad SAW yang saya kutip di bawah ini:
Kisah lainnya adalah nenek yahudi buta yang terus menghina dan memfitnah Rasulullah SAW. Rasulullah setiap paginya justru mendatangi Nenek tersebut untuk diberikan suapan makanan, tanpa kata apapun. Setelah Rasulullah wafat, maka Abu Bakar menggantikan beliau. Saat Abu Bakar mulai menyuapinya, sontak pengemis berteriak, “Siapa kamu ? Orang yang biasa menyuapiku setiap pagi apabila Dia dating kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan mulut ini mengunyah”. Abu Bakar tidak bisa menahan air matanya, sambil terisyak dalam tangisnya Beliau mengatakan bahwa memang Beliau bukan orang yang biasanya, dan menyampaikan bahwa orang tersebut adalah Rasulullah SAW yang sering Ia hina. Sampai disini nenek itu terketuk hatinya dan bersayahadat dihadapan Abu Bakar r.a.[2]
Dalam surat Al-A'raaf ayat 134 pun Allah SWT berfirman:
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Al-A'raaf:134)
Saya pun sadar kalau pun ada manusia yang paling berhak marah saat Islam dihina, manusia itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah yang dicaci, dihina, disakiti secara fisik, dikucilkan, dan dikejar untuk dibunuh sudah memberikan contoh yang baik kepada kita. Sikap beliau terhadap semua perlakuan buruk itu adalah dengan tetap menahan amarah, menahan rasa benci serta senantiasa berbuat baik dan adil tanpa pandang bulu.

Jelas sudah bahwa kebanggaan saya sebagai seorang Muslim itu ditunjukan bukan dengan marah-marah dan balas mencaci orang yang mencaci Islam. Justru sebagai seorang Muslim yang bangga ini, saya perlu meneladani Rasulullah SAW dan menyikapi cacian terhadap Islam dengan tenang dan bijaksana. Dengan begitu, cacian terhadap Islam justru menjadi sarana untuk menunjukan nilai-nilai baik dalam Islam.

Apalagi di era Internet dan jejaring sosial saat ini, orang-orang bebas mengekspresikan caciannya secara tersembunyi; entah itu di forum-forum daring (online), Facebook, Twitter, atau situs-situs lainnya. Kalau kita emosi dan balas mencaci, bukankah itu berarti kita sudah terjebak di dalam kebodohan? Buat apa kita marah dan mencaci seseorang (atau sesuatu) yang tidak kita kenal orangnya dan bahkan tidak ketahui serius tidaknya? Terjebak dalam masalah seperti ini adalah hal yang bodoh, bukan?

Kita perlu menyikapi setiap cacian terhadap Isalm dengan tenang dan bijaksana. "Tenang dan bijaksana" di sini jelas berbeda dengan "diam saja". Setiap cacian itu juga perlu kita timpali dengan pembelaan yang objektif dan faktual. Belalah kepercayaan yang kita banggakan itu dengan kata-kata yang cerdas tanpa memancing konflik. Walau bagaimana pun, tujuan utama kita membela Islam adalah untuk menegakan kebenaran Islam tanpa harus disibukan dengan usaha untuk menumbangkan yang lain.

Bila ada orang yang menghina Islam, kita tetap perlu counter hinaan itu dengan penjelasan yang baik dan bijaksana. Yang tidak perlu kita lakukan adalah menjelek-jelekan atribut-atribut apa pun yang melekat pada orang tersebut. Dengan begitu kita tetap melaksanakan kewajiban kita untuk membela Islam tanpa perlu terjebak dalam lingkaran setan caci-mencaci.

Mari membela Islam dengan bijak!

--
[1]Membalas Keburukan dengan Kebaikan. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/08/24/lqejr9-membalas-keburukan-dengan-kebaikan; diakses tanggal 14 Februari 2012.
[2]Jalan yang Indah, Fitrah Kehidupan... http://js.ugm.ac.id/kolom/ibroh/274-jalan-yang-indah-fitrah-kehidupan.html; diakses tanggal 14 Februari 2012.

Selasa, 14 Februari 2012

Surat Yunus (10) dan Huud (11)

2 opini
Kumpulan ayat-ayat dari Surat Yunus
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran? (QS. Yunus:3)
Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. Yunus:12)
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya[1], dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya[2], tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir. (QS. Yunus:24)
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya[3]. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan[4]. Mereka itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya. (QS. Yunus:26)
Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri. (QS. Yunus:44)
Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Yunus:61)
Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Yunus:107)
Kumpulan ayat-ayat dari Surat Huud
Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. {*} Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: "Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku"; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga, {*} kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar. (QS. Huud:9 - 11)
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. {*} Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan[5]. (QS. Huud:15 - 16)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni syurga; mereka kekal di dalamnya. (QS. Huud:23)
Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. Huud:115)
Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. Huud:117)
Kisah-kisah para Nabi dalam Surat Huud
  • Kisah Nabi Nuh a.s.: ayat 25 s.d. 49.
  • Kisah Nabi Huud a.s.: ayat 50 s.d. 60.
  • Kisah Nabi Shaleh a.s.: ayat 61 s.d. 68.
  • Kisah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Luth a.s.: 69 s.d. 83.
  • Kisah Nabi Syu'aib a.s.: 84 s.d. 95.
  • Kisah Nabi Musa a.s.: 96 s.d. 99.
Catatan: Kumpulan kisah para Nabi ini juga tercantum dalam surat Al-A'raaf.

--
[1]Maksudnya: bumi yang indah dengan gunung-gunung dan lembah-lembahnya telah menghijau dengan tanam-tanamannya.
[2]Maksudnya: dapat memetik hasilnya.
[3]Yang dimaksud dengan tambahannya ialah kenikmatan melihat Allah.
[4]Maksudnya: muka mereka berseri-seri dan tidak ada sedikitpun tanda kesusahan.
[5]Maksudnya: apa yang mereka usahakan di dunia itu tidak ada pahalanya di akhirat.

Minggu, 12 Februari 2012

Antara Loyalitas dan Fasilitas

2 opini
Tulisan kali ini adalah hasil wawancara (baca: obrolan) saya dengan seorang tenaga pengamanan (baca: satpam) yang bernama Anton (bukan nama sebenarnya). Pak Anton ini sudah beberapa tahun bekerja sebagai satpam dan ceritanya cukup menarik untuk saya ikuti. Sesederhana apa pun profesi seseorang, sesuatu yang tidak saya temui sehari-hari adalah sesuatu yang menarik.

Ketertarikan saya pada cerita Pak Anton ini dimulai saat Pak Anton mengaku bahwa dia adalah lulusan pariwisata. Tidak jelas apakah yang dimaksud lulusan ini adalah lulusan S1, D3, atau D1. Bagi saya hal ini tidak menjadi penting karena pada intinya Pak Anton ini adalah salah satu dari sekian banyak orang dengan penghasilan pas-pasan walaupun berhasil mengenyam pendidikan di atas SMA.

Mencari pekerjaan di era reformasi ini memang sulit. Pak Anton mulai menjajaki dunia kerja sebagai tenaga administrasi. Sayangnya Pak Anton ini tidak berhasil mendapatkan pekerjaan tetap sehingga dia terus saja pindah tempat bekerja dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain. Sampai akhirnya umurnya sudah terlalu tua untuk bekerja sebagai tenaga administrasi dan satu-satunya tawaran pekerjaan yang ada di tangannya adalah pekerjaan sebagai satpam.

Dia bercerita bahwa seiring waktu dia berpindah kerja sebagai tenaga administrasi, dia tetap menjajaki lowongan-lowongan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Salah satu jenis lowongan yang dia jajaki antara lain adalah lowongan PNS (Pegawai Negeri Sipil). Bagi Pak Anton, pekerjaan PNS adalah pekerjaan yang paling enak dengan masa depan yang paling terjamin. Tidak hanya PNS itu mendapatkan jaminan hari tua berupa pensiun, tapi PNS itu juga memiliki resiko diberhentikan yang sangat kecil. Selain itu, setiap PNS tidak perlu lagi pusing memikirkan kontrak dan mencari tempat bekerja yang lain.

Penjajakan lowongan itu terus dia lakukan sampai saat dia sudah bekerja sebagai satpam. Terlihat jelas dari ceritanya bahwa pekerjaannya sebagai satpam itu jauh dari mudah; bahkan rasanya semakin rumit. Saat pertama kali bekerja sebagai satpam, dia dikontrak langsung oleh perusahaan tempat dia bekerja. Gaji yang dia terima dan fasilitas lain (yang tidak dia sebutkan) masih mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Semua ini menurun drastis saat jasa pengamanan itu diambil alih oleh perusahaan outsourcing.

Saat jasa pengamanan diambil alih oleh perusahaan outsourcing, gaji Pak Anton sempat turun dan butuh waktu 2 (dua) tahun untuk kembali ke jumlah semula. Tunjangan yang sebelumnya didapat saat terikat kontrak langsung dengan perusahaan terkait pun tidak lagi ada. Satpam dari perusahaan outsourcing diperlakukan berbeda dengan satpam yang bekerja langsung di bawah perusahaan terkait. Sampai fasilitas-fasilitas seperti pos satpam atau hal sederhana seperti dispenser pun tidak tersedia.

Di tengah-tengah ceritanya (baca: keluh kesahnya) tentang pekerjaannya sebagai satpam, Pak Anton bahkan sempat mengenang indahnya hidup di jaman Presiden Soeharto. Di jaman Presiden Soeharto itu harga-harga sembako lebih terjangkau dan pekerjaan pun lebih mudah didapat. Kondisinya jauh berbeda dengan pemerintahan era reformasi sampai saat ini. Walaupun keluarga Presiden Soeharto itu banyak korupsinya (Pak Anton sendiri mengakui ini), kehidupan rakyat kelas menengah ke bawah itu lebih sejahtera.

Saya lebih banyak mengangguk saat Pak Anton bercerita tentang kehidupan menyenangkan di jaman Presiden Soeharto. Saya sendiri merasa kehidupan di jaman Presiden Soeharto itu lebih enak dan nyaman. Kenapa? Pada jaman Presiden Soeharto itu saya masih sekolah (SMA). Saya tidak perlu pusing memikirkan istri, anak, pekerjaan, atau hal-hal lainnya. Sangat berbeda dengan kondisi saya sekarang.

Masih banyak lagi uneg-uneg yang disampaikan Pak Anton kepada saya yang notabene orang asing bagi dirinya ini. Hanya saja ceritanya terlalu banyak untuk saya ungkapkan dalam tulisan saya ini. Satu hal yang sudah pasti saya tangkap dari cerita Pak Anton adalah timpangnya fasilitas yang diberikan kepada satpam dengan loyalitas yang dituntut dari satpam. Lewat cerita Pak Anton ini saya menemukan sudut pandang lain terhadap para satpam, baik Pak Anton maupun para satpam secara keseluruhan.

Rabu, 08 Februari 2012

Belajar Dari Film

2 opini
Saya yakin yang namanya sumber inspirasi itu ada banyak sekali. Untuk penggemar channel hiburan seperti saya, film tidak pelak lagi menjadi salah satu sumber inspirasi yang signifikan. Ada banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari film-film yang sudah saya tonton. Kali ini saya ingin berbagi tentang film-film yang memberikan inspirasi terhadap peran saya sebagai seorang suami dan sebagai seorang ayah.

Film pertama yang terbayang di benak saya adalah Up. Film ini adalah film yang mengharukan. Entah kenapa saat menonton film ini saya merasakan hubungan yang kuat dengan tokoh utama film ini, Carl Fredricksen. Adegan singkat hidupnya mulai dari menikah, istrinya hamil, istrinya keguguran, dan pada akhirnya mereka mencoba menikmati hidup berdua saja adalah adegan yang sulit saya lupakan. Saat istri Carl meninggal dunia, hati saya sempat terasa hampa karena saya pun terbayang bagaimana perasaan saya bila istri saya "pergi".

Inspirasi dari film ini tentu saja dedikasi Carl untuk mewujudkan impian istrinya memiliki rumah kecil di sebuah bukit yang dilengkapi dengan air terjun (koreksi saya bila saya salah di bagian ini). Cara Carl mewujudkan impian istrinya ini mungkin tidak masuk akal. Saya sendiri tidak bisa membayangkan seseorang mengangkat rumahnya dengan ratusan balon berisi helium (koreksi saya lagi bila saya salah di bagian ini). Hanya saja determinasi Carl ini patut diacungi jempol. Dia terus berusaha untuk membahagiakan istrinya walaupun istrinya tidak perlu lagi dibuat bahagia.

