Tahun ini adalah tahun pertama saya mulai mencari beasiswa untuk S2. Sebelumnya saya hanya berpikir bagaimana cara mendapatkan pekerjaan dengan gaji paling tinggi. Sama sekali tidak terbersit pikiran untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Ada beberapa alasan yang membuat pikiran untuk S2 itu muncul dan semua itu berakar pada kenyataan bahwa saya sudah bekerja menjadi PNS (Pegawai Nyari Sampingan). Dengan menjadi PNS, pikiran untuk pindah kerja semakin berkurang. Saya sendiri sudah lelah menjadi kutu loncat; pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Saya ingin meniti karir sehingga saya tidak melulu menjadi kuli; walaupun dengan bayaran tinggi.
Tanpa perlu menjadi kutu loncat, saya mulai berpikir mengembangkan keahlian saya ke arah yang strategis. Yang dimaksud dengan keahlian strategis itu salah satunya adalah dengan pendidikan S2. Selain itu, S2 ini pun memperbesar kemungkinan saya naik tingkat dalam hirarki jabatan. Tingkat pendidikan seorang PNS menjadi hal yang penting dalam menentukan jabatan; suka atau tidak.
Yang agak njelimet adalah saya tidak bisa sembarangan memilih tawaran beasiswa S2. Setelah konsultasi dengan berbagai pihak, saya akhirnya memilih menunggu tawaran beasiswa S2 yang datang lewat Bagian Kepegawaian instansi tempat saya bekerja. Kalau saya memaksa ikut serta seleksi beasiswa S2 dari luar instansi, saya akan kesulitan mengurus ijin tugas belajar dan mengurus pengakuan gelar yang saya raih kelak. Saya sendiri tidak bisa membayangkan besarnya "kesulitan" ini, tapi saya memilih jalur aman saja.
Tahun ini, ada beberapa tawaran beasiswa yang datang, yaitu dari KOICA, JICA, ADS, dan World Bank. Saya yakin para pemburu beasiswa sudah familiar dengan lembaga-lembaga tersebut. Yang saya pilih adalah yang pertama datang, yaitu dari KOICA. Program yang ditawarkan pun ada yang, menurut saya, beririsan dengan kompetensi saya sebagai tenaga IT, yaitu Global e-Policy and e-Government.
Pilihan ini membawa beberapa konsekuensi. Saya harus pontang-panting mengurus berkas dalam waktu singkat. Ijazah dan transkrip bahasa Inggris harus segera saya urus ke kampus. Saya pun harus segera mendapatkan skor TOEFL ITP. Setiap kendala, yang (untungnya) tidak akan saya paparkan di sini, akhirnya dapat saya lewati dan berkas persyaratan beasiswa pun dapat saya serahkan pada waktunya.
Rupanya KOICA ini termasuk tawaran beasiswa dengan resiko tinggi. Resiko yang saya maksud adalah resiko gagal. Kuota program yang saya ikuti hanya 20 orang; dari seluruh dunia. Dari 20 orang tersebut, hanya 1-2 orang saja yang dipilih dari setiap negara. Resiko gagalnya sangat tinggi. Saya harus bersaing dengan pentolan-pentolan internasional untuk menjadi bagian dari 20 orang tersebut.
Saya berhasil terpilih sampai tahap wawancara. Tahap wawancara itu sendiri hanya menyisakan dua kandidat termasuk saya. Pada akhirnya, saya gagal. The not-so-painful side of the story adalah saya masuk waiting list. Rupanya Allah belum berkenan mengijinkan melanjutkan pendidikan di Korea untuk alasan yang saya sendiri tidak mengerti sepenuhnya.
Harapan saya untuk diterima itu sebenarnya sangat tinggi. Ada tiga alasan mendasar mengapa saya begitu berharap dapat lolos di beasiswa KOICA kali ini. Pertama, saya dapat berangkat tahun ini. Kalau saya lolos, saya akan berangkat ke Korea akhir Juli ini. Saya pun lebih tenang meninggalkan keluarga saya saat anak-anak saya masih berusia 3 tahun. Mereka belum perlu sekolah sehingga saya berharap istri saya tidak terlalu repot mengurus mereka berdua.
Kedua, program S2 yang ditawarkan hanya satu tahun. Saya memang tidak ingin berlama-lama belajar. Saya termasuk tipe orang yang lebih memilih belajar sebentar untuk segera dilanjutkan dengan implementasi. Dengan begitu, ilmu yang saya peroleh lebih membekas. Saya pun tidak perlu meninggalkan keluarga saya terlalu lama. Istri saya pun merasa tidak perlu nyusul ke Korea kalau hanya ditinggal selama 1 tahun. Ketiga, saya dapat mewujudkan cita-cita saya untuk menambah katalog bahasa asing yang saya kuasai. Alasan terakhir ini memang tidak terlalu penting.
Dengan harapan yang tinggi, maka kekecewaan yang hadir akibat kegagalan pun sama tingginya. Hidup saya memang jalan terus, tapi rasa kecewa ini agak sulit pergi. Saya jadi teringat saat saya mengikuti proses seleksi penerimaan pegawai Bank Indonesia. Saat itu, saya mengikuti seleksi penerimaan pegawai untuk MLE (bukan PCPM). Seperti dengan beasiswa KOICA ini, saya pun gagal di tahap wawancara. Gagal di tahap wawancara penerimaan pegawai MLE ini pun dapat dikatakan sama sakitnya.
Saat ini saya menunggu tawaran beasiswa berikutnya dari Bagian Kepegawaian. Tawaran beasiswa dari ADS, JICA, dan World Bank untuk tahun ini terpaksa saya lewati karena saya tidak diperbolehkan mengikuti lebih dari 1 seleksi beasiswa pada saat yang sama. Kelihatannya tawaran beasiswa berikutnya yang dapat saya ikuti akan datang tahun depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar