Jumat, 20 Mei 2011

Anakku Bukan Milikku

Seorang anak dititipkan kepada kita untuk kita jaga, kita rawat, dan kita didik agar tumbuh menjadi pribadi yang shaleh dan mampu memberikan manfaat.
Menegaskan kepada diri kita bahwa anak kita bukanlah milik kita adalah hal yang sulit karena setiap manusia memiliki kecenderungan untuk menumbuhkan rasa kepemilikan. Hanya saja seorang anak pada dasarnya adalah titipan Allah SWT. Seorang anak dititipkan kepada kita untuk kita jaga, kita rawat, dan kita didik agar tumbuh menjadi pribadi yang shaleh dan mampu memberikan manfaat.

Lalu apa bedanya antara konsep "memiliki anak" dan "dititipkan anak"?

Pertama, cara merawat sesuatu yang kita miliki dan sesuatu yang dititipkan kepada kita tentu akan berbeda. Perbedaan utama ada pada kehati-hatian kita dalam perawatan ini. Sebaik apa pun cara kita merawat apa yang kita miliki, kita tetap saja lebih hati-hati dalam merawat sesuatu yang dititipkan kepada kita. Saat sesuatu yang kita miliki rusak, kita tidak perlu mempertanggungjawabkan hal ini kepada orang lain. Sangat berbeda bila kita merusak sesuatu yang dititipkan orang lain kepada kita.

Hal di atas pun berlaku dalam konteks merawat dan membesarkan anak. Kita akan mudah memarahi, membentak, atau bahkan menyakiti anak yang kita miliki. Akan tetapi, saat kita menyadari bahwa anak adalah titipan Allah SWT yang senantiasa mengawasi kita, kita akan jauh lebih berhati-hati dalam bersikap. Kita akan lebih mampu menahan diri dari menyakiti anak kita. Kehati-hatian ini timbul karena kita sadar bahwa kita harus mempertanggungjawabkan cara mendidik anak kita di hadapan Allah.

Kedua, cara kita menentukan masa depan dari sesuatu yang kita miliki dan sesuatu yang dititipkan kepada kita akan berbeda. Kita pasti merasa memiliki hak penuh untuk menentukan apa yang kita harapkan dari setiap hal yang kita miliki. Kita memiliki hak penuh untuk menentukan masa depan dari setiap hal yang kita miliki. Sangat berbeda dengan sikap kita terhadap sesuatu yang dititipkan kepada kita. Kita sadar bahwa masa depan dari setiap hal yang dititipkan kepada kita itu tergantung pada pemiliknya.

Kita pun memiliki kecenderungan yang besar untuk menentukan masa depan anak yang kita miliki. Mereka harus ini, mereka harus itu, mereka harus menghindari ini, mereka harus menghindari itu, dan berbagai keharusan-keharusan lainnya. Sebaliknya saat kita sadar bahwa anak kita itu dititipkan Allah kepada kita, kita tahu bahwa masa depan anak-anak kita tidak sepenuhnya ada di tangan kita. Yang bisa kita lakukan adalah membantu anak kita menentukan pilihan. Hak memilih masa depan anak itu bukan di tangan kita, tapi di tangan Allah SWT dan anak kita kelak setelah mereka baligh.

Dengan menegaskan bahwa anak kita adalah titipan Allah SWT, kita akan menghargai hak-hak anak kita dengan baik sebagaimana kita menghargai hak-hak kita sendiri. Kita tidak akan sewenang-wenang dalam merawat dan mendidik anak kita dan kita pun tidak akan sembarangan menentukan masa depan anak kita. Semua itu kita lakukan karena anak yang dititipkan Allah SWT itu memiliki jalan hidup mereka sendiri. Kita memiliki tugas sebatas membantu mereka menemukan jalan itu seraya menjaga mereka agar tidak celaka.

Lalu apa untungnya bagi kita kalau kita sekedar merawat "barang titipan"?

Pertanyaan yang sama pun timbul dalam benak saya. Setelah segala hal yang kita korbankan untuk mendidik anak kita, kita akan merasa berhak melakukan apa yang kita inginkan pada anak kita. Kita pun akan merasa berhak menentukan masa depan anak kita. Kita pun akan merasa berhak menuntut balas jasa dari anak kita. Apakah tidak ada satu pun timbal balik yang dapat kita harapkan dari anak-anak kita?

Dalam konteks menjaga titipan Allah SWT, balas jasa yang kita terima pun akan datang dari Allah SWT. Setiap kebaikan yang kita lakukan akan mendapatkan balasannya, baik di dunia maupun di akhirat. Jadi timbal balik yang kita dapatkan dari membesarkan anak dengan baik itu otomatis akan kita rasakan di dunia dan di akhirat. Balasan kebaikan itu akan kita dapatkan karena kita mampu mengikhlaskan pengorbanan kita dalam membesarkan anak.

Bentuk balas jasa lainnya adalah meminimalisir konflik negatif dengan anak. Hal ini terwujud seiring waktu kita menghargai hak-hak anak dengan penghargaan yang sama seperti terhadap hak-hak kita sendiri. Kita akan memberikan lebih banyak kebebasan bagi anak kita untuk memilih dengan catatan tidak merugikan diri mereka sendiri atau orang-orang di sekitarnya. Catatan itu pun kita tuangkan dalam bentuk nasihat dan himbauan, bukan dengan bentakan dan paksaan.

Rendahnya tingkat konflik negatif akan membantu perkembangan positif pada kepribadian anak. Perkembangan positif ini pada akhirnya akan membentuk anak yang berterima kasih atas jasa-jasa orang tuanya. Rasa terima kasih ini pun akan diwujudkan lewat bakti kepada orang tua. Bakti ini akan menjadi balas jasa yang nyata atas setiap pengorbanan kita demi membesarkan anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar