Judul video yang saya sertakan di atas adalah "Disconnect to Connect". Video tersebut adalah iklan yang memperlihatkan perilaku penggunaan gadget secara umum. Walaupun iklan tersebut tidak didukung dengan data empiris seperti survei atau sejenisnya, perilaku dalam video tersebut dapat kita lihat di lingkungan sekitar kita. Bahkan mungkin saja perilaku penggunaan gadget dalam video tersebut merupakan cerminan dari perilaku kita sendiri.
Berdasarkan pengamatan saya pribadi, perilaku penggunaan gadget seperti BlackBerry, smartphone berbasis Android, iPhone, dan sejenisnya memang dapat mengganggu (kalau tidak merusak) perilaku sosial seseorang di dunia nyata. Seperti yang digambarkan dalam iklan di atas, orang yang sibuk dengan gadget mereka ibarat hidup sendirian di tengah keramaian. Mereka masuk ke dalam dunia virtual masing-masing dan secara tidak langsung keluar dari dunia nyata.
Oleh karena itu, pesan moral yang ingin disampaikan iklan di atas itu jelas. Saat kita terhubung ke dunia virtual, maka hubungan kita dengan dunia nyata akan terputus. Untuk kembali terhubung ke dunia nyata, kita harus memutus hubungan kita dengan dunia virtual. Kita memang diberkahi kemampuan untuk multi tasking, tapi perhatian kita sudah pasti akan terpecah saat menghadapi lebih dari satu urusan. Mengerjakan lebih dari satu hal pada hal yang sama itu bisa dilakukan, tapi perhatian (konsentrasi) kita akan terpecah.
Saat kita chatting dengan salah seorang teman kita dan mengobrol dengan istri kita, perhatian kita akan terpecah ke teman kita dan istri kita. Pembagian perhatian ini pun tidak selalu 50:50. Bukan tidak mungkin perhatian ke teman kita justru lebih besar dibandingkan ke istri kita. Contoh lain saat kita sedang menikmati tontonan terbaru sambil menemani anak-anak kita bermain. Dapat dipastikan bahwa perhatian kita pada anak-anak kita akan berkurang. Bukan tidak mungkin 100% perhatian kita tertuju pada tontonan dan baru beralih kepada anak-anak kita bila kita sudah mendengar tangisan mereka.
Tidak mungkin 100% perhatian kita akan tertuju pada dunia nyata di sekitar kita saat kita menyibukan diri dengan dunia virtual. Tidak mungkin 100% perhatian kita akan tertuju pada perkembangan rapat yang kita ikutibila kita menyibukan diri dengan update status kita di Facebook, Twitter, atau jejaring sosial lainnya. Tidak mungkin 100% perhatian kita akan tertuju pada mendengarkan kata-kata istri kita bila kita menyibukan diri dengan Facebook, Twitter, Yahoo Messenger, WhatsApp, blogging, bermain game, atau kegiatan lainnya dengan gadget/device kita.
Ada banyak hal dalam kehidupan nyata yang akan kita lewatkan saat kita hidup dalam dunia virtual kita. Contohnya kesempatan untuk bercengkrama dengan istri atau bermain dengan anak-anak akan terlewatkan bila kita menghabiskan lebih banyak waktu untuk hidup di dalam dunia jejaring sosial. Saya teringat pertengkaran sebuah pasangan yang disebabkan karena salah satu pihak meluangkan lebih banyak waktu di Facebook. Teringat juga sebuah puisi unik dari Serafina Ophelia berjudul "Ibu dan Facebook" yang berisi kritik kocak terhadap para ibu yang terlalu sering mengakses Facebook.
Teknologi hadir untuk memberikan kemudahan kepada manusia. Manusia itu sendiri yang menentukan apakah teknologi yang ada itu akan memberikan manfaat atau sebaliknya menyebabkan masalah.
Terus terang keterlibatan yang tinggi dalam dunia virtual ini bukanlah sesuatu yang mengherankan. Kemajuan teknologi membuat dunia virtual menjadi jauh lebih interaktif dan menyenangkan bila dibandingkan dengan dunia nyata. Kemajuan teknologi pun berperan besar untuk membuat dunia virtual ini lebih mudah dijangkau oleh banyak orang. Jadi tingginya intensitas orang-orang dalam dunia virtual lewat gadget yang mereka miliki ini dapat dimaklumi.Tentu saja kita tidak dapat menyalahkan teknologi di sini. Teknologi hadir untuk memberikan kemudahan kepada manusia. Manusia itu sendiri yang menentukan apakah teknologi yang ada itu akan memberikan manfaat atau sebaliknya menyebabkan masalah. Saya sendiri pengguna smartphone. Alhamdulillah saya merasakan manfaatnya. Saya dapat mengakses situs web langganan, menerima dan mengirim email, mengolah spreadsheet (Excel), mengatur jadwal kegiatan, berkomunikasi lewat jejaring sosial atau platform chatting dan berbagai hal lain yang biasanya harus saya lakukan di komputer.
Saya pun merasakan celakanya. Misalnya interaksi saya lewat Facebook dan Twitter pun meningkat drastis. Seolah-olah setiap detik kehidupan saya harus dipublikasikan lewat Facebook dan Twitter itu. Status pun menjadi hal yang penting bagi saya. Interaksi saya dengan istri dan anak-anak di rumah secara garis besar berkurang karena saya sibuk dengan dunia virtual saya sendiri. Oleh karena itu saya memutuskan untuk mengurangi interaksi saya dengan dunia virtual ini.
Interaksi dengan Facebook dan Twitter saya batasi. Paling tidak saya berusaha keras untuk menegaskan kepada diri saya agar mengurangi interaksi ini selama saya di rumah bersama istri dan anak-anak. Kegiatan yang melibatkan gadget seperti bermain game, menonton film, membaca manga scanlation pun saya kurangi untuk memperbanyak waktu bersama keluarga. Pembatasan ini bukanlah hal yang mudah bagi saya, tapi paling tidak saya sudah melangkah ke arah sana.
Saya teringat sebuah poster iklan yang menggambarkan satu keluarga yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Ayahnya sedang sibuk dengan smartphone, ibu sedang sibuk dengan gadget sejenis iPad, dan anaknya sedang sibuk dengan game console. Mereka bertiga memang berkumpul bersama, tapi saya yakin mereka bertiga sedang berada di tempat yang berbeda. Saya tidak ingin memiliki keluarga seperti itu. Bukan berarti saya tidak ingin keluarga saya melek teknologi. Saya hanya tidak ingin suasana berkumpul bersama keluarga saya menjadi tidak ada artinya karena setiap orang sibuk dengan dunianya sendiri-sendiri. Dengan begitu, saya pun berusaha untuk MEMUTUS hubungan saya dengan dunia virtual untuk kembali MENYAMBUNG hubungan saya dengan dunia nyata di sekitar saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar