Tampilkan postingan dengan label Pekerjaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pekerjaan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 Desember 2017

Mengoreksi Ambisi

0 opini
Beberapa hari yang lalu, saya secara resmi bertambah usia menjadi 35 tahun. Sudah cukup lama saya hidup di dunia ini. Tentunya semakin lama saya hidup, semakin banyak pula kesalahan yang saya buat. Untungnya di usia kepala 3 ini, saya masih berada pada posisi di mana saya masih bisa mengakui kesalahan saya dan masih mau mencoba memperbaiki diri saya.

Sudah lama saya menjadikan pertambahan usia sebagai momentum untuk introspeksi diri. Saya mencoba melihat kembali apa yang sudah saya lakukan dalam hidup saya selama satu tahun ke belakang. Untungnya hidup saya cukup berwarna. Sebenarnya ada banyak hal yang bisa saya ceritakan, tapi untuk tulisan kali ini, saya hanya akan bercerita tentang satu hal.

Cerita kali ini adalah cerita tentang ambisi. Ambisi yang seperti apa? Ambisi yang sederhana; tidak muluk-muluk. Saya hanya ingin menafkahi keluarga saya sepenuhnya. Rasanya tidak sreg bila istri saya terus-menerus "berkontribusi" ke dalam rumah tangga walaupun hal itu dia lakukan atas keinginannya. Istri saya memang mampu dan mau memaklumi dan menutupi lubang-lubang yang ada dalam nafkah saya, tapi sayangnya, dibalik kerelaan istri itu, rasa tidak sreg dalam hati saya tetap ada. Harapan saya adalah saya bisa menafkahi keluarga sepenuhnya tanpa harus mengandalkan istri. Harapan saya adalah kalimat "Milikku adalah milikmu, milikmu adalah milikmu" tidak hanya menjadi slogan hidup saja. Harapan itu yang menjadi target ambisi saya.

Saya pun memanfaatkan peluang yang ada dalam pekerjaan saya agar saya bisa segera naik gaji. Tambahan penghasilan bulanan itu yang saya butuhkan untuk menggapai ambisi saya. Saya tidak akan menceritakan rinciannya, tapi peluang itu memang ada dan bagi saya, peluang itu cukup besar. Saya pun bekerja secara terarah untuk menggapai ambisi tersebut. Kerja tidak asal kerja, tapi saya arahkan untuk mendekatkan saya ke target ambisi saya. Hal itu saya lakukan secara konsisten walaupun realita kadang membuat saya patah semangat. Kondisinya memang tidak selalu baik, tapi pada akhirnya saya masih bisa melihat cahaya; saya masih bisa berharap.

Terlepas dari itu, ambisi tetap akan menjadi ambisi. Sepositif apa pun target seseorang, ambisi tetap saja membuat orang itu memakai kacamata kuda. Pandangannya hanya tertuju pada target. Waktu dan energinya pun diarahkan untuk mencapai target. Dalam kondisi itu, dia seringkali lupa melihat kondisi di sekitarnya. Kalaupun dia menyempatkan diri melihat kondisi sekitar, seringkali dia tidak benar-benar memperhatikan.
Kalaupun dia menyempatkan diri melihat kondisi sekitar, seringkali dia tidak benar-benar memperhatikan.
Itu yang terjadi pada diri saya. Ambisi saya membuat saya lupa untuk siapa saya berjuang. Saya lupa melihat reaksi istri dan anak-anak saya terhadap perubahan orientasi hidup saya. Kalaupun saya melihat, saya tidak benar-benar memperhatikan. Apakah mereka benar-benar nyaman saat saya harus mengutamakan pekerjaan dibandingkan mereka? Apakah mereka rela bila waktu keluarga terpaksa berkurang seiring usaha saya menggapai target saya? Dan banyak pertanyaan lainnya yang bahkan tidak sempat saya tanyakan. Itu terjadi karena saya tidak benar-benar memperhatikan.

Saya dan istri bahkan sempat bertengkar. Pertengkaran itu bukan pertengkaran biasa. Bukan tidak mungkin bahwa dalam konteks rumah tangga, pertengkaran kami masuk kategori "perang dunia ketiga". Anak-anak pun merasakan panasnya api konflik antara saya dan istri saya. Akibat ambisi, saya sudah menyakiti orang-orang yang menjadi alasan munculnya ambisi saya. Menyedihkan, bukan?

Untungnya Allah SWT masih memberikan kesempatan. Saya pun mencoba mengoreksi ambisi saya. Saya mencoba untuk melambat. Saya mencoba untuk lebih acuh dengan pekerjaan saya. Saya mencoba mengembalikan skala prioritas yang sudah terlanjur ngawur akibat munculnya ambisi. Saya tegaskan kembali ke diri saya bahwa keluarga tetap harus jadi nomor satu.

Seiring waktu, hubungan dengan istri saya pun membaik. Kami kembali bekerja sama sehingga api yang sempat membesar perlahan-lahan mengecil dan mulai padam. Anak-anak saya pun kembali merasakan kehangatan dari kedua orang tuanya. Pasca proses pemulihan ini, saya tetap harus menjaga diri agar tidak lagi terjerumus ke dalam ambisi yang membutakan. Jangan sampai api yang sudah padam berkobar lagi akibat kebodohan sendiri.

Satu hal yang benar-benar membantu saya adalah mengingat mati. Ambisi membuat saya hidup demi masa depan, padahal masa depan datangnya masih tak pasti. Mengingat mati memaksa saya untuk lebih seimbang dalam mempersiapkan masa depan dan menikmati hidup yang saya jalani detik ini. Saya tidak lagi meluangkan seluruh waktu dan energi saya untuk masa depan, tapi membaginya untuk masa depan dan "saat ini" secara proporsional.
Saya belajar untuk mendikte ambisi, bukan sebaliknya.
Bagian yang menarik dari cerita ini adalah saat saya memutuskan untuk tidak lagi berpacu mengejar target, ambisi saya justru terwujud. Untungnya saya sudah tidak lagi didikte oleh ambisi. Terwujudnya harapan saya tidak lantas memicu munculnya ambisi baru. Saya belajar untuk mendikte ambisi, bukan sebaliknya. Kalaupun ambisi lain bermunculan, saya harus bisa pastikan bahwa saya yang pegang kendali.

Minggu, 15 Mei 2016

Dari ATO hingga Cockington Green Gardens

0 opini
Judul asli: Minggu IV di Canberra: ATO, Parliament House, dll
--
Sudah 4 minggu saya bermukim di Canberra, tapi saya belum pernah benar-benar menceritakan dalam rangka apa saya ada di sini. Ada yang sebegitu penasaran mengenai hal tersebut sampai rela bertanya dan meladeni ngeles-nya saya di Twitter. Terus terang, saya pun akan penasaran saat mengetahui bahwa saya tiba-tiba terbang dan bermukim di Canberra karena saya memang bukan tipe orang yang suka bepergian. Saya butuh alasan yang kuat untuk pergi keluar kota, apalagi keluar negeri. Dan alasan yang kuat untuk bermukin di Canberra adalah pe-ker-ja-an.

Salah satu bentuk hubungan kerja sama antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Australian Taxation Office (ATO) yang baru saja dibentuk adalah program secondment. Menurut Google Translate, secondment dapat diartikan "penugasan", "penempatan", atau "diperbantukan". Saya termasuk salah satu pegawai DJP yang ikut serta dalam program secondment tersebut. Jadi, dapat dikatakan bahwa saat ini saya sedang diperbantukan di ATO. Sebagai apa? Sebagai kuli kode. Mengerjakan apa? Migrasi sebuah aplikasi agar mendukung teknologi terbaru. Aplikasi dan teknologi apa? Rahasia.

Saya tidak mungkin berbagi informasi terkait pekerjaan saya di ATO, tapi saya bisa berbagi sedikit tentang suasana kerja di sini. Satu hal yang paling menonjol di ATO adalah waktu kerja yang fleksibel. Durasi kerja per hari adalah 7 jam 21 menit. Kami memiliki keleluasaaan untuk datang dan pergi selama kantor dibuka, yaitu antara jam 7 pagi dan jam 7 malam, asalkan kami mampu memenuhi durasi kerja per hari tersebut. Saya memilih jam kerja yang konsisten dari pukul 08:10 hingga 16:30 (durasi kerja 7 jam 20 menit dikurangi waktu istirahat 1 jam). Cukup menyenangkan bukan?

Ruangan kerja di kantor ATO tempat saya bekerja terbilang nyaman. Salah satu alasannya karena cubicle para pegawai benar-benar lengang sehingga privasi lebih terjaga dan ruang gerak pun lebih luas. Break room yang disediakan untuk pegawai pun fully-furnished dengan microwave, toaster, coffee maker, refrigerator, dan vending machine. Pemandangan ke luar break room pun menarik. Berhubung gedung kantor tempat saya bekerja ada di tengah kota Canberra dan posisinya melintang dari utara ke selatan, pemandangan di luar jendela break room dihiasi dengan Black Mountain (di break room sisi timur) atau Mount Ainslie (di break room sisi barat). Silakan dilihat foto-fotonya di bawah ini.

Mount Ainslie (diambil dari break room sisi barat)
Black Mountain (diambil dari break room sisi timur)
(Di balik kaca) Ruang Printer dan Mesin Fotokopi
Fully Furnished Break Room
Break Room
My Cubicle
(Satu-satunya) Prayer Room
Prayer Room yang disediakan untuk para pegawai muslim tidak jauh berbeda dengan musola yang banyak ditemukan di gedung-gedung kantor dan pusat perbelanjaan di Jakarta. Akan tetapi, prayer room ini cukup terawat sehingga jauh dari kesan kotor dan sumpek. Fungsinya lebih cenderung seperti masjid karena di ruangan itu para pegawai muslim "janjian" untuk melaksanakan shalat berjamaah di awal waktu; bukan sekedar tempat shalat kelas dua yang digunakan saat tidak sempat ke masjid. Adzan pun turut dikumandangkan di prayer room ini.

Secara keseluruhan, bekerja di ATO melalui program secondment cukup menyenangkan. Tentu saja ada faktor-faktor lain selain ruangan kerja dan fleksibilitas jam kerja yang membuat hal tersebut menyenangkan, tapi saya tidak mungkin menceritakannya di sini. Sebagian tidak bisa saya ceritakan, sebagian lainnya tidak pantas pula saya ceritakan.

Lalu bagaimana dengan acara akhir pekan kali ini?

Akhir pekan kali ini terbilang padat karya. Sabtu siang, salah seorang pegawai ATO bernama Hari berkenan menemani (baca: mengantar menggunakan mobilnya untuk menemani) saya dan rekan-rekan saya untuk berkeliling kota Canberra. Ada 3 tempat yang kami kunjungi bersama Hari, yaitu Parliament House, National Museum, dan Mount Ainslie. Masing-masing tempat wisata itu memiliki daya tarik tersendiri.

Dengan mendatangi Parliament House, kita bisa membayangkan perkembangan pemerintahan di Canberra dan apa saja yang mereka hasilkan. Ada banyak hal yang dipamerkan di Parliament House, tapi hal yang paling menarik bagi saya adalah Apology to Australia's Indigenous Peoples (Kenapa ada "s" setelah "people" ya?), yaitu sebuah permintaan maaf resmi dari parlemen Australia (yang mewakili seluruh Australia) kepada penduduk asli Australia (Aborigin).

Apology to Australia's Indigenous Peoples
Bagian lain dari Parliament House yang juga menarik adalah bagian atap. Saya tidak menyangka bahwa bagian atap gedung itu dihiasi oleh rerumputan sehingga terlihat menyatu dengan pemandangan kota Canberra. Menurut penjelasan Hari, kondisi tersebut dirancang untuk menegaskan bahwa para anggota parlemen (yang ada di dalam gedung) berada di bawah masyarakat Canberra (dan warga negara Australia secara keseluruhan). Posisi "di bawah" itu menunjukkan tugas para anggota parlemen, yaitu menopang kehidupan seluruh warga negara Australia.

Pemandangan dari Atap Parliament House
Lokasi berikutnya adalah National Museum. Kalau kita mau melihat berbagai hal menarik di Australia, di sini tempatnya. National Museum menampilkan berbagai hal unik yang ada di Australia mulai dari entah kapan di masa lampau. Tempat ini juga memiliki 2 bagian yang menarik untuk anak-anak, yaitu Kspace dan area bermain yang tidak saya ingat namanya.

Area Bermain (yang tidak saya ingat namanya)
Kspace
Bagaimana dengan Mount Ainslie? Kami tiba di sana sekitar pukul 6 sore dan hari sudah mulai gelap. Jadi kami bisa melihat kota Canberra yang bercahaya di malam hari. Pemandangannya tentu saja indah. Sayangnya hanya itu saja yang menarik dari Mount Ainslie malam itu. Mungkin kalau kami datang lebih siang, kami masih sempat menjelajahi gunung tersebut dan bertemu dengan kangguru.

Canberra dari Puncak Mount Ainslie
Beacon di Puncak Mount Ainslie
Setelah Mount Ainslie, Hari mengantar kami kembali ke apartemen. Pengalaman yang menyenangkan di hari Sabtu tanpa harus sibuk mencari jadwal dan rute bus. Selesai? Belum. Keesokan harinya (Minggu), saya bersama keluarga saya (ya, ganti tim) menyempatkan diri mengunjungi Cockington Green Gardens. Cockington Green Gardens pada dasarnya "hanya" sebuah taman yang berisi miniatur bangunan-bangunan megah dari berbagai kota dan negara. Daya tarik utamanya adalah kereta mini yang dapat ditumpangi pengunjung untuk berkeliling di dalam taman tersebut. Sayangnya kami kurang beruntung karena kereta mini itu justru sedang tidak beroperasi saat kami berkunjung.

Cockington Green Gardens Official Car?
Miniatur Candi Borobudur
Sekian.

Foto-foto lainnya, seperti biasa, dapat dilihat di sini: https://goo.gl/photos/AB7nnRW6Fbkpeav98

Minggu, 12 Februari 2012

Antara Loyalitas dan Fasilitas

2 opini
Tulisan kali ini adalah hasil wawancara (baca: obrolan) saya dengan seorang tenaga pengamanan (baca: satpam) yang bernama Anton (bukan nama sebenarnya). Pak Anton ini sudah beberapa tahun bekerja sebagai satpam dan ceritanya cukup menarik untuk saya ikuti. Sesederhana apa pun profesi seseorang, sesuatu yang tidak saya temui sehari-hari adalah sesuatu yang menarik.

Ketertarikan saya pada cerita Pak Anton ini dimulai saat Pak Anton mengaku bahwa dia adalah lulusan pariwisata. Tidak jelas apakah yang dimaksud lulusan ini adalah lulusan S1, D3, atau D1. Bagi saya hal ini tidak menjadi penting karena pada intinya Pak Anton ini adalah salah satu dari sekian banyak orang dengan penghasilan pas-pasan walaupun berhasil mengenyam pendidikan di atas SMA.

Mencari pekerjaan di era reformasi ini memang sulit. Pak Anton mulai menjajaki dunia kerja sebagai tenaga administrasi. Sayangnya Pak Anton ini tidak berhasil mendapatkan pekerjaan tetap sehingga dia terus saja pindah tempat bekerja dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain. Sampai akhirnya umurnya sudah terlalu tua untuk bekerja sebagai tenaga administrasi dan satu-satunya tawaran pekerjaan yang ada di tangannya adalah pekerjaan sebagai satpam.

Dia bercerita bahwa seiring waktu dia berpindah kerja sebagai tenaga administrasi, dia tetap menjajaki lowongan-lowongan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Salah satu jenis lowongan yang dia jajaki antara lain adalah lowongan PNS (Pegawai Negeri Sipil). Bagi Pak Anton, pekerjaan PNS adalah pekerjaan yang paling enak dengan masa depan yang paling terjamin. Tidak hanya PNS itu mendapatkan jaminan hari tua berupa pensiun, tapi PNS itu juga memiliki resiko diberhentikan yang sangat kecil. Selain itu, setiap PNS tidak perlu lagi pusing memikirkan kontrak dan mencari tempat bekerja yang lain.

Penjajakan lowongan itu terus dia lakukan sampai saat dia sudah bekerja sebagai satpam. Terlihat jelas dari ceritanya bahwa pekerjaannya sebagai satpam itu jauh dari mudah; bahkan rasanya semakin rumit. Saat pertama kali bekerja sebagai satpam, dia dikontrak langsung oleh perusahaan tempat dia bekerja. Gaji yang dia terima dan fasilitas lain (yang tidak dia sebutkan) masih mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Semua ini menurun drastis saat jasa pengamanan itu diambil alih oleh perusahaan outsourcing.

Saat jasa pengamanan diambil alih oleh perusahaan outsourcing, gaji Pak Anton sempat turun dan butuh waktu 2 (dua) tahun untuk kembali ke jumlah semula. Tunjangan yang sebelumnya didapat saat terikat kontrak langsung dengan perusahaan terkait pun tidak lagi ada. Satpam dari perusahaan outsourcing diperlakukan berbeda dengan satpam yang bekerja langsung di bawah perusahaan terkait. Sampai fasilitas-fasilitas seperti pos satpam atau hal sederhana seperti dispenser pun tidak tersedia.

Di tengah-tengah ceritanya (baca: keluh kesahnya) tentang pekerjaannya sebagai satpam, Pak Anton bahkan sempat mengenang indahnya hidup di jaman Presiden Soeharto. Di jaman Presiden Soeharto itu harga-harga sembako lebih terjangkau dan pekerjaan pun lebih mudah didapat. Kondisinya jauh berbeda dengan pemerintahan era reformasi sampai saat ini. Walaupun keluarga Presiden Soeharto itu banyak korupsinya (Pak Anton sendiri mengakui ini), kehidupan rakyat kelas menengah ke bawah itu lebih sejahtera.

Saya lebih banyak mengangguk saat Pak Anton bercerita tentang kehidupan menyenangkan di jaman Presiden Soeharto. Saya sendiri merasa kehidupan di jaman Presiden Soeharto itu lebih enak dan nyaman. Kenapa? Pada jaman Presiden Soeharto itu saya masih sekolah (SMA). Saya tidak perlu pusing memikirkan istri, anak, pekerjaan, atau hal-hal lainnya. Sangat berbeda dengan kondisi saya sekarang.

Masih banyak lagi uneg-uneg yang disampaikan Pak Anton kepada saya yang notabene orang asing bagi dirinya ini. Hanya saja ceritanya terlalu banyak untuk saya ungkapkan dalam tulisan saya ini. Satu hal yang sudah pasti saya tangkap dari cerita Pak Anton adalah timpangnya fasilitas yang diberikan kepada satpam dengan loyalitas yang dituntut dari satpam. Lewat cerita Pak Anton ini saya menemukan sudut pandang lain terhadap para satpam, baik Pak Anton maupun para satpam secara keseluruhan.

Kamis, 05 Januari 2012

Mengajar di STAN

2 opini
Pagi ini saya memutuskan untuk mencoba menggunakan 2 (dua) monitor untuk komputer kerja saya. Alasannya karena memang ada 1 (satu) monitor tidak terpakai di ruangan kerja saya dan karena saya sendiri ingin memperbesar luas desktop saya. Setelah mengubek-ubek ruangan kerja untuk mencari kabel DVI, saya baru sadar kalau PC saya tidak dilengkapi video card yang mendukung DVI. Alhasil semua usaha saya sia-sia.

Lalu apa hubungannya dengan mengajar di STAN? Kita akan ke arah sana.

Berhubung meja saya sudah terlanjur berantakan, saya pun memutuskan untuk cuci gudang; atau cuci meja? Posisi monitor saya ubah, letak file box saya sesuaikan, dan tentu saja dokumen-dokumen dan kertas-kertas tidak terpakai saya buang. Ternyata ada banyak dokumen dan kertas yang statusnya sudah layak buang. Akhirnya saya menemukan cara untuk sedikit mengosongkan meja kerja saya.

Lalu apa hubungannya dengan mengajar di STAN? Ada dalam paragraf di bawah ini.

Di tengah-tengah tumpukan dokumen dan kertas itu saya menemukan berkas-berkas saya saat saya mengajar di STAN pada tahun 2011 (tahun lalu). Mulai dari surat tugas, buku dan presentasi untuk bahan ajar, soal-soal ujian, jawaban-jawaban ujian yang sudah saya beri nilai, sampai catatan kesan dan pesan dari para mahasiswa, semuanya membawa kembali kenangan manis dan pahit saat saya mengajar di STAN.

Yang paling berkesan tentu saja catatan kesan dan pesan dari para mahasiswa saya. Alhamdulillah komentar-komentar yang diberikan itu banyak yang positif. Yang saya maksud positif di sini bukan hanya komentar-komentar manis yang berpotensi membuat saya sombong, tapi juga termasuk kritik-kritik pedas, tajam, dan membangun terhadap saya.

Saya pun menyempatkan diri untuk membaca kembali semua catatan kesan dan pesan itu satu per satu. Sebagian catatan kesan dan pesan itu bernuansa serius. Sebegitu seriusnya sampai catatan kesan dan pesan yang seharusnya anonymous itu diberi nama oleh yang bersangkutan. Kata-kata yang dipilih pun memberikan kesan yang formal dan diplomatis.

Sebagian lainnya bernuansa canda. Sebegitu terasa candanya sampai-sampai saya merasa yang menulis itu sedang tertawa puas saat menulis kesan dan pesan miliknya. Ada pula yang bernuansa islami di dalam kesan dan pesannya. Kenapa? Karena dia memberi nama "Hamba Allah" di dalam kesan dan pesannya.

Kritik-kritik yang disampaikan lebih banyak bersifat teknis; mulai dari ketersediaan bahan mengajar untuk mahasiswa, durasi mata kuliah yang terlalu lama, sampai kesiapan sarana dan prasarana untuk praktek. Kritik-kritik yang terkait dengan cara saya mengajar tidak terlalu banyak. Sepertinya saya menjadi salah satu dosen favorit yang cara mengajarnya tidak terlalu membosankan atau bahkan menyenangkan.

Berhubung kesan dan pesan itu dibuat saat kuliah terakhir menjelang ujian akhir semester, tidak sedikit mahasiswa yang menyelipkan keinginannya untuk mendapatkan nilai A. Sayangnya kesan dan pesan itu dibuat tanpa nama. Jadi, mahasiswa-mahasiswa itu pun pukul rata menuangkan harapan nilai A untuk semuanya tanpa kecuali. Inilah salah satu contoh peribahasa "dikasih hati minta jantung".

Dibalik semua permintaan nilai A itu, ada satu yang agak unik. Kata-katanya seperti ini, "kalau ada nilai mahasiswa yang masih kurang, tolong dibantu pak." Diplomatis sekali bukan? Dalam hal ini, kemungkinannya ada dua. Pertama, yang bersangkutan adalah mahasiswa yang memang merasa nilainya kurang. Kedua, yang bersangkutan adalah ketua kelas memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap teman-teman kuliahnya.

Komentar-komentar konyol lucu itu tidak sedikit. Ada komentar seperti ini: "belajar asik, nilai ujian bagus, ilmu masuk, lanjutkan pak." Sepertinya yang bersangkutan ini anggota partai politik tertentu yang warna dominan lambangnya itu biru (atau ungu?). Ada juga komentar berlebayan seperti, "bapak terlalu sempurna bagi saya". Sebuah komentar yang membuat saya tertawa lepas sepenuh hati.

Kalau saya tuangkan semuanya, post ini akan menjadi panjang bukan kepalang hanya untuk bercerita tentang kesan dan pesan saja. Secara garis besar, keputusan saya untuk menerima tawaran mengajar di STAN tahun lalu adalah keputusan yang berakhir menyenangkan. Saya bersyukur dapat mengalahkan keraguan saya untuk mengajar kembali dan meneriwa tawaran tersebut.

Bagaimana dengan tahun ini? Tidak lagi.

Saat ini saya sudah memutuskan untuk tidak lagi mengajar di STAN karena materi kuliah yang cocok untuk diajarkan oleh praktisi teknologi informasi (TI) seperti saya itu terbatas. Mata kuliah yang saya ajar sebelumnya memang nyerempet dengan dunia TI, tapi materi yang diajarkan lebih ke arah penggunaan sebuah sistem informasi. Saat mengajar itu saya lebih merasa seperti trainer dalam sebuah kelas training ketimbang seorang dosen di sebuah kelas perguruan tinggi.

Sepertinya saya lebih suka mengajar materi kuliah yang TI banget. Saya membayangkan materi kuliah yang terkait dengan pemrograman, analisa dan desain sistem, manajemen proyek, atau materi-materi lain yang ... TI banget. Satu hal yang pasti, pengalaman mengajar di STAN itu telah membangkitkan minat mengajar saya yang telah tertidur pulas. Yang perlu saya lakukan sekarang adalah mencari tempat yang mau menerima saya sebagai pengajar dan mencari waktu luang untuk mengajar di tengah-tengah kesibukan saya sebagai seorang suami dan ayah dari dua anak laki-laki yang super caper.

Senin, 31 Oktober 2011

Menyiasati Infinite To-do List

1 opini
Organizing adalah satu dari sekian banyak hal yang gemar saya lakukan. Tentu saja kegemaran ini saya mulai dari diri saya sendiri. Salah satu manifestasi dari kegemaran ini adalah dengan membuat to-do list. Dalam hidup saya sehari-hari, saya memiliki 2 (dua) jenis to-do list: satu untuk urusan pekerjaan, satu untuk urusan pribadi. Masing-masing to-do list saya kelola secara terpisah.

To-do list untuk urusan pekerjaan saya tuangkan dalam lembaran post-it yang saya tempel di meja kerja saya di kantor. To-do list untuk urusan pribadi selalu setia menemani saya di dalam smartphone saya. Pemisahan ini sengaja saya lakukan karena saya ingin memisahkan urusan pekerjaan dan urusan pribadi saya. Dengan pemisahan seperti ini, saya hanya perlu melihat tugas-tugas yang terkait dengan pekerjaan saya di kantor saja.

Pemisahan to-do list yang saya lakukan adalah bagian dari usaha saya untuk menyeimbangkan kehidupan saya di kantor dan kehidupan saya di rumah (bersama istri dan anak-anak saya). Saat di rumah, saya tidak pernah "terganggu" dengan urusan-urusan pekerjaan. To-do list yang terkait pekerjaan selalu saya kerjakan di kantor. Saya selalu berusaha agar urusan pekerjaan tidak ikut pulang ke rumah bersama saya.

Walaupun begitu, masih ada 1 (satu) masalah lain yang perlu saya atasi dalam mengelola to-do list saya, yaitu infinite to-do list. Saya seringkali merasa bahwa to-do list saya itu tidak ada habisnya. Item yang keluar dari to-do list saya itu lebih sedikit daripada item yang masuk ke to-do list saya. Pada akhirnya daftar pekerjaan yang harus saya lakukan terus saja menumpuk.

Bayangkan kita sedang berjalan di sebuah jalan yang tidak terlihat ujungnya. Kita terus saja berjalan tanpa tahu kapan kita akan mencapai tujuan. Setiap kali kita sampai ke suatu checkpoint, jarak perjalanan kita malah bertambah sampai akhirnya kita merasa lelah dan jenuh untuk meneruskan perjalanan. Kita pun memilih berhenti dan menunda perjalanan kita. Ketimbang lelah meneruskan perjalanan yang tidak jelas ujungnya, lebih baik berhenti dan menikmati pemandangan di sekitar. Procrastination for the world!

Masalah infinite to-do list ini sudah lama saya alami, baik di to-do list pekerjaan maupun di to-do list pribadi. Yang paling "mengganggu" tentu saja di to-do list pekerjaan karena tumpukan pekerjaan itu membuat saya kesulitan untuk fokus. Fokus yang rendah ini akhirnya mengganggu konsentrasi saya bekerja sehingga throughput pekerjaan saya pun semakin menurun. Throughput yang menurun sudah pasti meningkatkan kemungkinan menumpuknya pekerjaan. Dan siklus yang jahat itu pun tidak henti-hentinya berputar.

Alhamdulillah tadi pagi saya menemukan tulisan yang serupa di sini: http://blog.101ideas.cz/posts/the-3+2-rule.html. Tulisan tersebut juga membahas cara menyiasati to-do list yang seolah-olah tidak pernah habis dengan metode "the 3 + 2 rule". Metode itu pada intinya menegaskan bahwa kita perlu bersikap realistis, yaitu dengan membuat target harian yang memang sesuai dengan kapasitas dan waktu yang kita miliki.

Dalam metode "the 3 + 2 rule" itu, penulisnya menyarankan untuk membuat to-do list yang berisi 5 (lima) pekerjaan: 3 yang utama, 2 yang pilihan. Fokuskan energi dan waktu untuk mengerjakan 3 pekerjaan utama. Bila masih ada energi dan waktu yang tersisa, silakan luangkan untuk mengerjakan 2 pekerjaan pilihan.

Angka 3 dan 2 di atas tentu saja tidak harus sama untuk masing-masing orang. Yang paling penting untuk diadopsi dari metode itu adalah bagaimana membatasi pekerjaan sesuai kemampuan dan waktu yang tersedia. Kita bisa saja membuat "the 2 + 1" rule dengan 2 pekerjaan utama dan 1 pekerjaan pilihan. Kita pun bisa saja membuat "the 1 + 0" dengan 1 pekerjaan utama. Intinya tetap pada pembatasan pekerjaan sesuai kemampuan dan waktu.

Dengan metode membatasi pekerjaan seperti di atas, kita dapat lebih fokus mengerjakan hal-hal yang penting. Dengan fokus yang meningkat, maka sangat besar kemungkinannya throughput pun ikut meningkat. Ini artinya lebih banyak pekerjaan yang dapat kita selesaikan. Semakin besar throughput kita, semakin banyak pekerjaan yang dapat kita keluarkan dari to-do list kita. Semakin banyak pekerjaan yang dapat kita selesaikan, rasa lelah dan jenuh bekerja pun dapat diminimalisir. Secara tidak langsung, hal ini akan meningkatkan kepuasan kita saat bekerja.

Memang pada kenyataannya mengelola to-do list tidak semudah 3 + 2 atau 1 + 0. Masih ada faktor eksternal yang sulit kita kendalikan seperti penugasan yang mendadak dari atasan atau berbagai panggilan tugas yang membuat to-do list kita menjadi tidak berarti. Walaupun begitu, membatasi pekerjaan bukan berarti menjadi tidak penting. Lakukan apa yang bisa kita lakukan untuk mengatur to-do list kita agar tidak menumpuk terus-menerus. Paling tidak kita perlu melakukannya demi menjaga keseimbangan hidup antara pekerjaan dan urusan pribadi (atau keluarga).

Minggu, 10 Juli 2011

Menunggu Tawaran Beasiswa Berikutnya

0 opini
Tahun ini adalah tahun pertama saya mulai mencari beasiswa untuk S2. Sebelumnya saya hanya berpikir bagaimana cara mendapatkan pekerjaan dengan gaji paling tinggi. Sama sekali tidak terbersit pikiran untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Ada beberapa alasan yang membuat pikiran untuk S2 itu muncul dan semua itu berakar pada kenyataan bahwa saya sudah bekerja menjadi PNS (Pegawai Nyari Sampingan). Dengan menjadi PNS, pikiran untuk pindah kerja semakin berkurang. Saya sendiri sudah lelah menjadi kutu loncat; pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Saya ingin meniti karir sehingga saya tidak melulu menjadi kuli; walaupun dengan bayaran tinggi.

Tanpa perlu menjadi kutu loncat, saya mulai berpikir mengembangkan keahlian saya ke arah yang strategis. Yang dimaksud dengan keahlian strategis itu salah satunya adalah dengan pendidikan S2. Selain itu, S2 ini pun memperbesar kemungkinan saya naik tingkat dalam hirarki jabatan. Tingkat pendidikan seorang PNS menjadi hal yang penting dalam menentukan jabatan; suka atau tidak.

Yang agak njelimet adalah saya tidak bisa sembarangan memilih tawaran beasiswa S2. Setelah konsultasi dengan berbagai pihak, saya akhirnya memilih menunggu tawaran beasiswa S2 yang datang lewat Bagian Kepegawaian instansi tempat saya bekerja. Kalau saya memaksa ikut serta seleksi beasiswa S2 dari luar instansi, saya akan kesulitan mengurus ijin tugas belajar dan mengurus pengakuan gelar yang saya raih kelak. Saya sendiri tidak bisa membayangkan besarnya "kesulitan" ini, tapi saya memilih jalur aman saja.

Tahun ini, ada beberapa tawaran beasiswa yang datang, yaitu dari KOICA, JICA, ADS, dan World Bank. Saya yakin para pemburu beasiswa sudah familiar dengan lembaga-lembaga tersebut. Yang saya pilih adalah yang pertama datang, yaitu dari KOICA. Program yang ditawarkan pun ada yang, menurut saya, beririsan dengan kompetensi saya sebagai tenaga IT, yaitu Global e-Policy and e-Government.

Pilihan ini membawa beberapa konsekuensi. Saya harus pontang-panting mengurus berkas dalam waktu singkat. Ijazah dan transkrip bahasa Inggris harus segera saya urus ke kampus. Saya pun harus segera mendapatkan skor TOEFL ITP. Setiap kendala, yang (untungnya) tidak akan saya paparkan di sini, akhirnya dapat saya lewati dan berkas persyaratan beasiswa pun dapat saya serahkan pada waktunya.

Rupanya KOICA ini termasuk tawaran beasiswa dengan resiko tinggi. Resiko yang saya maksud adalah resiko gagal. Kuota program yang saya ikuti hanya 20 orang; dari seluruh dunia. Dari 20 orang tersebut, hanya 1-2 orang saja yang dipilih dari setiap negara. Resiko gagalnya sangat tinggi. Saya harus bersaing dengan pentolan-pentolan internasional untuk menjadi bagian dari 20 orang tersebut.

Saya berhasil terpilih sampai tahap wawancara. Tahap wawancara itu sendiri hanya menyisakan dua kandidat termasuk saya. Pada akhirnya, saya gagal. The not-so-painful side of the story adalah saya masuk waiting list. Rupanya Allah belum berkenan mengijinkan melanjutkan pendidikan di Korea untuk alasan yang saya sendiri tidak mengerti sepenuhnya.

Harapan saya untuk diterima itu sebenarnya sangat tinggi. Ada tiga alasan mendasar mengapa saya begitu berharap dapat lolos di beasiswa KOICA kali ini. Pertama, saya dapat berangkat tahun ini. Kalau saya lolos, saya akan berangkat ke Korea akhir Juli ini. Saya pun lebih tenang meninggalkan keluarga saya saat anak-anak saya masih berusia 3 tahun. Mereka belum perlu sekolah sehingga saya berharap istri saya tidak terlalu repot mengurus mereka berdua.

Kedua, program S2 yang ditawarkan hanya satu tahun. Saya memang tidak ingin berlama-lama belajar. Saya termasuk tipe orang yang lebih memilih belajar sebentar untuk segera dilanjutkan dengan implementasi. Dengan begitu, ilmu yang saya peroleh lebih membekas. Saya pun tidak perlu meninggalkan keluarga saya terlalu lama. Istri saya pun merasa tidak perlu nyusul ke Korea kalau hanya ditinggal selama 1 tahun. Ketiga, saya dapat mewujudkan cita-cita saya untuk menambah katalog bahasa asing yang saya kuasai. Alasan terakhir ini memang tidak terlalu penting.

Dengan harapan yang tinggi, maka kekecewaan yang hadir akibat kegagalan pun sama tingginya. Hidup saya memang jalan terus, tapi rasa kecewa ini agak sulit pergi. Saya jadi teringat saat saya mengikuti proses seleksi penerimaan pegawai Bank Indonesia. Saat itu, saya mengikuti seleksi penerimaan pegawai untuk MLE (bukan PCPM). Seperti dengan beasiswa KOICA ini, saya pun gagal di tahap wawancara. Gagal di tahap wawancara penerimaan pegawai MLE ini pun dapat dikatakan sama sakitnya.

Saat ini saya menunggu tawaran beasiswa berikutnya dari Bagian Kepegawaian. Tawaran beasiswa dari ADS, JICA, dan World Bank untuk tahun ini terpaksa saya lewati karena saya tidak diperbolehkan mengikuti lebih dari 1 seleksi beasiswa pada saat yang sama. Kelihatannya tawaran beasiswa berikutnya yang dapat saya ikuti akan datang tahun depan.

Rabu, 18 Mei 2011

Kebijakan yang Merampas Hak

0 opini
Cuti adalah hak. Saya yakin semua orang setuju dengan pernyataan ini. Sebagaimana setiap hak yang kita miliki, kita memiliki kuasa penuh dalam menentukan waktu untuk menggunakan cuti. Tentunya sesuai ketentuan yang berlaku dan memperhatikan kondisi pekerjaan masing-masing. Intinya tetap sama, cuti adalah hak.

Salah satu waktu penggunaan hak itu adalah lewat Cuti Bersama. Secara tidak langsung, Cuti Bersama ini adalah pemaksaan kehendak yang terselubung. Saat kita berhak menentukan kapan kita ingin cuti, Cuti Bersama ini "memaksa" kita untuk cuti pada hari yang sama dengan mayoritas pegawai negeri yang lain.

Walaupun begitu, pemaksaan tersebut tidak menjadi masalah besar. Ada 2 (dua) alasan yang membuat Cuti Bersama diterima dengan senang hati. Pertama, Cuti Bersama umumnya kurang dari 3 (tiga) hari. Ini adalah salah satu kelebihan Cuti Bersama karena cuti tahunan hanya boleh diajukan untuk durasi minimal 3 (tiga) hari.

Alasan lain yang membuat Cuti Bersama diterima dengan baik adalah karena pemberitahuannya dilakukan sebelum tahun berjalan. Misalnya Cuti Bersama untuk tahun 2011 sudah dapat kita ketahui waktu pelaksanaannya pada akhir tahun 2010 atau awal tahun 2011. Jadi setiap pegawai masih memiliki waktu yang cukup untuk merencanakan cuti mereka di waktu Cuti Bersama.

Cuti Bersama memang tidak pernah dipermasalahkan atau minimal tidak pernah "terlihat" dipermasalahkan. Hanya saja, Cuti Bersama tanggal 16 Mei kemarin adalah pengecualian. Cuti Bersama 16 Mei kemarin benar-benar memicu protes dari banyak pihak. Penyebab paling utama karena pemberitahuan yang mendadak. Alasan lainnya adalah karena mengganggu cuti tahunan yang sudah direncanakan sebelumnya.

Salah seorang rekan kerja saya sudah menyisakan 5 (lima) hari cuti tahunan untuk diambil saat Hari Raya Idul Fitri demi kenyamanan mudik. Dengan Cuti Bersama kemarin, sisa cuti tahunan 4 (empat) hari saja akan mempersulit dirinya. Saya rasa banyak orang yang merasakan hal yang sama terkait perencanaan cuti masing-masing.

Pemberitahuan yang mendadak membuat banyak orang kecewa karena mereka "dipaksa" berlibur tanpa perencanaan. Sebagian orang mungkin tidak terlalu banyak mengeluhkan hal ini, tapi saya yakin semua akan lebih senang jika pemberitahuan Cuti Bersama 16 Mei itu tidak mendadak. Semua akan lebih senang jika pengumuman libur selama 4 (empat) hari dari hari Sabtu s.d. Selasa itu tidak muncul mendadak.

Terlepas dari perencanaan liburan, perencanaan pekerjaan jadi berantakan. Pekerjaan yang sudah direncanakan akan dikerjakan hari Senin pun terpaksa ditunda hingga hari Rabu. Yang paling pahit adalah pekerjaan tersebut tidak bisa ditunda dan hari Senin tetap diharuskan masuk sementara 99% pegawai lainnya sedang cuti. Ini saya alami sendiri. Tanggal 16 Mei itu saya diminta masuk untuk menyelesaikan pekerjaan yang harus selesai sebelum hari Rabu.

Dalam kasus saya, bukan hanya saya "dipaksa" untuk mengambil hak saya pada waktu yang saya tidak inginkan, tapi hak saya itu pun tidak bisa saya gunakan. Saya sudah sampai di kantor sekitar pukul 8 pagi dan baru bisa meninggalkan kantor sekitar pukul 3 sore. Hak saya pun dirampas oleh kebijakan yang muncul mendadak tanpa kepentingan yang jelas. Penggunaan kata "rampas" mungkin berlebihan, tapi memang kenyataannya seperti itu.

Sebenarnya masih ada secercah harapan pada saat pengumuman itu terbit karena ada kabar bahwa Cuti Bersama itu tidak harus diambil. Kebijakannya dikembalikan kepada instansi masing-masing. Saya pikir intansi tempat saya bekerja akan memilih untuk tidak mengakomodir keputusan yang mendadak itu, tapi kenyataan justru berkata sebaliknya.

Cuti sudah dikurangi 1 (satu) hari. Walau pun hari Senin, 16 Mei, saya masuk kantor, cuti yang dikurangi itu tetap tidak akan dikembalikan ke sisa hak cuti saya. Saat ini tidak ada yang bisa saya lakukan selain berharap agar kebijakan yang mendadak dan merugikan seperti keputusan Cuti Bersama 16 Mei 2011 ini tidak muncul lagi di kemudian hari.

Kamis, 14 April 2011

Mengurangi Stres Negatif Saat Pulang-Pergi Kerja

0 opini
Senin sampai Jum'at adalah hari yang melelahkan. Bukan melelahkan karena kita harus bekerja, tapi melelahkan karena kita harus melewati hiruk-pikuk kemacetan di jalan raya menuju tempat kita bekerja. Rasa lelah itu yang saya -dan mungkin juga Anda- rasakan setiap pagi dan sore hari setiap hari kerja di belantara Jakarta ini.

Stres yang muncul akibat kemacetan itu mengakibatkan efek samping yang buruk bagi kehidupan. Saat berangkat kerja, perjalanan yang melelahkan dan menambah stres itu sudah pasti menguras energi yang seharusnya dapat kita manfaatkan untuk bekerja. Saat pulang kerja, perjalanan yang sama akan semakin menguras energi yang seharusnya dapat kita manfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga.

Belum lagi kalau kita mengalami masalah di tengah perjalanan, tingkat kesabaran kita akan menurun drastis. Rendahnya tingkat kesabaran kita tentu memberikan efek negatif tersendiri baik di lingkungan pekerjaan maupun di tengah-tengah keluarga kita. Sumbu amarah kita menjadi lebih pendek sehingga sedikit kesalahan saja akan membuat kita kesal bukan main.

Alhamdulillah sejak beberapa bulan yang lalu saya berhasil mengurangi stres negatif saat melakukan perjalanan pulang-pergi kerja ini. Tidak ada trik khusus yang saya lakukan dalam hal ini. Saya hanya beruntung menemukan rute pulang-pergi kantor dengan menggunakan sepeda motor yang terbilang nyaman. Bila dibandingkan dengan rute dan media transportasi lain yang pernah saya gunakan, rute terbaru ini adalah yang paling nyaman dan paling singkat waktu tempuhnya.

Awalnya rute sepeda motor yang terpikir oleh saya adalah melewati jalur Cipulir-Ciledug-Kebayoran Lama-Blok M-Senopati. Jalur ini adalah jalur neraka (karena melibatkan Cipulir, Ciledug, dan Kebayoran Lama), baik saat berangkat kerja maupun saat pulang kerja. Saya langsung beralih ke pilihan lain. Pilihan berikutnya adalah menggunakan transportasi umum melewati jalur Alam Sutera-Kebon Jeruk-Tomang-Semanggi. Bagian yang paling menyulitkan adalah waktu kedatangan bus yang tidak menentu. Resiko saya terlambat menjadi lebih besar, kecuali saya mau berangkat jam 05.30 pagi (atau lebih pagi lagi).

Alternatif lain yang saya coba adalah mobil pribadi. Jalur yang saya lewati adalah BSD City-Tol Serpong-Tol JORR-Citos-Antasari-Prapanca-Blok M-Senopati. Dibandingkan dengan transportasi umum, pilihan ini memungkinkan saya berangkat lebih siang (maksimal jam 6 pagi). Sayangnya menggunakan mobil pribadi memiliki dampak yang sangat besar terhadap jumlah pengeluaran saya. Saya bahkan sempat mengakali dengan menghindari Tol JORR, tapi penghematan yang didapat tidak terlalu signifikan.

Akhirnya pilihan saya jatuh pada rute yang sudah saya gunakan selama berbulan-bulan ini, yaitu rute sepeda motor melewati Parigi Lama-Bintaro-Veteran-Pondok Indah-Radio Dalam-Panglima Polim-Senopati. Sampai saat ini, rute ini dapat dikatakan sebagai rute impian. Jarak tempuh paling dekat, waktu tempuh pun paling singkat, dan tentunya pengeluaran paling irit.

Kendaraan umum dan mobil pribadi memang memiliki kelebihannya sendiri-sendiri seperti kenyamanan dan akses jalan tol. Hanya saja urutan prioritas saya membuat saya bersyukur saya menemukan rute alternatif melewati Bintaro ini. Satu-satunya hal yang perlu saya pikirkan adalah bagaimana mengurangi bawaan di tas agar beban di punggung saat mengendarai motor bisa berkurang.

Walaupun begitu, kesabaran tetap merupakan hal yang krusial untuk bisa menekan stres negatif di jalan raya Ibukota. Pemicu emosi (atau stres negatif) itu senantiasa ada. Entah karena ada Metro Mini yang melaju kencang tanpa lihat kiri-kanan, pengendara lain yang tiba-tiba memotong jalan, atau kendaraan super pelan yang menghalangi jalan, atau angkutan umum yang berhenti mendadak. Berkendara tanpa kesabaran sama saja dengan bunuh diri pelan-pelan.

Kamis, 31 Maret 2011

Uang Setan Dimakan Setan

1 opini
"... Penipu Laporan Pajak = SETAN, setelah dicurigai lalu diperiksa oleh petugas pajak ditemukan kebohongan dari jumlah yang seharusnya disetor kepada negara melalui BANK atau KANTOR POS. Lalu si SETAN menggunakan kemampuan uangnya untuk menyogok petugas pajak SETAN sehingga pajaknya tidak diperbaiki sebagaimana mestinya. Jadilah istilah "uang SETAN dimakan SETAN".

Fakta di lapangan seiring adanya kasus gayus:
1.Seorang pembeli sayur yang seorang PNS berseragam mengatakan "ngapain bayar pajak, cuma buat bikin kaya orang pajak". dan apa yg saya dengar berikutnya sangat mengejutkan. Ibu penjual sayur berkata "ya makanya bayar pajaknya ke bank om, jangan sama orang pajaknya".
Bisa dibayangkan betapa gelinya saya waktu itu. seorang Pegawai Negeri Sipil, yang setiap bulannya dapat penghasilan yang uangnya berasal dari Pajak, dengan tidak tahu malunya bicara seperti itu.
2.dari beberapa kejadian seperti itu dapat saya simpulkan seperti pepatah "Tong Kosong Nyaring Bunyinya". Orang-orang yang paling keras menyuarakan "STOP MEMBAYAR PAJAK" adalah salah satu dari SETAN penipu pajak, dan yg lain adalah orang-orang yang sama sekali tidak pernah melaporkan pajak ataupun membayar pajak. ..."
Kutipan di atas merupakan salah satu komentar yang dituangkan dalam blog bicarapajak.blogspot.com. Tidak semua isi komentar tersebut saya kutip di atas. Klik di sini untuk membaca versi selengkapnya dari komentar tersebut.

Komentar di atas secara gamblang menegaskan aspek lain dalam menilai kasus-kasus pajak, yaitu keberadaan wajib pajak bermasalah. Saat sorotan dalam kasus-kasus perpajakan ditujukan kepada pegawai dan instansi perpajakan negeri ini, faktor wajib pajak sama sekali tidak diperhatikan. Padahal faktanya kasus-kasus perpajakan itu tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Selalu ada faktor aparat perpajakan dan wajib pajak dalam setiap korupsi di bidang perpajakan.

Meminjam istilah "kejahatan itu terjadi karena ada kesempatan", maka terlihat jelas bahwa korupsi yang dilakukan aparat perpajakan tidak mungkin dilakukan kalau wajib pajak tidak membuka peluang. Jadi wajib pajak pun bersalah karena membuka peluang korupsi. Wajib pajak seperti ini justru menjadi kaki tangan pelaku korupsi perpajakan; bukan sebagai korban. Korban dari korupsi perpajakan ini adalah rakyat, yaitu orang-orang yang berhak mendapatkan kesejahteraan dari kas negara.

Jadi jangan lagi kita salah kaprah menilai pelaku-pelaku kejahatan dalam korupsi perpajakan. Arahkan jari kita tidak hanya pada aparat perpajakan yang terlibat, tetapi juga pada para wajib pajak yang mendapatkan keuntungan lewat manipulasi data perpajakan. Mereka itulah orang-orang egois yang mengedepankan kepentingan dan keuntungan pribadi dengan mengorbankan kepentingan umum.

Minggu, 05 Desember 2010

Kendali Kosong (Zero Control)

2 opini
The best form of control is not having to control anything.
Bentuk pengendalian yang terbaik adalah dengan tidak mengendalikan apa pun. Dengan tidak mengendalikan apa pun, pengendalian yang kita lakukan dipastikan akan berjalan sempurna tanpa ada kegagalan sedikit pun. Kita tidak akan kesulitan mengendalikan candu bila kita tidak kecanduan. Kita tidak akan kesulitan mengendalikan kebiasaan kita bila kita tidak memiliki kebiasaan itu.

Bentuk pengendalian seperti itu (untuk selanjutnya kita sebut Kendali Kosong) memang bukan hal yang berlaku untuk banyak kondisi karena memiliki kecenderungan pasif atau bahkan negatif. Kalau kita berniat untuk tidak mengendalikan apa pun, itu sama saja dengan mengatakan kita berniat untuk tidak melakukan apa pun dalam hidup kita. Hal ini sama saja dengan sikap pemalas atau bahkan sama saja dengan tidak memiliki kehidupan.

Salah satu kondisi di mana metode Kendali Kosong ini saya terapkan adalah dalam berinteraksi dengan situs jejaring sosial. Situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter memungkinkan kita untuk mendekatkan yang jauh. Kita bisa berkomunikasi dengan semua teman kita walaupun jarak kita dengan teman-teman kita terpisah jauh. Komunikasi jarak jauh itu bisa kita lakukan dengan mudah, murah, dan -dalam beberapa kasus tertentu- menyenangkan.

Sayangnya akibat dari mendekatkan yang jauh itu, kita -secara sadar atau tidak sadar- dapat menjauhkan yang dekat. Tanpa kita sadari, kita bisa jadi sibuk dengan situs jejaring sosial itu di saat kita sedang berkumpul dengan keluarga kita. Pada akhirnya dunia maya menjadi lebih nyata ketimbang dunia nyata itu sendiri.

Lalu bentuk Kendali Kosong yang saya bicarakan ada di mana? Bentuk Kendali Kosong itu ada pada keputusan saya untuk tidak menggunakan smart phone seperti BlackBerry atau iPhone. Smart phone itu jelas mempermudah kita untuk mengakses situs jejaring sosial. Mudah dibawa, tidak perlu repot menyalakan dan mematikan, dan senantiasa terhubung ke Internet -kalau kita berlangganan. Dengan tidak memiliki smart phone, akses ke situs jejaring sosial sudah pasti terbatas. Saya tidak mungkin membawa netbook ke mana pun saya pergi. Sementara smart phone bahkan dapat dibawa ke (maaf) toilet.

Terlepas dari situs jejaring sosial, saya juga senang menghabiskan waktu dengan bermain game. Ini adalah satu alasan lain bagi saya untuk tidak memiliki smart phone. Saya tidak mau membentuk refleks membuka smart phone untuk bermain game saat saya misalnya sedang menunggu bersama istri saya, karena waktu menunggu itu bisa jadi lebih berharga bila saya manfaatkan untuk mengobrol dengan istri saya. Contoh lain adalah saat rapat. Tentu kecenderungan untuk tidak memperhatikan isi rapat yang membosankan akan menjadi lebih besar dengan kehadiran smart phone.

Contoh-contoh di atas tentu saja sifatnya spesifik, yaitu berlaku untuk kondisi-kondisi tertentu dan subjektif terhadap diri saya sendiri. Selain itu saya juga tidak bermaksud menafikan manfaat dari situs jejaring sosial dan kepemilikan smart phone. Saya yakin ada banyak manfaat dari smart phone karena kalau tidak mereka mungkin akan diberi nama "not so smart phone" atau "stupid phone" atau "silly phone" atau berbagai nama aneh lainnya.

Rabu, 10 November 2010

Mengenal Batasan Integritas

0 opini
Dalam kondisi ideal, integritas tidak mengenal batas. Sikap jujur dan profesional yang kerap kali disandingkan dengan integritas sudah sepantasnya tidak mengenal batas. Dapat dikatakan bahwa dalam kondisi ideal, pilihannya adalah menjaga integritas atau mati. Akan tetapi, dunia nyata bukanlah kondisi ideal.

Di dunia ini, integritas jelas mengenal batas. Kadang batasan itu diakibatkan oleh pengaruh eksternal, kadang batasan itu disebabkan oleh pengaruh internal. Masing-masing sisi, eksternal atau internal, memiliki variasinya masing-masing. Variasinya pun bergantung pada waktu dan tempat integritas itu diterapkan oleh seseorang.

Dalam dunia kerja, batasan integritas itu datang dari berbagai arah. Untuk bawahan, batasan integritas datang dari atasan. Bawahan akan menjaga sikap di hadapan para atasannya untuk menghindari hukuman. Untuk atasan, batasan integritas datang dari bawahan. Atasan senantiasa menjaga sikap untuk menghindari rasa malu di hadapan bawahannya. Rekan kerja pun memiliki pengaruh tersendiri. Seseorang bisa jadi menjaga sikap saat berada di sekitar rekan-rekannya.

Dengan pola yang pragmatis seperti itu, integritas menjadi salah satu topeng dalam panggung sandiwara pekerjaan atau kasarnya sebuah bentuk kemunafikan. Integritas hanya dijaga agar terhindar dari hukuman dan rasa malu. Saat seseorang merasa aman dari hukuman dan rasa malu ini, integritas tidak lagi penting untuk dipertahankan.

Saat integritas diperlakukan sebagai topeng, maka tidak heran bila kita melihat banyak pejabat korupsi. Tidak juga kita perlu heran melihat banyak orang selingkuh. Tidak perlu heran bila kita melihat banyak orang pergi meninggalkan kantornya saat jam kerja. Jangan pula heran saat berbagai bentuk penyimpangan, besar atau kecil, terus terjadi di sekitar kita.

Integritas sepantasnya dibatasi oleh diri kita sendiri. Bagi seorang muslim, integritas justru dibatasi oleh keberadaan Allah. Saya sendiri memilih Allah untuk mengawasi integritas saya karena saya sadar manusia itu sering dibohongi dirinya sendiri. Dengan kehadiran Allah dalam hidup saya, saya yakin tidak akan ada yang luput dari pengawasan. Kebohongan sekecil apa pun yang kita lakukan akan diketahui oleh Allah. Kebenaran sekecil apa pun yang kita lakukan akan diketahui oleh Allah. Kondisi seperti ini yang dapat membuat integritas menjadi tanpa batas karena tidak ada pengawas yang lebih baik selain Allah.

Saya sering tegaskan kepada diri saya bahwa istilah terlalu jujur itu sering dipakai secara berlebihan. Bila Anda membocorkan rahasia negara saat peperangan, Anda bisa dikatakan terlalu jujur. Saat Anda membeberkan lokasi keluarga Anda pada kelompok penculik, Anda bisa dikatakan terlalu jujur. Tapi saat Anda mengakui bahwa Anda terlambat masuk kantor saat rekapitulasi absensi mengatakan sebaliknya, ini adalah sebuah bentuk kejujuran; bukan terlalu jujur. Saat atasan tidak di tempat dan Anda bersikeras untuk tetap bekerja, ini adalah sebuah bentuk kejujuran; bukan terlalu jujur.

Bila semua orang membiasakan hidup jujur dimulai dari hal-hal yang kecil sampai hal-hal yang besar, integritas akan terjaga dengan mudah. Dalam kondisi seperti ini, integritas berubah dari sekedar topeng menjadi bagian dari wajah -tidak akan lepas dalam kondisi apa pun. Dan dalam kondisi seperti ini, proses perbaikan individu, masyarakat, bangsa dan negara akan menjadi optimal.

Sudahkah kita hidup jujur hari ini?

Tulisan terkait:
Terlalu Jujur - http://asyafrudin.blogspot.com/2009/10/terlalu-jujur.html

Rabu, 12 Mei 2010

Mengejar Lowongan Kementerian Keuangan

0 opini
Update (12 Mei 2010 13:56)
Cara Membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK):
http://bagaimana-cara.blogspot.com/2009/04/membuat-surat-keterangan-catatan.html
Cara Membuat Kartu Tanda Pencari Kerja (Kartu Kuning):
http://bagaimana-cara.blogspot.com/2009/01/membuat-kartu-tanda-pencari-kerja-kartu.html
---

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) -sebelumnya Departemen Keuangan (Depkeu)- kembali membuka lowongan untuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tingkat sarjana di tahun 2010 ini. Pengumuman resminya ada di sini: http://ppcpns.depkeu.go.id/pengumuman_reg.asp. Persyaratan resminya ada di sini: http://ppcpns.depkeu.go.id/Persyaratan.asp.

Lewat post ini saya ingin berbagi sedikit pengalaman saya saat mengejar lowongan yang sama tahun 2008 lalu. Seperti lowongan CPNS pada umumnya, seleksi lowongan CPNS Kemenkeu pun melewati beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut antara lain:
  1. Seleksi Administrasi.
    Pada tahap ini setiap pelamar diharuskan menyerahkan berkas sesuai persyaratan yang diumumkan. Saat itu berkas pelamar diserahkan langsung, berbeda dengan lowongan tahun 2010 yang mengharuskan berkas dikirim lewat pos. Satu tips yang bisa saya berikan kepada sarjana Ilmu Komputer. Anda diharuskan memilih salah satu jurusan Teknik Komputer, Teknik Informatika, atau Sistem Informasi. Di berkas lamaran Anda, pilih salah satu jurusan dan siapkan surat pernyataan dari almamater Anda yang mendukung jurusan pilihan Anda.
  2. Tes Potensi Akademik (TPA).
    Persiapan yang saya lakukan adalah dengan berlatih soal-soal. Soal-soal seperti ini dapat dibeli di toko buku terdekat. Pentingnya berlatih soal-soal TPA ini adalah untuk menghidupkan kembali sel-sel otak kita yang sudah berkarat. Perlu diperhatikan bahwa TPA ini mungkin saja dibarengi tes bahasa Inggris.
  3. Psikotes.
    Satu-satunya tips yang bisa saya berikan adalah berlatih.
  4. Tes Kesehatan dan Kebugaran.
    Di tahun 2008, tes kesehatan meliputi berat badan, tinggi badan, rabun, dan buta warna (kemungkinan ada tes lain yang lupa saya sebutkan). Tes kebugaran meliputi lari keliling lapangan sepak bola selama 12 menit dan sprint (lari cepat) membentuk angka 8.
  5. Wawancara.
    Anda akan masuk ke dalam instansi yang sedang melakukan reformasi. Di tahap wawancara ini, saya rasa seleksi dilakukan untuk memilih orang-orang dengan moral yang baik. Untuk tahap ini, saya sarankan jadi diri sendiri saja. Hanya saja jadilah diri sendiri yang baik.
  6. Laporan.
    Tahap terakhir dalam rangkaian seleksi. Tahap ini hanya untuk memastikan bahwa Anda yang terpilih memang benar-benar berniat bergabung dengan Kemenkeu.
Pada dasarnya tidak ada yang perlu ditakuti dalam rangkaian seleksi lowongan CPNS Kemenkeu ini. Yang penting -setelah doa- adalah mempersiapkan diri dengan baik, seperti berlatih soal-soal, menjaga kesehatan, atau berlatih bercerita pengalaman kerja (untuk wawancara). Semua proses seleksi yang saya alami sepertinya bebas dari campur tangan pihak-pihak yang licik. Jadi keberhasilan seorang pelamar mencapai penempatan di Kemenkeu adalah hasil jerih payah mereka sendiri.

Selamat mengejar lowongan!

Rabu, 28 April 2010

Tanggung Jawab Semu

3 opini
Kata “tanggung jawab” tidak selalu memiliki makna yang sama bagi setiap orang. Bahkan bagi seseorang, definisi tanggung jawab itu bisa jadi berbeda dengan kenyataannya. Memang tidak mudah menjadi orang yang bertanggung jawab, karena tanggung jawab itu membutuhkan pengorbanan; baik dari sisi materi maupun moral.

Dalam prakteknya, banyak orang yang merasa dirinya bertanggung jawab. Sayangnya saat dilihat dari sudut pandang pihak ketiga, terlihat jelas bahwa orang itu tidak bisa bertanggung jawab dengan baik. Bentuk tanggung jawab seperti ini saya sebut “tanggung jawab semu”; disebut semu karena pada dasarnya tidak jelas.

Saya sendiri pernah -atau bahkan sering- berada dalam posisi saat saya merasa bertanggung jawab tapi kenyataannya saya malah sekedar mencari selamat. Saya teringat saat saya pernah mengundurkan diri dari sebuah proyek. Saya tidak kabur begitu saja. Saya bicara baik-baik dengan stakeholder saya. Saya minta maaf dan mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri. Saya rela tidak dibayar sepeser pun walau saya sudah terlibat pekerjaan itu selama beberapa waktu. Pada saat itu kondisi ekonomi memaksa untuk bekerja di lebih dari satu tempat dan saya menilai proyek inilah yang resikonya paling rendah bila saya mundur.

Saya pikir saya bertanggung jawab karena memilih mundur karena saya merasa keterlibatan lebih jauh di proyek itu malah akan menghambat ketimbang membantu. Saya pikir saya bertanggung jawab karena saya tidak main kabur begitu saja. Saya sengaja menghadap stakeholder dan mengundurkan diri secara baik-baik. Saya pikir saya bertanggung jawab karena saya rela tidak dibayar sepeser pun.

Saat itu saya memang melihatnya sebagai bentuk tanggung jawab saya karena tidak lagi mampu meneruskan pekerjaan di proyek itu. Namun kenyataannya bentuk tanggung jawab saya itu adalah tanggung jawab semu. Saya justru merasa bahwa saya sekedar ingin mencari selamat, tidak mau repot, atau alasan-alasan egois lainnya.

Saya baru bisa dikatakan bertanggung jawab kalau saya mau meneruskan pekerjaan saya di proyek itu sambil menyelaraskannya dengan pekerjaan saya yang lain. Ini baru bisa dikatakan bertanggung jawab. Saya rasa saya akan lebih bertanggung jawab bila saya tidak mengundurkan diri dan tetap meneruskan setiap pekerjaan yang saya emban.

Kelihatannya memang lebih berat, atau bahkan terlalu berat, tapi justru disitulah keistimewaan orang yang bertanggung jawab. Orang yang benar-benar bertanggung jawab akan terus berjalan ke arah tujuannya terlepas dari berbagai rintangan yang menghadang. Orang seperti ini tidak akan pernah menjadikan lari sebagai pilihan; entah larinya itu dilakukan dengan cara terhormat atau memalukan.

Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang kuat. Walaupun begitu, melarikan diri tidak selalu menjadi simbol kelemahan. Lari dengan cara yang terhormat itu lebih baik ketimbang lari dengan cara yang memalukan. Dalam konteks pekerjaan, memberanikan diri untuk mengajukan pengunduran diri itu lebih baik ketimbang kabur begitu saja. Memiliki rasa tanggung jawab semu itu tetap lebih baik ketimbang tidak memiliki rasa tanggung jawab sama sekali.

Hanya saja kita perlu ingat bahwa tanggung jawab semu itu bukan tanggung jawab yang sebenarnya. Jangan sampai ilusi yang ditimbulkan dari tanggung jawab semu itu membuat kita menjadi lebih cepat memilih untuk melarikan diri -dengan cara yang bertanggung jawab- ketimbang memilih untuk bertahan. Jangan sampai ilusi yang sama justru membuat kita terbuai dengan predikat bertanggung jawab sampai-sampai kita sendiri tidak bisa melihat betapa lemahnya bentuk tanggung jawab kita.

Tanggung jawab semu itu ada di jiwa siapa saja. Tanggung jawab semu dapat muncul kapan saja dan di mana saja. Akan tetapi, semua itu kembali kepada kematangan orang yang terlibat. Semakin matang pemikiran seseorang, semakin kuat semangatnya, semakin sulit baginya untuk melarikan diri, semakin besar ketahanannya dalam setiap hal yang diemban di pundaknya, semakin kecil peluang munculnya tanggung jawab semu itu.

--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/whtbWEjO/TanggungJawabSemu.html

Rabu, 03 Maret 2010

Hidup Bersama Gejala Tipus

0 opini
Februari 2010 adalah bulan paling "menyakitkan" dalam hidup saya sampai saat tulisan ini dibuat. Saya sebut "menyakitkan" karena pada bulan itu saya menghabiskan 17 hari untuk beristirahat akibat sakit. Kronologisnya agak panjang karena gejala pertama dimulai pada hari Jumat, 29 Januari 2010.

Pada hari Jumat itu, saya merasakan suhu badan meningkat secara signifikan. Namun saya masih bisa bertahan di kantor hingga akhir jam kerja (jam 5 sore). Rasa tidak enak badan itu terus bertahan hingga Senin, 1 Februari 2010. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak masuk kerja dan beristirahat dengan harapan kondisi badan akan membaik.

Selasa, 2 Februari 2010, kondisi badan tetap tidak membaik. Saya memutuskan untuk berobat ke dokter umum di RS Qadr (Tangerang). Setelah melakukan tes darah, dokter menyimpulkan bahwa saya terkena gejala tipus. Saya diminta istirahat selama 3 hari hingga hari Kamis, 4 Februari 2010. Alhamdulillah hari Jumat, 5 Februari 2010, saya sudah bisa bekerja kembali. Sayangnya saya masih merasa kondisi badan belum sepenuhnya membaik. Akhirnya Jumat malam saya memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter spesialis penyakit dalam di RS Harapan Bunda (Pasar Rebo).

Dokter spesialis penyakit dalam meresepkan beberapa obat yang perlu saya minum dan meminta saya untuk beristirahat selama 10 hari. Akhirnya saya memulai istirahat di rumah dari tanggal 9 Februari 2010 hingga 18 Februari 2010. Jumat, 19 Februari 2010, saya kembali masuk kerja. Saya masih merasa kondisi badan saya belum membaik 100%. Jumat malam saya kembali mengunjungi dokter spesialis penyakit dalam yang sama di RS Harapan Bunda. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter kembali menyarankan istirahat di rumah selama 10 hari atau rawat inap selama lebih kurang 5 hari.

Terselip sedikit rasa tidak nyaman di hati saat saya harus lagi-lagi meminta ijin tidak masuk kantor karena sakit dengan jumlah hari yang tidak sedikit. Saya pikir kalau memang saya perlu beristirahat selama 10 hari, sebaiknya saya memilih rawat inap agar pengobatan saya bisa optimal. Harapan saya tentunya dengan rawat inap itu penyakit saya bisa sembuh total.

Akhirnya saya merencanakan memulai rawat inap pada hari Jumat, 26 Februari 2010. Saya sengaja memilih long weekend itu untuk menghemat jumlah hari ijin dari kantor. Kenyataannya pada hari Kamis, 25 Februari 2010, suhu badan saya lagi-lagi meningkat. Kamis malam saya sudah berobat lagi ke dokter. Kali ini saya berobat ke bagian Gawat Darurat di RS Omni International.

Setelah dipastikan saya terkena gejala tipus lewat hasil laboratorium. Dokter jaga di bagian Gawat Darurat malah menyarankan saya rawat jalan saja dulu. Namun setelah dokter itu mengetahui apa yang saya paparkan di atas, akhirnya dokter jaga itu merujuk saya ke bagian rawat inap agar dapat diperiksa lebih lanjut. Bisa jadi penyebab turunnya kondisi badan saya bukan disebabkan oleh gejala tipus. Pada saat itu, kata "tuberculosis" sempat terbersit dalam pikiran saya. Saya baru sadar bahwa sejak tanggal 29 Januari itu saya mengidap batuk yang tidak pernah benar-benar sembuh. Kamis, 25 Februari, itu pun suhu badan saya meningkat seiring dengan kambuhnya batuk.

5 hari saya dirawat di RS Omni International terhitung dari tanggal 26 Februari 2010 hingga tanggal 2 Maret 2010. Infus dipasang di tangan kiri saya mulai masuk sampai keluar dari rawat inap. Antibiotik disuntikan langsung melalui selang infus. Hasil rontgen thorax tidak menunjukan gejala-gejala yang negatif. Itu artinya saya tidak mengidap tuberculosis atau penyakit pernapasan lainnya.

Pada awalnya saya hanya diperiksa oleh dokter spesialis penyakit dalam. Setelah beberapa hari saya mengadukan masalah batuk dan pilek yang tidak kunjung sembuh. Akhirnya saya dirujuk ke dokter spesialis THT (Telinga Hidung Tenggorokan). Dokter spesialis THT menemukan ada produksi lendir di bagian hidung yang menyebabkan benjolan-benjolan di bagian tenggorokan sehingga bagian tenggorokan pun ikut memproduksi lendir. Produksi lendir di bagian tenggorokan itu yang menyebabkan batuk.

Akhirnya saya harus meminum obat yang diresepkan oleh kedua dokter tersebut. Alhamdulillah obat-obat tersebut tepat guna. Saya merasa batuk dan pilek saya berkurang dan kondisi tubuh berangsur-angsur membaik. Rujukan ke dokter spesialis THT merupakan langkah yang tepat. Tanpa analisa dari dokter spesialis THT itu, masalah batuk dan pilek saya pasti akan terus ada sampai rawat inap saya selesai.

Hari ini, Rabu, 3 Maret 2010, saya sudah keluar dari rawat inap, membawa banyak obat-obatan, dan sedang menjalani jumlah hari rawat tambahan yang diberikan dokter sampai akhir minggu ini. Semoga saja minggu depan kondisi saya sudah sehat kembali dan saya tidak perlu lagi meminta ijin dari kantor akibat sakit dengan jumlah hari yang tidak sedikit.

Senin, 26 Oktober 2009

Terlalu Jujur

2 opini
Bohong adalah salah satu ciri orang munafik. Bohong bukanlah bagian dari kepribadian seorang Muslim. Bohong dapat dilakukan dalam keadaan terpaksa, tapi bukan berarti bohong seperti ini dibenarkan. Bohong dalam keadaan terpaksa adalah perbuatan dosa yang diampuni (dimaafkan). Itu artinya bohong dalam keadaan apa pun tetap berdosa. Hanya saja dalam beberapa kondisi tertentu, dosa tersebut dapat (bukan pasti) diampuni.

Saat kita memandang kebohongan sebagai sesuatu yang dibenarkan, peluang kita akan memandang remeh kebohongan itu akan meningkat. Namun apabila kita menegaskan bahwa bohong dalam kondisi apa pun adalah perbuatan dosa, kita akan lebih berhati-hati dalam berbohong. Kita pun akan lebih berhati-hati dalam menentukan kondisi terpaksa yang mengharuskan kita berbohong.

Garis batas keterpaksaan ini sayangnya bersifat subjektif. Sulit sekali menemukan panduan yang objektif untuk menentukan apakah sebuah kebohongan itu dilakukan karena terpaksa atau sekedar cari selamat. Perbedaan garis batas keterpaksaan ini yang menjadi dasar adanya istilah "terlalu jujur".

Saya ambil contoh pengalaman pribadi saja. Saya pernah beberapa kali terlambat tiba di kantor. Absensi di kantor masih dilakukan secara manual. Setiap pegawai cukup mengisi buku absen sesuai keyakinan masing-masing; bukan sesuai kenyataan. Menyikapi keterlambatan saya, saya tetap saja mengisi absen sesuai jam kedatangan. Terlambat berapa menit pun, saya isi sesuai kenyataan walaupun saya sadar bahwa pada setiap keterlambatan ada potongan gaji 1,25%.

Suatu kali saya mendengar celetukan seorang rekan kerja. Dengan nada bercanda, rekan saya mengatakan bahwa saya terlalu jujur. Pada saat itu saya hanya tersenyum. Saya tidak terlalu ingat bagaimana saya meresponnya. Satu hal yang pasti, istilah "terlalu jujur" itu menyangkut dalam pikiran saya. Hal itu mungkin candaan, tapi bagi saya kejujuran adalah topik yang harus disikapi dengan serius; asalkan tidak terlalu serius.

Saya berpikir saat celetukan terlalu jujur itu terlontar, saya merasa bahwa kejujuran saya itu dianggap berlebihan atau tidak pada tempatnya. Hal ini jelas membuat saya bingung. Bagian mana dari kejujuran saya yang tidak pada tempatnya? Bagian mana dari kejujuran saya yang berlebihan?

Walaupun begitu, saya sadar bahwa perbedaan pemikiran ini terjadi karena adanya perbedaan garis batas keterpaksaan yang membolehkan kejujuran. Bagi diri saya, memanipulasi jam kedatangan saat terlambat masuk kantor bukanlah sebuah kebohongan yang dapat diampuni. Bagi orang lain mungkin berlaku sebaliknya.

Alasan saya untuk tidak pernah berbohong saat terlambat karena saya tidak pernah menemukan alasan keterpaksaan tersebut. Walaupun alasannya untuk menghindari rapor merah kehadiran atau mencegah terjadinya pemotongan gaji, tetap saja saya tidak merasa terpaksa. Apalagi bila hal ini dikaitkan dengan menghindari pemotongan gaji 1,25%. Itu artinya untuk setiap manipulasi jam kedatangan, saya berhasil menyelamatkan 1,25% potongan gaji. Hal ini sama saja dengan mengatakan bahwa 1,25% tersebut merupakan hasil kebohongan. Na'udzubillaahi min dzaalik.

Contoh yang saya berikan di atas memang contoh kecil. Namun saya rasa justru contoh kecil tersebut menjadi fundamental. Orang pada umumnya lebih peduli pada kebohongan-kebohongan yang besar. Akhirnya orang pun terbiasa melakukan kebohongan-kebohongan yang kecil. Padahal dosa pada hakikatnya adalah dosa. Menghitung besar atau kecilnya dosa sama saja dengan mempertaruhkan nasib kita di akhirat kelak.

Referensi:

Rabu, 21 Oktober 2009

6 Langkah Menuju Bank Indonesia

221 opini
Tidak banyak yang bisa saya ceritakan mengenai pengalaman saya mengikuti seleksi penerimaan pegawai Bank Indonesia (BI). Yang saya ingat, seleksi tersebut melibatkan 6 (enam) tahap seleksi mulai dari seleksi administrasi hingga wawancara. Beberapa hal yang bisa saya ceritakan mengenai masing-masing tahap seleksi tersebut akan saya paparkan di bawah.

Perlu saya ingatkan bahwa apa yang saya paparkan di sini mengacu pada pengalaman saya saat mengikuti seleksi penerimaan pegawai BI pada tahun 2007.

Seleksi Administrasi
Pertama, Seleksi Administrasi. Tahap seleksi ini dilakukan setelah para pelamar melakukan registrasi yang bersifat online. Kriteria kelulusan tentunya mengacu pada kriteria kelulusan dasar yang terkait dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) minimal, latar belakang pendidikan, dan umur untuk masing-masing jenjang pendidikan.

General Aptitude Test
Kedua, General Aptitude Test. Tes ini mencakup pengetahuan akademik dan pengetahuan umum. Isi tesnya mencakup Matematika, Bahasa Indonesia, dan soal-soal pengetahuan umum. Sebelum tes dimulai, panitia akan melakukan pemeriksaan terhadap berkas-berkas pelamar untuk melihat apakah data yang dimasukan saat registrasi online sama itu sesuai kenyataan atau tidak.

Ada beberapa pelamar yang harus meninggalkan ruangan tes karena berkas-berkasnya dianggap tidak valid. Saat itu, salah satu pelamar yang meninggalkan ruangan itu duduk di depan saya saat tes tersebut. Pengalaman yang cukup menegangkan mengingat itu adalah tahap seleksi pertama.

Tes Pengetahuan Tertulis
Ketiga, Tes Pengetahuan Tertulis. Tes ini merupakan Tes Pengetahuan Umum Perbankan dan Tes Disiplin Ilmu. Berhubung latar belakang pendidikan saya adalah Ilmu Komputer, soal-soal tentang algoritma pemrograman pun keluar. Selain algoritma pemrograman, ada juga beberapa soal yang menyinggung sisi bisnis dalam pengembangan aplikasi komputer; bahkan perangkat keras pun tidak luput ditanyakan.

Untuk Pengetahuan Umum Perbankan sangat sulit ditebak. Sepertinya lebih banyak pengetahuan ekonomi yang ditanyakan ketimbang pengetahuan perbankan itu sendiri. Untuk orang yang jarang bersentuhan dengan dunia perbankan seperti saya tentu sulit untuk menjawab soal-soal dalam tes ini.

Tes Bahasa Inggris dan Psikotes
Keempat, Tes Bahasa Inggris dan Psikotes. Tes Bahasa Inggris merupakan tes yang wajib diikuti oleh para pelamar bila tidak sanggup menyediakan sertifikat TOEFL dengan batas nilai yang sudah ditentukan. Saya terpaksa mengikuti tes ini karena saya memang tidak pernah mengambil ujian TOEFL atau sejenisnya.

Tes Psikotesnya sendiri sebenarnya cukup sederhana. Saya sudah beberapa kali mengikuti tes psikotes di beberapa seleksi. Kalau saya bandingkan dengan tes psikotes yang pernah saya lakukan, Tes Psikotes dalam seleksi penerimaan pegawai BI ini terbilang mudah dan tidak terlalu melelahkan.

Tes Pemeriksaan Kesehatan dan Psikiatri
Kelima, Tes Pemeriksaan Kesehatan dan Psikiatri. Untuk tes ini pelamar harus siap jasmani dan rohani. Tes Pemeriksaan Kesehatan dan Psikiatri ini bertujuan untuk memastikan bahwa pelamar itu berbadan sehat dan berpikiran waras. Rangkaian pemeriksaan kesehatan dilakukan di RSPAD Gatot Subroto sementara tes Psikiatri dilakukan di tempat (dan juga hari) yang terpisah.

Wawancara
Keenam, Wawancara. Tahap ini adalah tahap terakhir dalam proses seleksi. Yang diuji tidak hanya kompetensi pelamar tapi juga kemampuan mempresentasikan diri masing-masing. Wawancara dilakukan oleh satu tim pewawancara berjumlah 4 orang.

Hanya itu saja yang bisa saya sampaikan mengenai tahap proses seleksi penerimaan calon pegawai BI yang pernah saya lewati. Saya tegaskan kembali bahwa semua yang saya paparkan di atas mengacu pada pengalaman pertama saya mengikuti seleksi tersebut. Semoga yang saya paparkan di atas dapat membantu para pelamar untuk lebih bersiap diri.

Update (16 September 2012)
Berhubung tulisan ini terkait erat dengan pengalaman saya mengikuti seleksi penerimaan pegawai Bank Indonesia di tahun 2007, saya tidak lagi merasa kompeten menjawab pertanyaan yang diajukan. Oleh karena itu, bagian komentar untuk blog post ini saya tutup. Harap maklum.

Senin, 19 Oktober 2009

Mengejar Lowongan Bank Indonesia

20 opini
Bank Indonesia (BI) kembali membuka lowongan. Seleksi penerimaan calon pegawai melalui PCPM XXIX sudah dibuka. Pelamar yang berminat dapat masuk ke situs http://www.rekrutmenbi.com/ dan melakukan pendaftaran online.

Terus terang kesempatan untuk bergabung di BI merupakan kesempatan yang menarik. 2 (dua) tahun yang lalu, tahun 2007, saya mencoba melamar. Saat itu untuk pertama kalinya saya mencoba melamar ke BI. Lowongan yang dibuka saat saya melamar itu tidak hanya untuk PCPM, tapi juga untuk MLE. Saya memutuskan untuk tidak tanggung-tanggung dan memilih MLE. Peluang diterima di MLE memang lebih kecil karena seingat saya posisi yang ditawarkan hanya untuk 12 orang saja.

Proses seleksi BI saat itu membutuhkan waktu yang lama. Untuk menunggu hasil seleksi per tahap saja kadang butuh waktu bulanan. Jadi wajar saja untuk mengikuti proses seleksi sampai selesai itu setiap pelamar perlu bersabar menanti kabar selama berbulan-bulan.

Tahap dalam seleksi penerimaan pegawai yang saya ikuti di tahun 2007 adalah sebagai berikut:
  1. Registrasi: 54.000 lebih pelamar terdaftar.
  2. Seleksi Administrasi: 17.574 pelamar bertahan.
  3. General Aptitude Test: 2.592 pelamar bertahan (untuk daerah Jakarta).
  4. Tes Pengetahuan Tertulis.
  5. Tes Bahasa Inggris dan Psikotes.
  6. Tes Pemeriksaan Kesehatan dan Psikiatri.
  7. Wawancara.
Tahap dalam seleksi penerimaan pegawai berdasarkan FAQ di situs registrasi online di atas (http://www.rekrutmenbi.com/FAQ.html#17) adalah sebagai berikut:
  1. Aplikasi Online.
  2. Tes Bahasa Inggris.
  3. Tes Psikometri.
  4. Tes Pengetahuan Umum.
  5. Diskusi Grup.
  6. Wawancara.
Perbedaan terbesar ada pada urutan tes yang dilakukan. Itu pun kalau memang urutannya seperti di atas. Tahap-tahap proses seleksinya sendiri tidak jauh berbeda. Di tahun 2007 juga ada bagian diskusi grup. Seingat saya diskusi grup itu dilakukan pada rentang waktu yang sama dengan Tes Pengetahuan Tertulis.

Persiapan untuk menjalani proses seleksi ini sebaiknya tidak setengah-setengah. Saya sendiri menyesali kegagalan saya karena saya merasa persiapan saya tidak maksimal. Saya bermaksud membeberkan kembali pengalaman proses seleksi yang sudah saya jalani untuk membantu persiapan seleksi. Sayangnya pengalaman ini akan saya beberkan dalam tulisan yang terpisah. Bagi yang berminat silakan menunggu tulisan selanjutnya.

Update (16 September 2012)
Berhubung tulisan ini terkait erat dengan pengalaman saya mengikuti seleksi penerimaan pegawai Bank Indonesia di tahun 2007, saya tidak lagi merasa kompeten menjawab pertanyaan yang diajukan. Oleh karena itu, bagian komentar untuk blog post ini saya tutup. Harap maklum.

Selasa, 15 September 2009

Suara 1263 CPNS

4 opini
Awal September ini 1263 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tersenyum. Mereka bahagia karena secara resmi telah MULAI menerima 80% dari gaji pokok mereka yang dimulai di bulan September ini. Nominal yang memang tidak besar, tapi bila dibandingkan dengan Uang Tunggu tentu akan terasa jauh berbeda.

Kabar baiknya masih berlanjut. Ternyata selain menerima 80% dari gaji pokok tersebut di atas, para CPNS itu masih tetap menerima Uang Tunggu seperti biasa. Itu artinya mulai bulan September para CPNS itu akan menerima 80% dari gaji pokok ditambah Uang Tunggu. Hal ini seharusnya akan berlaku sampai diterbitkannya Surat Keputusan (SK) Penempatan Definitif atau SK Pengangkatan PNS.

Kabar baiknya belum berhenti. Rapelan 80% dari gaji pokok yang seharusnya diterima sejak awal bekerja (antara Januari atau Februari 2009) hingga Agustus 2009 pun akan cair. Yang lebih menyenangkan lagi adalah cairnya rapelan ini diharapkan akan tuntas sebelum hari raya Idul Fitri 1430 Hijriyah. Saat tulisan ini dibuat, tanggal 1 Syawal 1430 Hijriyah masih berkisar antara tanggal 20 atau 21 September 2009.

Kondisi finansial memang menjadi polemik di antara 1263 CPNS itu. Masing-masing memiliki kebutuhan sendiri-sendiri. Kalau pun kebutuhannya sama, derajatnya mungkin berbeda. Ada yang sudah terlanjur malu berhutang, ada yang menganggap hutang itu bagai batu loncatan. Ada yang memiliki 2 orang anak, ada yang memiliki 2 orang balita berumur 1 tahun. Variasi kebutuhan seperti ini tentu terlalu banyak untuk dibeberkan satu per satu. Yang jelas kondisi ini sebenarnya wajar apalagi dalam sebuah kelompok yang beranggotakan lebih dari 1000 orang. Sayangnya ada pihak-pihak yang kerap kali melihat masalahnya dari satu sisi saja sehingga konflik yang terjadi sering berkepanjangan.

Intinya tiga paragraf di atas adalah angin segar bagi 1263 CPNS DJP. Kondisi finansial yang gersang itu akan disiram oleh hujan yang sangat lebat. Saat tanah kembali basah dan gembur, rencana-rencana penanaman pun kembali digelontorkan. Saat rekening tabungan kembali terisi, rencana-rencana hidup pun kembali disiapkan.

Sayangnya kabar baik itu masih tidak berhenti bergulir. Walaupun penerimaan di bulan September sudah sesuai harapan, rapelan -hujan lebat- itu tidak kunjung turun. Bahkan sudah dipastikan bahwa "prakiraan cuaca" tersebut meleset cukup jauh dari kenyataan. Rapelan diundur hingga bulan Oktober (baca: hingga batas waktu yang ditentukan kemudian).

Dampak yang dibawa oleh kabar tersebut cukup mengganggu. Sebagian dari CPNS DJP itu menerimanya dengan baik, sebagian lagi menerimanya dengan cukup baik, sebagian dengan agak baik, sebagian dengan cara yang "terlihat" tidak baik. Seperti yang saya paparkan di atas. Masing-masing punya kebutuhan dengan derajat kebutuhan yang berbeda. Jadi wajar saja bila cara masing-masing orang menerima kabar itu pun sangat berbeda.

Saat ada aksi pasti ada reaksi. Sebagian orang memilih bereaksi dengan menyuarakan kekecewaannya. Sayangnya harapan untuk mencoba mengatasi mundurnya rapelan itu sudah tertutup. Suara-suara lantang tersebut pun pada akhirnya hilang ditelan pembelaan-pembelaaan dan berbagai topik lainnya -yang sering sengaja dibuat untuk meredam suasana yang panas.

Di sela-sela protes-protes, baik secara halus maupun keras, yang diajukan itu, nama sebuah instansi lain pun disebut sebagai kunci dari kemunduran rapelan itu. Instansi tersebut dikatakan harus mengutamakan pekerjaan lain sehingga kehilangan waktu untuk mengurus rapelan para CPNS ini. Intinya usaha keras yang telah dikeluarkan berbagai pihak, baik dari pihak CPNS maupun dari DJP sendiri, menemui jalan buntu.

Tidak semua orang bisa menerima kondisi ini. Opini-opini yang disuarakan mencoba memberikan berbagai usul (sampai ke tahap yang terkesan memaksa) untuk mengatasi jalan buntu itu. Kalau pun kondisi ini tidak bisa diatasi, pihak-pihak yang menyuarakan opini mereka berharap agar kemunduran ini tidak terjadi lagi.

Apalagi jadwal Diklat (Pendidikan dan Pelatihan) Prajabatan untuk para CPNS itu sudah dekat. Gelombang I Diklat Prajabatan dijadwalkan akan dimulai pada tanggal 29 September 2009. Sungguh menenangkan bila rapelan gaji yang diharapkan dapat turun sebelum tanggal tersebut. Sayangnya melihat kondisi saat ini, kemungkinan tercepat turunnya rapelan itu adalah pada bulan Oktober.

Kondisi yang dipaparkan di atas hanya sekelumit masalah yang timbul dalam kehidupan 1263 CPNS DJP itu. Saya yakin masalahnya tidak sesederhana yang saya paparkan. Paparan saya tentu terbatas pada pengalaman dan pengamatan yang saya lakukan. Kalau dibeberkan satu per satu, 1263 CPNS itu dapat menerbitkan sebuah kumpulan cerita pendek yang berisi curahan hati masing-masing.

Satu hal yang pasti, saya berharap mekanisme penerimaan pegawai negeri tidak terus-menerus seperti ini. Mulai dari pembuatan Nomor Induk Pegawai (NIP), SK CPNS, SK Penempatan, Diklat Prajabatan, SK PNS, dan persyaratan lainnya, semua perlu dioptimalkan. Dengan demikian setiap calon pegawai negeri dapat langsung menerima hak-haknya dan segera melaksanakan kewajibannya secara maksimal.

Terlepas dari semua itu, tulisan ini bukan representasi keluhan. Tulisan ini pun tidak diharapkan untuk mencemarkan nama baik instansi mana pun. Tulisan ini ditujukan untuk berbagi sedikit fakta tentang kesulitan yang dialami oleh CPNS DJP (yang setahu saya juga dialami oleh CPNS secara umum). Harapannya tentu saja agar para CPNS di kemudian hari dapat lebih siap menerima pahitnya perjalanan hidup yang harus mereka lalui sebelum resmi menjadi PNS.

--
* Gambar diambil dari http://treest.wordpress.com/2009/03/18/uang-bahagia/ dan http://coffeeoriental.wordpress.com/2007/08/16/apa-kamu-lihat-uang/

Minggu, 16 Agustus 2009

Seminggu Tidak Online

0 opini
Hampir seminggu lebih saya tidak mengakses Internet seperti biasanya. Ratusan email baru sudah bertumpuk di Inbox. Feed Reader sudah mengumpulkan lebih dari 2000 entri baru. Situs jejaring sosial juga sudah mengumpulkan banyak notifikasi baru. Alhasil saya harus menelusuri satu per satu kabar-kabar baru tersebut supaya tidak ada yang terlewat.

Untungnya saya tidak saklek mengharuskan diriku untuk memperhatikan semuanya satu per satu. Saya lebih suka memilah yang tidak perlu dibaca dan menandainya sebagai pesan yang sudah dibaca. Pada akhirnya Inbox tidak lagi menampilkan email baru, Feed Reader tidak lagi menampilkan entri baru, situs jejaring sosial tidak lagi menampilkan notifikasi baru.

Yang paling penting untuk diikuti adalah informasi tentang gaji dan rapelan yang konon akan digelontorkan di awal September. Memilahnya dari tumpukan email baru sebenarnya tidak terlalu mudah, tapi sepertinya kabar tersebut akan terwujud. Semoga saja hal ini benar-benar menjadi kenyataan. Saya pribadi masih belum yakin dengan informasi yang saya pilah karena khawatir ada informasi yang terlewat.

Bicara soal gaji dan rapelan ...

Saya harus berterima kasih kepada rekan-rekan sesama Calon CPNS (CCPNS) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang sudah berkenan membantu memperjuangkan nasib 1263 orang CCPNS dengan mengorbankan uang, waktu, dan tenaga mereka. Saya tidak bisa menyebut nama mereka satu per satu. Terus terang saya tidak ingat siapa saja yang terlibat.

Berbagai perbedaan, yang kadang menimbulkan konflik, pada akhirnya dapat disatukan dengan sebuah tujuan, yaitu uang. Apapun yang telah terjadi selama hampir 8 bulan terakhir ini pada akhirnya tidak membuat 1263 orang tersebut cerai-berai. Mereka masih bersatu untuk memperjuangkan gaji dan rapelan. Semoga saja di kemudian hari mereka masih bisa bersatu walaupun harus dengan sebuah tujuan yang baru.

Bicara soal uang ...

Gaji dan rapelan itu ibarat hujan di tengah kemarau panjang. Kita semua bisa bayangkan sorak-sorai orang-orang yang menyambut hujan dalam kondisi itu. Sorak-sorai CCPNS DJP pun sepertinya tidak akan kalah meriahnya saat mereka resmi menerima gaji dan rapelan nanti.

Selama 8 (delapan) bulan ini para CCPNS DJP tersebut hanya menerima 900 ribu Rupiah setiap bulannya. Hal ini tetap patut disyukuri bila dibandingkan tidak menerima uang sama sekali. Akan tetapi 900 ribu Rupiah itu seringkali tidak cukup dan sepertinya tidak sedikit CCPNS DJP yang kehabisan simpanan untuk menutupi kekurangannya; bahkan mungkin tidak sedikit yang harus rela berhutang.

Bicara soal hidup sulit ...

Kondisi keuangan saya sendiri juga terancam. Biaya hidup kedua anak saya sangat tinggi. Mereka baru genap berusia 1 (satu) tahun pada tanggal 17 Juli 2009. Jadi kebutuhan hidup mereka masih mahal. Biaya susu formula, bubur bayi, biskuit, popok, dan berbagai biaya lainnya jauh di atas biaya kebutuhan hidup saya dan istri. Kondisi ini semakin dipersulit karena jumlah simpanan saya saat saya bergabung dengan DJP juga sudah terbilang tipis.

Saat salah satu anakku sakit flu, biasanya yang lain akan tertular. Biaya berobat pun menjadi dua kali lipat. Alhamdulillah Raito dan Aidan termasuk anak yang tahan banting. Mereka, menurut saya, jarang sakit. Sepertinya kegemaran mereka untuk makan -dengan kuantitas yang juga tidak sedikit- benar-benar membantu menjaga kondisi tubuh mereka.

Memang benar hidup sebagai CCPNS itu butuh modal. Kalau saya ceritakan kesulitan finansial yang saya alami tentu tidak ada habisnya. Bayangkan kalau 1263 orang menceritakan kesulitan hidup mereka masing-masing.

Terlepas dari itu semua, hidup saya tetap saja senantiasa baik. Raito dan Aidan senantiasa menghibur saya dengan polah mereka. Istri pun senantiasa mendukung saya dengan berbagai cara yang bisa dia lakukan. Setiap bagian dari hidup saya senantiasa perlu disyukuri.