Senin, 18 Februari 2013

Duduk Manis di Comfort Zone

It's human nature, actually. Kita semua bergerak untuk mencapai zona nyaman. Saya yakin setiap orang punya kecenderungan yang alami untuk menggapai kepuasan dan kenyamanan bagi diri mereka masing-masing. Saya sendiri pun sadar bahwa diri saya memiliki kecenderungan untuk meraih kenyamanan. Jadi sebenarnya kita tidak perlu merasa malu atau sungkan saat kita duduk manis di dalam zona nyaman kita.

Walaupun begitu, kita tetap perlu menyadari bahwa zona nyaman adalah musuh utama pengembangan potensi yang kita miliki. Saat kita duduk manis di dalam zona nyaman kita, saat itu pula kita sedang "menikmati" resiko mandeg-nya perkembangan diri kita. Saat kita berhenti berkembang, kita akan tertinggal jauh dari mereka yang tidak berhenti mengasah potensi dan kemampuan mereka.

Dan yang saya maksud dengan "jauh" itu bisa berarti "sangat-sangat-sangat jauh sekali".

Liu Wei, seorang warga negara Cina, adalah seorang pianis yang terkenal dengan kemampuan memainkan piano menggunakan... jari kakinya. Ya, jari kaki. Liu Wei kehilangan kedua lengannya saat dia sedang bermain petak umpet saat dia berumur 10 tahun. Hidup tanpa lengan ternyata telah membawa dia menjadi pianis terkenal yang memberikan inspirasi bagi orang banyak.

Jessica Cox, seorang warga negara Amerika, justru hidup tanpa lengan sejak lahir. Walaupun begitu, dia bisa hidup normal layaknya wanita-wanita dengan lengan yang lengkap. Tidak hanya hidup normal, Jessica Cox justru menembus batas "normal" ini dengan mendapatkan izin untuk menerbangkan pesawat (sebagai pilot tentunya).

Yang lebih "mengenaskan" lagi adalah kondisi Nick Vujicic dan Hirotada Ototake. Mereka berdua justru lahir tanpa lengan dan kaki. Imagine that! Liu Wei dan Jessica Cox dapat dikatakan "lebih beruntung" karena masih memiliki sepasang kaki yang sempurna, tapi pada kenyataaannya Nick Vujicic dan Hirotada Ototake sama-sama dapat menemukan kebahagiaan dalam hidup mereka dan bahkan menjadi inspirasi bagi banyak orang-orang dengan jumlah lengan dan kaki yang normal.

Comfort zone? Saya tidak bisa membayangkan kalau mereka berempat memiliki zona nyaman. Saya justru bisa membayangkan berbagai kesulitan yang harus mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka adalah contoh-contoh nyata bahwa hidup di luar zona nyaman itu justru berhasil membawa mereka meraih berbagai mimpi besar; mimpi yang mungkin hanya bisa dibayangkan oleh orang-orang normal seperti kita.

Untuk menggapai mimpi besar seperti itu pada dasarnya tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya lengan dan kaki kita, tapi hal itu ditentukan oleh ada atau tidaknya keinginan yang kuat di dalam hati kita. Liu Wei, Jessica Cox, Nick Vujicic dan Hirotada Ototake ini beruntung karena kondisi mereka (tanpa lengan atau kaki) ikut membantu membentuk keinginan yang kuat itu. Bagaimana dengan kita? "Kesempurnaan" kita justru membuat kita terlena dengan kondisi nyaman dalam hidup kita.

Untuk memiliki keinginan yang kuat seperti 4 (empat) orang hebat di atas, kita harus mau keluar dari comfort zone kita. Tinggalkan kenyamanan di balik pekerjaan yang ringan dan mulailah secara perlahan mengambil tanggung jawab yang lebih besar. Tinggalkan kenyamanan di balik waktu senggang yang kita pakai untuk berhibur dan mulailah secara perlahan mengisi waktu senggang itu dengan hal-hal baru yang memberikan manfaat lebih. Tinggalkan berbagai kenyamanan yang kita miliki dan mulailah secara perlahan mengembangkan potensi-potensi yang terpendam dalam diri kita. Lakukan secara perlahan; kalau kita tidak sanggup melakukannya dengan cepat.

Tapi semua itu kembali kepada diri kita sendiri. Maukah kita meninggalkan zona nyaman kita?

*Gambar ditemukan lewat Google

3 komentar:

  1. hm..i think my comfort zone was sitting behind Wide / beside Helmy, hehehehe..

    nice writing style

    BalasHapus
    Balasan
    1. Still you manage to get out of there, Dhi. S2 pula. Ck ck ck....

      Looking forward to see you in 2015, Dhi. :)

      Hapus