Film kedua adalah Take Shelter. Film ini bercerita tentang seorang pria bernama Curtis yang dihantui oleh mimpi dan bayangan akan datangnya sebuah badai besar yang akan melanda kotanya. Pengaruh mimpi dan bayangan ini sangat kuat sampai Curtis pun memutuskan untuk memperbaiki dan mengembangkan storm shelter yang ada di belakang rumahnya. Keputusan ini pada awalnya baik-baik saja tapi pada akhirnya masalah-masalah pun menumpuk. Curtis kehilangan pekerjaannya karena dia menggunakan alat berat dari kantornya tanpa izin. Istrinya marah besar saat mengetahui Curtis menggadaikan rumahnya demi mengumpulkan dana untuk memperbaiki storm shelter tersebut. Seluruh kota pun sudah mendengar kabar kegilaan Curtis.

Modal Curtis hanya satu. Keyakinannya yang kuat terhadap mimpi-mimpinya. Dia yakin badai besar itu akan datang dan storm shelter itu dia bangun dan perbaiki untuk menyelamatkan istri dan anaknya. Di balik semua tumpukan masalah itu, Curtis akhirnya berjalan sendirian. Hal yang paling menyentuh di bagian ini adalah saat istrinya (yang sangat mungkin memutuskan untuk meninggalkan suaminya yang gila ini) akhirnya memutuskan untuk tetap bersama Curtis dan melihat mimpi Curtis menjadi kenyataan. Istri Curtis tidak hanya memberi kesempatan bagi Curtis untuk membuktikan mimpinya, tapi dia juga memberi dukungan moral bagi Curtis untuk terus mencapai tujuannya. Melihat ikatan suami-istri yang kuat seperti ini sudah pasti memberikan inspirasi bagi saya untuk membentuk ikatan yang sama dengan istri saya sendiri.

Film ketiga adalah How to Train Your Dragon. Kalau Anda tidak suka film tentang Viking, saya jamin Anda akan menyukai film ini; atau sebaliknya. Entahlah. Satu hal yang pasti, film ini termasuk film favorit saya. Bagian yang paling saya suka dalam film ini tentu saja hubungan anak-ayah antara Hiccup Horrendous Haddock III (anak) dengan Stoick the Vast (ayah). Hubungan di antara keduanya adalah hubungan yang sesekali waktu kita temui di dunia nyata, yaitu antara seorang anak yang mati-matian membuktikan bahwa dirinya itu "layak" dengan seorang ayah yang tidak pernah merasa bahwa anaknya itu "layak".

Jangan sampai saya menjadi orang yang menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon.
Perkembangan hubungan antara keduanya pun terbilang predictable. Hiccup berhasil melakukan sesuatu yang dapat membuat dirinya diakui oleh ayahnya, tapi sulit bagi ayahnya untuk mempercayai anaknya. Dalam film ini digambarkan bahwa Stoick lebih sibuk dengan harapannya terhadap Hiccup ketimbang berusaha menerima Hiccup apa adanya. Fase ini terjadi terus dan terus dan terus hingga tiba waktunya saat Hiccup berhasil menunjukan kemampuannya dan mendapatkan kepercayaan ayahnya ... dengan sebuah pengorbanan. Film ini berhasil membuka mata saya dan mengingatkan saya untuk tidak menaruh harapan yang tidak mungkin digapai anak saya. Jangan sampai saya menjadi orang yang menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon.

Film keempat (dan terakhir dalam tulisan ini) adalah Finding Nemu ... maksud saya, Finding Nemo. Terus terang film ini baru beberapa waktu yang lalu saya tonton ulang; kali ini saya tonton bersama anak-anak saya. Cerita dalam film ini menjadi sumber inspirasi yang "menyegarkan" bagi saya yang sedang penat mengurus anak-anak. Satu hal yang saya rasakan betul adalah kadang kita lupa diri dan terlalu kaku dalam mengatur anak-anak sampai anak-anak kita pun tidak bisa menikmati hidupnya. Sampai akhirnya anak-anak kita pun menjauh dari kita sampai ke sebuah titik yang membuat kita menyesali keputusan-keputusan kita.

