Rabu, 02 Mei 2012

Antara Tegas dan Keras

http://www.zawaj.com/
Raito dan Aidan memang anak-anak yang keras kepala. Saat mereka memiliki keinginan, mereka press forward. Sayangnya tidak semua keinginan mereka selaras dengan keinginan saya dan bunda mereka. Potensi konflik pun terbuka. Kadang potensi konflik ini dapat diredam lewat mufakat, kadang potensi konflik ini berlanjut menjadi konflik yang sebenarnya.

Raito - Aidan vs. Abi. Fight!

Saat emosi mulai keluar (baca: saat saya mengernyitkan dahi, menghapus senyum, dan meniadakan intonasi lembut di suara saya), perseteruan ayah dan anak pun sulit dihindari. Saya bersikeras untuk tidak menuruti keinginan anak-anak, anak-anak pun bersikeras meminta keinginan mereka dituruti. Pada saat seperti inilah batas antara sikap tegas dan sikap keras menjadi kabur. Hal ini pasti terjadi walaupun saya sendiri sudah mampu membedakan antara tegas dan keras.

Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa praktek itu jauh, jauh, dan jauh lebih sulit dan kompleks dibandingkan teorinya. Walaupun saya berusaha sebisa mungkin untuk tidak menjadi seorang ayah yang keras, berurusan dengan dua malaikat keras kepala di rumah itu seringkali menjebak saya untuk melewati batas. Tanpa saya sadari, awan di atas kepala saya sudah mengeluarkan petir dan awan di atas kepala anak-anak saya sudah menurunkan hujan deras.

Saya akui bahwa alasan saya "bablas" dan memarahi anak itu karena saya lelah. Saat saya lelah, menyikapi kelakuan menyebalkan anak-anak saya itu menjadi perjuangan yang hebat. Apalagi saat kelakuan menyebalkan itu tidak kunjung berhenti, saya pun terpancing untuk menggunakan jalan singkat. Jalan singkat itu adalah dengan menjadi sekeras batu dan sepanas api.

Saat saya sudah terlanjur marah, nasi pun sudah menjadi bubur. Saya bersyukur bila saya sadar di tengah-tengah kemarahan saya. Tidak jarang istri saya berperan besar membantu saya meredam amarah ini. Saat saya sadar, hal pertama yang saya lakukan adalah diam. Lewat diam itu saya berusaha menenangkan hati.

Ada kalanya bahkan saya meninggalkan anak-anak saya, misalnya dengan pindah ke kamar lain, hanya untuk menenangkan diri. Setelah diri saya tenang, saya pun kembali menghadapi anak-anak saya. Pada saat itu, saya sudah mampu untuk bersikap dengan bijak. Dengan hati yang tenang, seburuk apa pun kelakuan anak-anak saya, saya selalu bisa menghadapinya dengan senyuman.

Perlu saya tegaskan bahwa peran istri saya di sini sangat besar. Saat saya marah kepada anak-anak saya, istri saya tidak serta-merta berpihak kepada anak-anak. Istri saya justru berusaha memahami kenapa saya marah dan berkenan bila saya meninggalkannya bersama anak-anak yang berteriak-teriak menangis tiada henti. Tidak terbayang bila istri saya justru berbalik menyalahkan saya saat saya marah. Bila itu terjadi, saya mungkin akan sakit hati dan semakin merasa kesal.

Bukan berarti saya merasa benar saat saya marah. Walaupun keputusan saya sendiri memang benar, marah pada anak-anak tetap saja bukan hal yang bisa saya benarkan. Saya tetap yakin bahwa marahnya saya akan memberi dampak buruk kepada anak-anak saya, misalnya membuat anak-anak saya menjadi penakut atau justru mengajarkan mereka untuk menjadi orang yang pemarah.

Itulah alasannya mengapa saat saya kembali menghadapi anak-anak saya setelah saya menenangkan diri. Hal ini saya tujukan untuk mengajarkan kepada anak-anak saya bahwa marah itu tidak baik dan masalah itu dapat diselesaikan lewat kompromi/mufakat. Alhamdulillah anak-anak saya masih dekat dengan saya. Sebesar apa pun masalah mereka dengan saya, mereka selalu menerima saya saat saya bergerak mendekati mereka.

Demikian sekelumit kisah kecil saya bersama Raito dan Aidan. Kalau saya pikir-pikir, semua stres yang muncul saat konflik dengan Raito dan Aidan itu memang tidak signifikan. Pada akhirnya perbedaan keinginan antara saya dengan Raito dan Aidan berakhir baik lewat kompromi dan kesepakatan, baik dari sisi saya maupun dari sisi mereka, dan bukan lewat teriakan dan tangisan.

--
Rekomendasi: Menyiasati Marah Dalam Keluarga http://asyafrudin.blogspot.com/2011/02/menyiasati-marah-dalam-keluarga-1.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar