Tampilkan postingan dengan label Kesehatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kesehatan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 November 2023

Jadwal Puasa Intermiten Mingguan

0 opini

Total intermittent fasting (IF) saya per minggu adalah 116 jam (rincian ada di gambar). Setiap hari, saya mulai puasa dari pukul 9 malam. Senin dan Kamis saat  puasa sunnah, sahur hanya minum air putih. Alhasil IF saya di 2 hari itu bisa sampai 21 jam.

IF di hari kerja lain saya batasi 16 jam, yaitu dari pukul 9 malam hari sebelumnya sampai pukul 1 siang. Saat itu saya mulai makan siang. Sisanya, yaitu Sabtu dan Minggu, saya kurangi menjadi 14 dan 12 jam karena saya perlu menyesuaikan diri dengan waktu ngemil keluarga.

IF saya lakukan bukan lagi untuk mengelola berat badan, tapi untuk mengambil manfaat kesehatannya. Terus terang saya tidak lagi berminat menurunkan berat badan. Berat badan berkutat di 58-60 kg sudah cukup. Saat ini saya hanya berusaha untuk menjaga badan agar tidak jadi "bulat".

Untuk menjaga kestabilan berat badan juga tidak cukup dengan IF. Kuantitas makanan yang masuk di waktu makan juga harus dikendalikan. Satu hal yang paling berpengaruh untuk badan saya adalah nasi. Saya bertahan hanya makan nasi 1 kali sehari walaupun waktu makan tetap 2 kali.

Hal yang belum jalan secara konsisten adalah olahraga ringan, khususnya saat puasa. Dokter Andi Pratama Dharma menyarankan agar IF dibarengi olahraga setelah puasa minimal 10 jam. Pola itu dinyatakan efektif membakar lemak, tapi saya belum bisa menemukan waktu dan tempatnya.

Terlepas dari nasi dan olahraga ringan, IF memang berdampak positif bagi saya, terutama pada lambung. Sejak IF saya lakukan secara konsisten, kondisi lambung saya membaik karena GERD saya tidak sering kambuh seperti sebelum IF. Selain itu, dompet juga lebih sehat. 

Sabtu, 06 Februari 2016

Pengalaman Menyunat Anak di Rumah Sunatan

25 opini
Gambar 1: Suvenir Pasca Sunat
Kali ini saya ingin berbagi mengenai pengalaman menyunat kedua anak laki-laki saya di Rumah Sunatan. Berhubung tulisan ini tentang sunat, saya akan menggunakan kata-kata yang terbilang vulgar. Mohon maaf bila ada yang tidak berkenan membacanya.

Here goes.

Saya menemukan informasi mengenai Rumah Sunatan saat saya googling mencari metode dan harga sunat anak terbaik. Saat itu, saya berasumsi bahwa metode laser adalah metode terbaik untuk sunat anak karena proses sunat dan masa penyembuhannya lebih cepat dari metode sunat yang biasa. Saat saya googling mencari harga sunat laser yang cocok di dompet, saya justru menemukan metode Klamp yang ditawarkan Rumah Sunatan.

Klaim Rumah Sunatan terkait pelayanannya terbilang menarik. Setelah menjelajahi situsnya, bertanya via telepon, mendatangi kantor cabangnya di Serpong, serta mencari informasi terkait Rumah Sunatan dari sumber lain, saya menangkap kesan bahwa metode Klamp yang digunakan memang oye! Proses sunatnya ringkas, tidak perlu dijahit, dan korban anak pun bisa langsung memakai celana dan beraktivitas seperti biasa pasca sunat.

Harga paket sunat anak yang ditawarkan pun masih terjangkau (bagi saya). Rumah Sunatan menawarkan 3 jenis paket sunat anak dengan harga yang berbeda. Perbedaan di antara ketiga jenis paket itu sepertinya hanya pada obat dan peralatan perawatan pasca sunat. Sementara pelayanan terkait proses sunatnya itu sendiri tetap sama untuk ketiganya. Saya sendiri memilih paket sunat anak dengan harga menengah, yaitu Rp. 1.630.000 per anak. Dengan paket tersebut, setiap anak berhak mendapatkan 1x sunat, 1 obat analgesik yang dimasukkan lewat dubur, 1 celana sunat (celana dalam kain yang dilengkapi sejenis batok untuk melindungi penis), dan 1 Kit Perawatan Pasca Khitan (KPPK). Gambar 2 memperlihatkan beberapa isi KPPK seperti NaCl, syringe, obat antibiotik tetes (obat luar), cotton bud, dan beberapa obat yang harus diminum.

Gambar 2: Isi KPPK
Hari H itu pun tiba. Di awal libur sekolah semester 1, saya dan istri saya menyempatkan diri untuk mengantar kedua anak laki-laki kami ke Rumah Sunatan. Mereka sedikit takut saat mereka tahu bahwa mereka akan disunat, tapi setibanya di sana, mereka tambah takut lagi. Atmosfir menyenangkan di Rumah Sunatan, yang dilengkapi dengan arena bermain dan Playstation 4, tidak terlalu membantu. Membujuk mereka untuk tetap mau disunat menjadi tantangan tersendiri.

Pada akhirnya, kedua anak saya tetap mau disunat. Proses sunat setiap anak seharusnya berjalan cepat. Dokter datang, anak disuntik anestesi lokal, tabung Klamp dipasang (sesuai ukuran penis anak), babat! Setelah itu, tabung Klamp dikencangkan. Prosesnya pun selesai. Hal yang memperlambat proses sunat tentu saja anak-anak saya sendiri. Walaupun sudah dimodali iPad dengan pilihan games yang cukup banyak, rasa takut saat disuntik dan disunat tetap mendominasi. Proses sunatnya pun menjadi lebih lama dari seharusnya.

Setelah tabung Klamp dikencangkan, obat analgesik dimasukkan lewat dubur. Anak-anak langsung memakai celana sunat dan celana seperti biasa. Penis anak-anak tidak perlu diperban dan anak-anak tidak perlu repot memakai sarung. Anak-anak pun diberi suvenir berupa bantal berbentuk bola american football (Gambar 1) dan diperbolehkan pulang; tentu saja setelah saya melunasi tagihannya. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa proses sunat di Rumah Sunatan memang bebas repot.

Sayangnya klaim "bisa memakai celana dan bisa langsung beraktivitas seperti biasa" tidak bertahan selama yang saya harapkan. Setelah efek obat analgesik hilang, kedua anak saya langsung merasa tidak nyaman memakai celana, walaupun sudah memakai celana sunat. Beberapa hari pertama pasca sunat, anak-anak saya lebih nyaman memakai sarung. "Sakit kalau kesenggol," begitu kata mereka. Celana sunat mereka lebih sering disimpan ketimbang dipakai. Mereka pun lebih banyak duduk dan mengurangi aktivitas yang biasa mereka lakukan. Salah satu anak saya sempat mencoba bergerak ekstra, tapi setelah bekas luka sunatnya mengeluarkan sedikit darah, dia pun menyerah; atau lebih tepatnya dipaksa menyerah oleh kedua orang tuanya yang khawatir akan muncul masalah yang lebih besar.

Terlepas dari itu, perawatan pasca sunatnya memang tidak merepotkan. Saya dan istri saya tidak perlu repot bolak-balik mengganti perban dan anak-anak saya pun tidak perlu repot menjaga bekas luka sunatnya tidak basah saat mandi atau buang air. Bekas luka sunatnya memang harus dijaga agar tetap higienis dan kering, tapi yang perlu dilakukan hanya sebatas menyemprot NaCl menggunakan syringe dan mengeringkan bagian dalam tabung Klamp dengan cotton bud.

Tabung Klamp dijadwalkan untuk dilepas seminggu setelah sunat. Pada saat itu, bekas luka sunat anak-anak saya tidak terlihat bermasalah. Sayangnya proses sunat, khususnya saat disuntik anestesi lokal, meninggalkan kenangan yang sulit dilupakan oleh anak-anak saya. Akibatnya pelepasan tabung yang simple itu pun menjadi momok dan membujuk mereka untuk tetap mau dilepas tabungnya pun menjadi tantangan tersendiri.

Mau tidak mau, pelepasan tabung itu tetap dilakukan. Pasca pelepasan tabung, anak-anak terlihat semakin leluasa bergerak, tapi mereka minta untuk terus menggunakan celana dalam bahkan saat tidur. Rupanya dengan menggunakan celana dalam, risiko penis dan bekas luka sunat tergesek celana menjadi berkurang sehingga rasa sakit yang terasa di bagian penis pun berkurang. Kondisi seperti itu dirasakan oleh anak-anak saya hingga 2-3 minggu pasca pelepasan tabung sebagaimana perkiraan dokter yang menangani anak-anak saya. Perawatan pasca pelepasan tabung tersebut tetap tidak repot. Satu-satunya perawatan yang perlu dilakukan adalah membalut bekas luka sunat anak-anak menggunakan kasa yang telah diteteskan Betadine sebanyak minimal 3 x 1 menit per hari. Waktu yang ideal untuk melakukan itu adalah setelah anak-anak mandi. Bebas repot, bukan?

Demikian pengalaman menyunat kedua anak saya di Rumah Sunatan. Saya pribadi merasa puas menggunakan jasa Rumah Sunatan. Proses sunatnya terbilang cepat dan perawatan pasca sunat, termasuk perawatan pasca pelepasan tabung, terbilang bebas repot. Dengan metode Klamp, luka bekas sunat tidak perlu dijahit, tidak perlu menggunakan perban, tidak perlu dijaga ekstra kering, dan anak-anak pun tidak perlu repot memegangi sarung ke mana pun mereka pergi. Anak-anak memang tidak otomatis bisa beraktivitas seperti biasa, tapi masalah ini sepertinya sangat bergantung kepada kondisi psikis dan fisik anak-anak saya (tidak berlaku umum). Terlepas dari itu, proses sunat dan perawatan pasca sunat bersama Rumah Sunatan berjalan tanpa kendala yang berarti.

Alhamdulillah.

Senin, 12 Maret 2012

Jangan Meniup Makanan atau Minuman Panas

5 opini
Seperti yang tertera (secara implisit) pada judul, tulisan saya kali ini akan masuk kategori Kesehatan. Jarang sekali saya menulis tentang kesehatan karena saya sendiri memang bukan ahli kesehatan. Tulisan kali ini pun bukan hasil karya saya sendiri, tapi merupakan rangkaian tweet yang saya kutip apa adanya dari akun Twitter @ManJaddaWaJadaa. Berikut ini kutipannya:


Demikian 28 tweet yang saya kutip dari akun Twitter @ManJaddaWaJadaa tentang resiko meniup makanan atau minuman yang masih panas. Bagi pembaca yang merasa bahwa informasi ini tidak benar atau bahkan menyesatkan, harap meninggalkan komentar disertai bukti atau penjelasan yang relevan. Terlepas dari itu, semoga kompilasi tweet di atas dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Kamis, 03 Maret 2011

Memberi Makan Anak Tanpa Repot

0 opini
Berikut adalah 6 kebiasaan makan anak-anak yang tidak menyenangkan dan tidak sehat dan cara-cara mengatasinya. Hal yang juga perlu diingat adalah makanan sebaiknya digunakan sebagai makanan, bukan sebagai hadiah atau hukuman. Dalam jangka panjang, makanan yang dijadikan imbalan atau suap biasanya menciptakan lebih banyak masalah ketimbang menjadi solusi.

Tantangan dalam Memberi Makan Anak dan Solusinya

Pilih-pilih Makanan: Hanya mau satu jenis makanan setiap kali makan

Solusi: Biarkan anak makan apa yang dia inginkan selama jenis makanan yang dia pilih itu sehat. Pastikan anak merasa lapar saat makan dan tawarkan makanan lain selain makanan pilihan dia. Tetap tawarkan makanan pilihan anak selama dia menginginkannya. Setelah beberapa hari, anak mungkin akan mencoba makanan lain. Pola makan seperti ini jarang berlangsung cukup lama untuk menyebabkan masalah lainnya.

Mogok Makan: Menolak makanan yang ada; dapat berakibat short-order cook syndrome*

Solusi: Pastikan anak lapar ketika waktu makan datang. Jangan tawarkan jus, minuman manis, atau makanan ringan terlalu dekat dengan waktu makan. Sediakan roti gandum atau roti lainnya serta buah saat anak-anak makan, sehingga ada berbagai pilihan yang mungkin anak suka. Kita harus bersikap mendukung pilihan anak, tapi juga menentukan batasan yang diperlukan. Jangan takut untuk membiarkan anak kelaparan jika ia tidak mau makan apa yang disajikan.

Kebiasaan Menonton TV: Ingin menonton TV pada waktu makan

Solusi: Matikan TV. Menonton TV saat makan akan mengganggu interaksi dalam keluarga dan pola makan anak. Hargai waktu yang dihabiskan bersama saat makan. Seringkali ini adalah satu-satunya waktu di siang hari saat keluarga bisa berkumpul bersama-sama.

Para Pengeluh: merengek atau mengeluh tentang makanan yang disajikan

Solusi: Pertama minta anak untuk makan makanan lain yang disajikan. Jika anak menolak, minta anak pergi ke kamarnya atau duduk tenang jauh dari meja makan sampai waktu makan selesai. Jangan biarkan dia membawa makanan, ikut makan makanan pencuci mulut, atau makan makanan apa pun sampai waktu makan berikutnya atau sampai waktu makan kudapan.

The Great American White Diet: Makan hanya roti, kentang, makaroni dan susu

Solusi: Hindari menekan anak untuk makan makanan lain. Memberi perhatian berlebihan pada kebiasaan makan seperti ini hanya memperkuat keinginan anak untuk membatasi makanan. Terus tawarkan berbagai jenis makanan dari semua kelompok makanan. Dorong anak untuk merasakan biji-bijian serta makanan merah, oranye, dan hijau. Pada akhirnya anak akan pindah ke makanan lain.**

Takut Makanan Baru: Menolak mencoba makanan baru

Solusi: Terus perkenalkan dan perkuat dorongan terhadap jenis makanan baru dari waktu ke waktu. Mungkin diperlukan banyak percobaan sebelum anak siap untuk mencicipi makanan baru ... dan banyak mencicipi sebelum anak benar-benar menyukainya. Sebuah titik awal yang baik adalah meminta anak untuk memperbolehkan sedikit jenis makanan baru untuk ditaruh di piringnya. Jangan paksa anak untuk mencoba makanan baru. Perlu juga diingat bahwa Anda (orang tua) adalah panutan. Jadi pastikan anak Anda melihat Anda menikmati makanan baru tersebut.

Catatan: Jangan memberi makan anak-anak yang masih kecil lebih dari 4 suapan makanan pada kecuali makanan tersebut dicincang sepenuhnya. Makanan berikut menimbulkan resiko tersedak: kacang-kacangan dan biji, potongan daging atau keju, hot dog, anggur utuh, potongan buah (seperti apel), popcorn, sayuran mentah, permen yang keras dan lengket, serta permen karet. Selai kacang bisa menimbulkan resiko tersedak untuk anak-anak di bawah umur 2 tahun.

--
Diterjemahkan dari Hassle-Free Meal Time, http://www.healthychildren.org/English/healthy-living/nutrition/pages/Hassle-Free-Meal-Time.aspx, diakses tanggal 3 Maret 2011.

* Informasi lebih lanjut tentang short-order cook syndrome:
** Agak sulit menerjemahkan bagian The Great American White Diet. Pada dasarnya kebiasaan ini adalah kebiasaan makan makanan netral (tanpa rasa) seperti susu yang netral atau nasi. Solusinya adalah tetap membiarkan anak makan makanan netral tersebut sambil menawarkan jenis makanan lain.

Kamis, 14 Oktober 2010

Geraham Bungsu, Bubur, dan Abon

10 opini
Akhirnya jahitan hasil operasi pencabutan gigi geraham bungsu saya pun dilepas. Hari-hari bersama bubur dan abon pun akhirnya secara resmi berlalu. Gigi geraham bungsu sebelah kiri bawah saya tidak lagi menjadi sumber masalah. Saat ini saya hanya perlu menunggu rasa tidak nyaman dalam mulut saya menghilang sedikit demi sedikit.

Saya memutuskan mencabut gigi geraham bungsu sebelah kiri saya karena gigi tersebut diduga menjadi penyebab rasa sakit gigi yang sesekali muncul belakangan ini. Gigi itu sebenarnya sudah lama tumbuh mendatar ke arah depan, tapi saya tidak menggubrisnya. Sebelumnya saya memang tidak mengalami masalah dengan gigi saya itu. Setelah saya mengambil rontgen panoramik untuk gigi saya. Terlihat bahwa gigi geraham bungsu sebelah kiri itu sudah mulai merusak gigi geraham di depannya.

Proses pencabutan gigi geraham bungsu itu saya lakukan di Poli Bedah Mulut Rumah Sakit Umum (RSU) Tangerang. Alasan utama saya memilih RSU Tangerang adalah biaya. Harapan saya dengan bermodal Askes, saya hanya perlu membayar biaya operasi sekitar 300 s.d. 500 ribu rupiah. Ternyata yang harus saya bayar adalah 550 ribu rupiah. Angka itu sudah bersih karena obat-obatan ditanggung penuh oleh Askes. Saya tetap bersyukur bahwa saya tidak perlu mengeluarkan uang sampai jutaan untuk operasi ini.

Persiapan sebelum operasi tidak ada sama sekali. Mungkin yang perlu dipersiapkan adalah mental kita sebelum operasi. Jangan sampai hati kita ciut di tengah jalan setelah melihat jarum suntik, bor, dan berbagai peralatan bedah mulut lainnya. Seorang teman yang pernah menjalani operasi yang sama sempat bercerita bahwa dia disarankan untuk makan terlebih dahulu sebelum operasi. Hal itu dilakukan agar pasien memiliki waktu toleransi yang lama untuk tidak makan/minum setelah operasi. Sayangnya teman saya ini bercerita setelah saya menjalani operasi itu.

Alhamdulillah operasi berjalan lancar. Kendalanya hanya satu, yaitu saat saya merasa mual dan ingin muntah. Saya sendiri memang mudah mual dan membuka mulut dalam waktu yang lama serta rasa ngilu saat dibor benar-benar memicu rasa mual. Cara mengatasinya adalah dengan bernafas lewat hidung dan mencoba mengalihkan pikiran ke tempat lain. Salah satu dokter yang mengawasi sampai mengajak saya ngobrol untuk membantu mengalihkan pikiran saya.

Operasinya berlangsung cukup lama. Dokternya mengatakan hal itu disebabkan karena giginya terlalu besar sehingga tidak mudah diangkat. Giginya harus dipotong-potong dulu -ini alasannya kenapa perlu bor- sebelum dicabut. Jadi operasi saya yang lama itu masih wajar. Setelah gigi geraham bungsu saya berhasil dicabut, gusi saya pun dijahit. Setelah jahitan selesai, saya diminta menggigit kain kasa yang sudah dicelup bahan sejenis Betadine. Operasi pun selesai dan saya diperbolehkan pulang -untung tidak perlu rawat inap.

Yang kurang mulus dari keseluruhan proses operasi pencabutan geraham bungsu ini justru terjadi pada tahap penyembuhan. Dua hari setelah operasi, pendarahan kecil masih terjadi. Akhirnya saya kontrol kembali ke RSU Tangerang. Setelah konsultasi disimpulkan bahwa kemungkinan besar kelalaian ada pada pihak saya sendiri. Sepertinya saya terlalu sering berkumur sehingga luka pasca operasi itu sulit mengering. Dokter bedah mulut akhirnya memberikan resep obat untuk membantu menghentikan pendarahan.

Akhirnya semua beres dan saat ini jahitannya pun sudah dilepas. Setelah jahitan dilepas, perawat di Poli Bedah Mulut itu mengingatkan bahwa rasa tidak nyaman yang saya rasakan pasca operasi mungkin bertahan sampai satu bulan. Sepertinya saya akan menunggu rasa tidak nyaman itu hilang sebelum saya memutuskan untuk mencabut gigi geraham bungsu saya yang sebelah kanan.

--
Informasi lebih lanjut mengenai pencabutan gigi geraham bungsu: Gigi Geraham Bungsu, Perlukah Dicabut?

Rabu, 03 Maret 2010

Hidup Bersama Gejala Tipus

0 opini
Februari 2010 adalah bulan paling "menyakitkan" dalam hidup saya sampai saat tulisan ini dibuat. Saya sebut "menyakitkan" karena pada bulan itu saya menghabiskan 17 hari untuk beristirahat akibat sakit. Kronologisnya agak panjang karena gejala pertama dimulai pada hari Jumat, 29 Januari 2010.

Pada hari Jumat itu, saya merasakan suhu badan meningkat secara signifikan. Namun saya masih bisa bertahan di kantor hingga akhir jam kerja (jam 5 sore). Rasa tidak enak badan itu terus bertahan hingga Senin, 1 Februari 2010. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak masuk kerja dan beristirahat dengan harapan kondisi badan akan membaik.

Selasa, 2 Februari 2010, kondisi badan tetap tidak membaik. Saya memutuskan untuk berobat ke dokter umum di RS Qadr (Tangerang). Setelah melakukan tes darah, dokter menyimpulkan bahwa saya terkena gejala tipus. Saya diminta istirahat selama 3 hari hingga hari Kamis, 4 Februari 2010. Alhamdulillah hari Jumat, 5 Februari 2010, saya sudah bisa bekerja kembali. Sayangnya saya masih merasa kondisi badan belum sepenuhnya membaik. Akhirnya Jumat malam saya memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter spesialis penyakit dalam di RS Harapan Bunda (Pasar Rebo).

Dokter spesialis penyakit dalam meresepkan beberapa obat yang perlu saya minum dan meminta saya untuk beristirahat selama 10 hari. Akhirnya saya memulai istirahat di rumah dari tanggal 9 Februari 2010 hingga 18 Februari 2010. Jumat, 19 Februari 2010, saya kembali masuk kerja. Saya masih merasa kondisi badan saya belum membaik 100%. Jumat malam saya kembali mengunjungi dokter spesialis penyakit dalam yang sama di RS Harapan Bunda. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter kembali menyarankan istirahat di rumah selama 10 hari atau rawat inap selama lebih kurang 5 hari.

Terselip sedikit rasa tidak nyaman di hati saat saya harus lagi-lagi meminta ijin tidak masuk kantor karena sakit dengan jumlah hari yang tidak sedikit. Saya pikir kalau memang saya perlu beristirahat selama 10 hari, sebaiknya saya memilih rawat inap agar pengobatan saya bisa optimal. Harapan saya tentunya dengan rawat inap itu penyakit saya bisa sembuh total.

Akhirnya saya merencanakan memulai rawat inap pada hari Jumat, 26 Februari 2010. Saya sengaja memilih long weekend itu untuk menghemat jumlah hari ijin dari kantor. Kenyataannya pada hari Kamis, 25 Februari 2010, suhu badan saya lagi-lagi meningkat. Kamis malam saya sudah berobat lagi ke dokter. Kali ini saya berobat ke bagian Gawat Darurat di RS Omni International.

Setelah dipastikan saya terkena gejala tipus lewat hasil laboratorium. Dokter jaga di bagian Gawat Darurat malah menyarankan saya rawat jalan saja dulu. Namun setelah dokter itu mengetahui apa yang saya paparkan di atas, akhirnya dokter jaga itu merujuk saya ke bagian rawat inap agar dapat diperiksa lebih lanjut. Bisa jadi penyebab turunnya kondisi badan saya bukan disebabkan oleh gejala tipus. Pada saat itu, kata "tuberculosis" sempat terbersit dalam pikiran saya. Saya baru sadar bahwa sejak tanggal 29 Januari itu saya mengidap batuk yang tidak pernah benar-benar sembuh. Kamis, 25 Februari, itu pun suhu badan saya meningkat seiring dengan kambuhnya batuk.

5 hari saya dirawat di RS Omni International terhitung dari tanggal 26 Februari 2010 hingga tanggal 2 Maret 2010. Infus dipasang di tangan kiri saya mulai masuk sampai keluar dari rawat inap. Antibiotik disuntikan langsung melalui selang infus. Hasil rontgen thorax tidak menunjukan gejala-gejala yang negatif. Itu artinya saya tidak mengidap tuberculosis atau penyakit pernapasan lainnya.

Pada awalnya saya hanya diperiksa oleh dokter spesialis penyakit dalam. Setelah beberapa hari saya mengadukan masalah batuk dan pilek yang tidak kunjung sembuh. Akhirnya saya dirujuk ke dokter spesialis THT (Telinga Hidung Tenggorokan). Dokter spesialis THT menemukan ada produksi lendir di bagian hidung yang menyebabkan benjolan-benjolan di bagian tenggorokan sehingga bagian tenggorokan pun ikut memproduksi lendir. Produksi lendir di bagian tenggorokan itu yang menyebabkan batuk.

Akhirnya saya harus meminum obat yang diresepkan oleh kedua dokter tersebut. Alhamdulillah obat-obat tersebut tepat guna. Saya merasa batuk dan pilek saya berkurang dan kondisi tubuh berangsur-angsur membaik. Rujukan ke dokter spesialis THT merupakan langkah yang tepat. Tanpa analisa dari dokter spesialis THT itu, masalah batuk dan pilek saya pasti akan terus ada sampai rawat inap saya selesai.

Hari ini, Rabu, 3 Maret 2010, saya sudah keluar dari rawat inap, membawa banyak obat-obatan, dan sedang menjalani jumlah hari rawat tambahan yang diberikan dokter sampai akhir minggu ini. Semoga saja minggu depan kondisi saya sudah sehat kembali dan saya tidak perlu lagi meminta ijin dari kantor akibat sakit dengan jumlah hari yang tidak sedikit.