Dalam film Finding Nemo, ceritanya memang tidak setragis itu. Ceritanya justru lebih tragis lagi karena anak yang dimaksud malah hilang "diculik" orang. Untungnya film ini berakhir baik karena Nemo (anak) dan Marlin (ayah) berhasil bertemu kembali dan hidup bahagia selamanya. Yang menarik dari film ini justru petualangan Marlin menyeberang lautan yang luas untuk menemukan Nemo. Kata "luas" ini menjadi signifikan karena Marlin sendiri hanya seekor ikan badut kecil yang tidak berdaya. Dibalik semua keberuntungan yang dialami Marlin, dedikasi Marlin untuk menemukan anaknya yang (pada saat pencarian) belum tentu masih hidup itu menjadi inspirasi yang luar biasa bagi saya.

Masih banyak film lain yang menjadi inspirasi bagi saya sebagai seorang suami dan seorang ayah. Tentu saja semua itu tidak mungkin saya jabarkan dalam satu tulisan. Kalau satu film saja menghasilkan 2 paragraf, entah berapa panjang tulisan ini kalau saya pajang satu per satu film yang pernah saya tonton. Lagipula saya sendiri tidak ingat lagi film-film bertema keluarga yang saya pernah saya tonton.

Ada tulisan (blog post) tentang film lainnya yang menarik untuk saya baca? Silakan rekomendasikan di bagian komentar.

Kamis, 02 Februari 2012

The Taqwacores

0 opini
Sepertinya ini film pertama tentang Islam yang pernah saya tonton dengan tema yang tidak islami. Yang saya maksud dengan "tidak islami" di sini bukan karena filmnya tidak menyinggung Islam sama sekali atau bahkan bertolak belakang dengan Islam. Yang saya maksud dengan "tidak islami" di sini karena tema yang diangkat di dalam film ini sangat jauh berbeda dengan film islami yang biasa saya tonton. Saya tegaskan, sangat jauh.

Pertama kali saya melihat poster film ini, saya langsung tertarik untuk menontonnya. Dari gambar maupun tagline-nya saja film ini sudah berhasil membuat saya penasaran. Pertanyaan pertama saya tentu saja bagaimana film ini akan menampilkan sebuah cerita dengan kombinasi Punk, Muslim, dan American. Saya sudah tidak asing lagi dengan kombinasi Muslim dan American, tapi kombinasi Muslim dan Punk adalah sesuatu yang asing bagi saya.

Rasa antusias saya untuk menonton pun dibayar dengan baik oleh film ini. Film ini berhasil memperluas wawasan saya mengenai variasi keyakina yang dianut oleh orang-orang Islam. Perlu saya tegaskan bahwa variasi di sini adalah variasi keyakinan, karena Islam menjadi warna-warni karena perbedaan keyakinan ini.

Bagaimana dengan filmnya?

The Taqwacores diawali dengan perjalanan Yusef, your typical everyday Muslim, yang mencari tempat tinggal bersama pemuda Muslim lainnya saat meneruskan studinya di Buffalo (New York). Yusef akhirnya memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah yang ditinggali oleh sekumpulan pemuda (dan pemudi) Muslim. Di dalam rumah inilah semua petualangan Yusef bersama aliran Punk Rock Muslim dimulai (dan diakhiri).

Jehangir (kiri) dan Umar
Orang pertama yang ditemui Yusef adalah Umar. Umar adalah tipe Muslim yang kaku. Di balik pemahamannya terhadap Islam yang baik, Umar adalah seorang Muslim yang keras. Rumah itu pernah menjadi rumah yang kaya dengan nilai-nilai Islam, tetapi lama-kelamaan Umar merasa nilai-nilai ini tergerus dengan kehadiran Punk Rock Muslim. Walaupun begitu, Umar tetap memilih untuk bertahan di rumah tersebut dengan harapan dapat mengembalikan kondisi rumah itu seperti dulu lagi.

Berikutnya Yusef bertemu Jehangir (baca: Jehanggir) dan Fasiq. Yusef bertemu mereka di waktu subuh saat dia hendak berwudhu untuk shalat subuh. Saat itu Jehangir dan Fasiq sedang duduk-duduk di atas bagian atap rumah mereka. Jehangir sedang menirukan suara adzan dengan gitar listriknya. Sebuah pertemuan yang menarik, bukan? Jehangir ini akan menjadi karakter utama yang mempengaruhi hidup Yusef. Pergaulan Yusef dengan Jehangir bahkan mampu merubah sikap dan keyakinan Yusef dalam Islam.

Rabeya
Pertemuan yang tidak diduga Yusef adalah dengan Rabeya (baca: Robiya). Yusef tidak pernah menyangka akan tinggal serumah dengan seorang Muslimah (yang mengenakan burqa). Tapi kecanggungan ini tidak berlangsung lama karena Rabeya sendiri sudah terbiasa berinteraksi dengan teman-teman pria. Karakter Rabeya tidak kalah menariknya dengan Jehangir. Muslimah yang satu ini, walaupun mengenakan burqa (yang mengindikasikan dia taat beragama), justru memiliki pemikiran yang liberal. Salah satu contohnya ditunjukan lewat adegan yang memperlihatkan dia berani mencoret (yang mengindikasikan penolakan) satu ayat Al-Qur'an kepunyaannya.

Masih banyak karakter menarik lainnya di dalam film ini antara lain (Amazing) Ayyub yang jauh lebih "radikal" dibandingkan Jehangir, Muzzamil yang gay, dan Lynn yang mengaku baru masuk Islam. Karakter-karakter ini menambah lebih banyak warna lagi ke dalam film The Taqwacores melalui beragam interaksi antara karakter-karakter tersebut. Di tengah-tengah film ini pun (sedikit) sisi toleran Umar pun sempat ditunjukan; terutama terhadap Muzzamil yang gay.

Klimaks dari keragaman ini, menurut saya pribadi, ada pada acara konser Punk Rock Muslim yang diadakan oleh Jehangir. Jehangir menyulap rumah tersebut menjadi tempat konser terbatas untuk para penggemar Punk Rock Muslim dan mengundang beberapa band untuk mengisi konser ini. Suasana saat konser ini sempat memanas karena Jehangir memutuskan mengundang satu band yang tidak disukai banyak orang. Konser yang awalnya seru menjadi ricuh karena konflik antara anggota band tersebut dengan para penonton. Adegan selanjutnya tidak akan saya ceritakan karena akan menjadi spoiler bagi pembaca yang belum (dan berminat) menonton.

Yang membuat film ini menarik bagi saya pada dasarnya hanya keanekaragaman Muslim di dalam rumah tersebut. Saya pernah bertemu dengan Muslim dengan keyakinan yang berbeda, tapi saya belum pernah bertemu orang-orang seperti Jehangir dan Rabeya. Satu hal yang kelihatannya ingin ditunjukan lewat film ini adalah terlepas dari berbagai keyakinan mereka, mereka masih bisa hidup bersama dan masih bisa shalat bersama-sama. Kelihatannya film ini ingin mengajak para penontonnya untuk bersikap lebih terbuka terhadap sesama Muslim yang berbeda pendapat, pemikiran, dan gaya hidup.

Saya memang tidak akan mengatakan bahwa film ini adalah film yang fenomenal, tapi saya rasa film ini tetap layak untuk ditonton oleh setiap pemuda Muslim. Akan tetapi, saya perlu ingatkan bahwa film ini memiliki potensi yang besar untuk menyinggung masyarakat Muslim. Untuk bisa menikmati film ini (dan mencoba menyerap moral ceritanya) dibutuhkan pemikiran yang terbuka dan kemauan untuk menerima sesuatu yang berbeda; atau lebih tepatnya sangat berbeda.

Saya menonton film The Taqwacores ini beberapa waktu setelah film The Message yang menggambarkan kehidupan kenabian Rasulullah SAW. Dapat saya katakan bahwa perubahan yang terjadi di dalam masyarakat Muslim itu sangat luar biasa. Bukan sesuatu yang mengherankan mengingat ajaran Islam diturunkan ke bumi ratusan tahun yang lalu, tapi apakah kondisi saat ini membahagiakan atau justru memprihatinkan. Saya rasa pertanyaan ini yang perlu kita jawab.