Senin, 17 Juli 2023

Berburu SMA

0 opini

Melihat kembali perjalanan pendaftaran sekolah anak-anak dari SD, SMP, sampai SMA di tahun ini, indikasi kecurangan itu tetap ada. Sampai kapan, ya?

Berburu SD

Sembilan tahun yang lalu, saat berburu SD, prosedur pendaftarannya sederhana, tapi hasil pendaftarannya kurang transparan. Anak-anak saya tidak diterima di 3 sekolah dengan alasan jarak atau usia, tapi berhubung ada kabar "uang pelicin" untuk diterima, saya tidak terlalu percaya.

Saya tidak mau repot-repot mencari bukti dan memperjuangkan agar anak-anak saya diterima di 3 sekolah itu. Cari yang dekat saja, walaupun kualitasnya pas-pasan. Pada akhirnya, walaupun sedikit lebih repot, anak-anak saya berhasil mendapatkan sekolah.

Berburu SMP

Enam tahun kemudian, saat daftar SMP, prosesnya lebih sederhana dan lebih mudah karena dilakukan secara daring. Kriteria penerimaannya juga mudah dipahami dan hasilnya cukup transparan. Kondisinya seperti bumi dan langit bila dibandingkan dengan pendaftaran SD yang lalu.

Walaupun begitu, sistem zonasi memang menjadi momok. Lokasi sekolah yang tidak merata membuat banyak calon siswa tersingkir, termasuk anak-anak saya. Itu alasannya kenapa banyak orang tua rela memindahkan anak mereka ke kartu keluarga (KK) yang lokasinya dekat sekolah.

Kami beruntung karena saat itu ada jalur pendaftaran tahap 2 berbasis prestasi. Posisi anak-anak saya tetap mengkhawatirkan, tapi berakhir baik. Walaupun mereka tidak memiliki prestasi gemilang, nilai rata-rata mereka masih cukup untuk mengamankan kursi di salah satu SMP negeri.

Terlepas dari happy ending itu, mekanismenya perlu diperbaiki. Sistem zonasi, misalnya, bisa mendorong orang mengatur KK untuk anak mereka. Prestasi anak juga bisa saja diatur dengan nilai-nilai di sekolah sebelumnya. Dari 2 hal itu, mekanisme zonasi yang paling berisiko.

Berburu SMA Negeri

Di pendaftaran SMA baru-baru ini, kondisi itu terbukti. Ada siswa yang rumahnya hanya berjarak 7 meter dari sekolah. Ada sekelompok siswa yang jarak tempat tinggalnya sama persis dari SMA yang sama. Ada juga yang mengaku terdaftar di jalur zonasi lewat "orang dalam".

Kuota di jalur zonasi memang sangat banyak. Tidak heran kalau para orang tua akhirnya "memaksa" untuk masuk lewat jalur itu. Kalaupun mereka mengatur KK, aturannya memang membolehkan, terlepas dari kasus absurd seperti jarak 7 meter atau sekelompok siswa yang ada di KK yang sama.

Anak-anak saya memang tidak mungkin terdaftar di jalur zonasi karena pasti kalah bersaing. Kami hanya mengandalkan jalur prestasi. Sayangnya kuota jalur prestasi itu jauh lebih sedikit dari kuota zonasi. Alhasil nilai rata-rata 86,68 mereka gagal mengamankan kursi.

Saya akhirnya mendaftarkan anak-anak saya ke salah satu SMA Muhammadiyah. Mereka sudah diterima dan, saat tulisan ini dibuat, sudah mulai sekolah. Namun, lucunya eksekusi sistem pendaftaran SMA ini masih menjadi topik yang hangat di tengah keluarga.

Anak-anak saya menyaksikan sendiri kecurangan yang dilakukan orang demi mendapatkan sekolah negeri. Mereka juga melihat langsung kecurangan itu seperti dibiarkan oleh pihak yang berwenang. "Percuma saja ada verifikasi," keluh salah satu anak saya. Kami semua hanya bisa tertawa.

Semoga saja kondisinya terus membaik. Semoga hal-hal konyol di jalur zonasi bisa digerus sampai habis. Semoga kuota jalur prestasi ditambah. Semoga prestasi di tingkat sekolah bisa diperhitungkan. Semoga kecurangan di proses pendaftaran sekolah dapat diminimalkan.

Berlaku curang saat daftar sekolah itu ironis. Masak untuk diterima di sekolah negeri harus "mengakali" KK atau masih lewat orang dalam? Kalau masih begitu, untuk apa ada sistem pendaftaran elektronik? Lagi pula, didikan apa yang mau kita tanamkan di dalam diri anak-anak kita?

Di balik semua itu, ada pelajaran yang bisa diambil. Anak-anak saya jelas mendapat pelajaran soal pentingnya disiplin dan rajin. Mereka disadarkan bahwa kegagalan mereka, walaupun ada pihak lain yang bisa disalahkan, adalah karena kemalasan mereka sendiri.

Beralih ke SMA Swasta

Kami juga mendapat kesempatan berbaik sangka pada Yang Maha Kuasa. Walaupun tidak masuk sekolah negeri, kami tetap bersyukur ditunjukkan jalan menuju SMA yang islami. Bukan tidak mungkin memang ini jalannya untuk membentuk karakter yang lebih baik dalam diri anak-anak kami.

Tidak bisa dipungkiri bahwa jalan menuju SMA Muhammadiyah itu seperti dibukakan untuk kami. Dari gagal masuk sekolah negeri, ada yang tiba-tiba mengarahkan ke SMA Muhammadiyah, sampai uang juga cukup untuk menutupi biaya pendaftaran. Apa itu istilahnya, "semesta mendukung", ya?

Last but not least, hidup harus jalan terus dan terus lurus. Kecurangan harus dihindari karena memang itu jalan hidup yang diridai Allah Swt. Jangan sampai kecurangan yang kita anggap kecil berbalik menjadi masalah di masa depan, apalagi di akhirat. Na'uudzubillaahi.

Jumat, 07 Juli 2023

Esensi Esai untuk Seleksi Beasiswa LPDP

0 opini

Keberuntungan saya dalam esai untuk Seleksi Beasiswa LPDP belum tentu dirasakan banyak orang. Tidak semua orang "kebetulan" memiliki tulisan yang siap untuk dijadikan esai, kan? Bukan tidak mungkin banyak orang di luar sana yang mengalami kesulitan ekstra dalam penyusunan esai.

Beberapa orang yang lulus Seleksi Beasiswa LPDP mengakui urusan esai itu menantang. Setiap orang, sesuai cerita mereka, memiliki tantangan masing-masing saat menyusun komitmen dan rencana pasca studi mereka. Namun, semuanya terlihat memiliki keaslian dan kematangan yang sama.

Keaslian dan kematangan itu akan digali saat wawancara, tapi esai menjadi titik awal yang penting. Esai itu membentuk cerita yang akan disajikan kepada para pewawancara. Esai itu tentunya berisi perjalanan yang telah dilakukan dan "itinerary" untuk perjalanan di masa depan.

Ceritanya juga harus diarahkan ke hal-hal yang berdampak positif bagi banyak pihak. Saya, misalnya, bercerita mengenai workshop Agile untuk rekan-rekan ASN dan menulis buku ASN Juga Bisa Agile. Walaupun sifatnya terbatas, banyak pihak yang ikut merasakan manfaatnya.

Kalau esai bisa diarahkan seperti itu, penyusunannya akan lebih mudah. Bagian "komitmen" dapat diisi dengan komitmen untuk meneruskan apa yang sudah dibangun lewat kontribusi yang lampau. Di situ, rencana pasca studi atau kontribusi seharusnya akan keluar dengan sendirinya.

Peran studi kita kelak juga akan lebih mudah untuk dijelaskan. Saya, misalnya, berkomitmen untuk terus menjaga agar Rinkas tetap hidup. Topik riset yang saya pilih adalah Agile. Riset itu berperan besar untuk memperkuat kompetensi saya sebagai praktisi Agile dalam Rinkas.

Benang merahnya terlihat, kan?

Pada intinya, esai itu dimulai dari diri penulisnya. Jelaskan siapa dirinya, kompetensinya, lalu kontribusinya. Selanjutnya jelaskan visinya yang selaras dengan kontribusinya. Di tengah-tengah, sisipkan peran studi yang ingin diambil dalam rencananya di masa depan. Itu saja.

Sederhana, tapi tidak mudah.

Senin, 03 Juli 2023

Pengalaman Membuat Proposal Riset untuk Seleksi Beasiswa LPDP

0 opini

Dari semua persyaratan yang perlu disiapkan untuk Seleksi Beasiswa LPDP, proposal riset adalah hal yang paling menantang. Tidak seperti esai yang hakikatnya "hanya" bercerita, uraian di dalam proposal riset harus ilmiah. Alur ceritanya harus ditunjang referensi yang kuat.

Untuk S3, tantangannya lebih berat lagi karena topik riset kita harus lebih luas dari riset S2. Selain itu, kita dituntut untuk menemukan sesuatu yang baru lewat riset S3. Definisi "baru" itu, berdasarkan pemahaman saya saat ini, dinilai dari referensi yang kita gunakan.

Referensi dalam proposal riset bisa diibaratkan sebagai pijakan untuk melompat ke depan. Kalau pijakan yang kita gunakan tidak kuat, lompatan kita tidak akan jauh. Bukan hanya itu, pijakan yang rapuh mungkin saja membuat kita GAGAL melompat karena pijakannya ambruk lebih dulu.

Pijakan yang rapuh itu membuat saya gagal di Seleksi Beasiswa LPDP Tahap 2 Tahun 2022. Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, referensi di dalam proposal pertama saya memang lemah. Saya hanya mencantumkan 1 jurnal sehingga pijakan riset saya benar-benar terlihat lemah.

Rasanya ingin menertawakan diri sendiri.

Dari kejadian itu saya belajar. Tidak lama setelah wawancara di Tahap 2 Tahun 2022, saya perbanyak referensi. Kajian pustaka untuk proposal riset saya perdalam. Satu per satu publikasi ilmiah internasional saya tambahkan. Referensi non-publikasi juga saya buat seminimal mungkin.

Waktu saya terbatas karena saya harus segera menyelesaikan proposal riset saya untuk mendaftar di Seleksi Beasiswa LPDP Tahap 1 Tahun 2023. Walaupun begitu, hasilnya cukup baik. Referensi berupa publikasi di dalam proposal riset saya meningkat drastis dari 1 menjadi belasan.

Seiring dengan bertambahnya referensi, isi proposal saya juga berubah. Analisis dalam proposal terasa lebih "nendang". Hal "baru" yang ingin saya temukan lewat riset semakin terlihat. Dapat dikatakan bahwa proposal riset saya mengalami peningkatan kualitas yang signifikan.

Walaupun proposal itu saya susun untuk Seleksi Beasiswa LPDP, dampak positifnya saya rasakan juga dalam mencari prospek kuliah S3. Saya menjadi lebih percaya diri saat mengontak para profesor di kampus-kampus yang saya minati. Saya memang merasa isi proposal saya lebih berbobot.

Dalam proses memperbaiki proposal itu, saya juga menggunakan publikasi yang penulisnya ada di salah satu kampus incaran saya. Saat saya menghubungi profesor itu, saya sebutkan juga publikasinya. Isi email yang saya kirim menjadi lebih spesifik karena menyebut hasil karyanya.

Dibandingkan sebelumnya, proposal saya menarik lebih banyak respons. Responsnya bervariasi dari yang berminat, tapi tidak bisa menampung PhD student baru, sampai yang berminat dan mengajak diskusi lebih lanjut. Yang mengajak diskusi adalah profesor yang publikasinya saya kutip.

Dari profesor itu, prosesnya diarahkan ke kampus. Beliau meminta saya tetap mendaftar dulu di kampus tujuan agar kelayakan saya dinilai langsung oleh bagian administrasi kampus. Saya menerima lampu hijau dan diskusi saya bersama profesor dapat diteruskan lebih dalam lagi.

Kondisi itu benar-benar menguntungkan bagi saya karena semua itu terwujud sebelum wawancara di Seleksi Substansi (Beasiswa LPDP). Wawancara itu lebih lancar dari tahap sebelumnya. Perbaikan di sisi proposal dan respons dari profesor itu membuat wawancara saya "lebih meyakinkan".

Ada satu hal yang membuat saya tetap waswas. Salah seorang pewawancara mengatakan bahwa mayoritas referensi saya berisi fringe journal. Untungnya saya bisa menjelaskan bahwa hal itu akan saya perbaiki karena saya mendapat akses ke berbagai publikasi yang kredibel dari kampus.

Singkat cerita (di tulisan yang ekstra panjang ini), saya lulus seleksi. Seleksi Substansi yang terlihat sulit itu berhasil saya lewati. Upaya memperbanyak literatur untuk saya kutip membuahkan hasil positif. Kampus yang saya kejar juga memberikan respons positif. Alhamdulillah.

Soal wawancara, sebenarnya masih ada hal menarik lain karena isinya bukan hanya soal proposal riset. Di tengah proses seleksi juga ada Seleksi Bakat Skolastik yang juga tidak kalah menantang. Saya coba ceritakan di tulisan berikutnya, ya. Insyaa Allaah.

Sabtu, 01 Juli 2023

Pengalaman Membuat Esai Untuk Seleksi Beasiswa LPDP

0 opini

Setelah IELTS, ada esai. Setiap orang yang mendaftar Seleksi Beasiswa LPDP, termasuk saya, harus membuat esai yang berisi rencana studi dan kontribusi di masa depan. Semua itu perlu kita jelaskan dalam konteks berkomitmen untuk kembali ke Indonesia dan terus berkontribusi.

Sebenarnya, dibandingkan dengan IELTS, membuat esai ini justru lebih sulit. Namun, lagi-lagi saya beruntung karena pernah membuat tulisan yang panjang mengenai kontribusi dan mimpi saya dalam penerapan Agile di pemerintahan. Kata kuncinya adalah Pemerintah Tangkas.

Target 1.500-2.000 untuk esai dapat saya penuhi dengan mudah karena tulisan saya mengenai Pemerintah Tangkas (Rinkas) memang sepanjang itu. Saya hanya perlu mengubah sudut pandang tulisan dari komunitas ke pribadi. Struktur dan isinya secara fundamental tidak perlu saya ubah.

Struktur esai yang saya buat cukup sederhana. Saya buka dengan menceritakan berbagai pengalaman saya menerapkan Agile sejak tahun 2015. Saya lanjutkan dengan menjelaskan apa itu Rinkas dan apa visinya. Saya juga ceritakan peran dan pencapaian Rinkas di dalam esai itu.

Berhubung saya aktif di Rinkas, mudah bagi saya untuk memposisikan diri saya di setiap bagian dalam cerita Rinkas. Saya juga tambahkan cerita tentang komunitas praktisi/peminat Agile di pemerintahan dan gambaran Agile yang Agnostik. Tujuannya agar ceritanya menjadi lebih utuh.

Esai saya tutup dengan komitmen untuk meneruskan apa yang sudah saya mulai. Saya juga tekankan bahwa topik riset saya juga selaras dengan cita-cita itu. Esai itu saya tutup dengan menunjukkan keselarasan antara kontribusi yang telah lalu dengan rencana saya di masa depan.

Saya sendiri tidak tahu seberapa besar pengaruh esai itu terhadap hasil akhir Seleksi Substansi. Namun, kalau memang keaslian yang dicari, sepertinya praktisi Agile di pemerintahan memang belum banyak. Peran saya yang cukup signifikan di Rinkas ikut memperkuat keaslian itu.

Kalau dilihat dari kaitannya dengan bangsa dan negara, isi esai saya sudah terkait cukup erat. Peran saya dalam penerapan Agile adalah sebagai ASN. Tujuannya untuk membangun layanan yang berkualitas di instansi tempat saya bekerja. Dampak positifnya akan dirasakan masyarakat.

Rinkas, dengan konteks yang lebih luas dari tempat kerja saya, juga tidak jauh dari pemerintahan. Lewat Rinkas, saya juga ingin melihat peningkatan kualitas layanan di instansi lain di luar tempat saya bekerja. Dampak positifnya tentu akan dirasakan oleh lebih banyak pihak.

Mungkin esai seperti itu yang perlu disiapkan para pemburu Beasiswa LPDP. Esai itu perlu diisi dengan riwayat kontribusi yang relevan dengan rencana di masa depan. Dengan begitu, esainya akan berisi cerita yang berkelanjutan dengan studi S2/S3 sebagai salah satu katalisatornya.

Oleh karena itu, menurut saya, akan lebih baik kalau proposal riset yang dibuat juga selaras dengan esai. Keselarasan itu menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan memang memiliki visi yang jelas terkait studinya. Bukan hanya studi yang dipikirkan, tapi juga manfaat studi itu.

Proposal riset adalah salah satu persyaratan untuk melanjutkan studi S3 dengan Beasiswa LPDP. Seluk-beluk mempersiapkan proposal juga menarik untuk dibahas, tapi tentu saja terlalu panjang untuk diteruskan di sini. Saya ceritakan di tulisan selanjutnya saja, ya. Insyaa Allaah.