Rabu, 07 September 2011

Seminggu Tanpa Pembantu

Pembantu Rumah Tangga (PRT) adalah aset yang berharga; sangat berharga. Kehadiran mereka di dalam tempat tinggal kita memang sangat membantu. Banyak sekali pekerjaan yang mereka tangani sehingga memungkinkan kita memiliki lebih banyak waktu untuk diri kita dan keluarga kita sendiri. Hidup terasa lebih berat tanpa kehadiran PRT. Lebay? Mungkin saja.

Idul Fitri adalah waktu yang paling tepat untuk mengukur nilai PRT dalam kehidupan kita. Sejak semua PRT pamit Cuti Lebaran mulai dari tanggal 28 Agustus 2011, saya dan istri berjibaku mengurus rumah dan keluarga. Rutinitas harian kami pun berubah total. Dari yang biasanya bekerja di belakang meja, pekerjaan kami berubah menjadi urusan bersih-bersih rumah dan menjaga anak-anak.

Bagian sebagian orang, mengurus rumah dan anak adalah pekerjaan mudah; karena sudah terbiasa. Bagi kami (lebih tepatnya bagi saya), mengurus rumah dan anak bukanlah perkara mudah. Bahkan urusan bersih-bersih rumah terasa berat (baca: melelahkan dan membosankan). Untungnya urusan masak-memasak dapat ditangani oleh istri saya. Pengeluaran rumah tangga pun tidak terlalu boros untuk membeli makanan dari luar rumah. Urusan mencuci pakaian pun ditangani istri saya dengan baik, walaupun akhirnya harus mengalah dan mengandalkan jasa cuci kiloan.

Akan tetapi, urusan yang paling menantang buat saya adalah urusan anak-anak. Urusan mandi, makan, toilet, tidur, menenangkan saat marah dan menangis, melerai saat bertengkar, menemani mereka main dan menonton, dan berbagai urusan lainnya, adalah urusan yang jauh lebih melelahkan dibandingkan urusan rumah. Kalau urusan rumah menghabiskan energi lahir, urusan anak-anak itu menghabiskan energi batin. Bagi saya, kehabisan energi batin (capek ati) itu jauh lebih melelahkan dibandingkan kehabisan energi lahir (capek doank).

Untungnya prinsip No Pain No Gain tetap berlaku. Tanpa kehadiran PRT selama Cuti Lebaran ini, saya dan istri saya kembali merasakan pengalaman mengurus anak 24/7. Tidak ada satu detik pun dalam hidup kami tanpa kehadiran anak-anak selama masa Cuti Lebaran ini. Walaupun melelahkan, banyak hal menyenangkan yang kami alami bersama. Banyak pula hal baru (tapi lama) yang saya dan istri saya temukan selama berinteraksi dengan anak-anak kami, Raito dan Aidan.

Anger Management
Di hari-hari biasa, interaksi saya dengan anak-anak itu terbatas pada malam hari saja, kecuali di akhir pekan. Di akhir pekan, saya bisa menghabiskan waktu seharian bersama anak-anak saya. Sangat terasa sekali bedanya selama Cuti Lebaran ini. Naik turunnya emosi saat menghadapi tingkah polah anak-anak benar-benar seperti mengendarai roller coaster. Di satu waktu saya dapat tertawa lepas melihat tingkah laku anak-anak, sementara di waktu yang lain saya merasa ingin menjitaki mereka satu per satu melihat keras kepalanya mereka.

Saya sendiri sadar bahwa mengelola amarah memang tidak pernah semudah membaca berbagai kata-kata bijak atau petunjuk-petunjuk praktis dalam teori pengelolaan amarah. Hanya saja mengurus anak-anak selama PRT tidak ada ini benar-benar membuka mata saya akan sulitnya mengelola amarah. Pada akhirnya, metode-metode pengelolaan amarah (emosi) yang biasa saya terapkan pun seolah-olah tidak memiliki pengaruh apa pun. Sulit sekali mengelola amarah di tengah-tengah keluarga. Benar-benar pengalaman yang luar biasa.

Sesi Makan yang Melelahkan
Salah satu waktu yang membuat saya ingin menjitaki Raito dan Aidan itu adalah sesi makan, baik makan pagi, makan siang, maupun makan malam. Waktu yang dibutuhkan untuk menyuapi satu anak saja antara 1 s.d. 2 jam. Untung saya dan istri saya bekerja paralel (masing-masing menyuapi 1 anak). Kalau sampai saya atau istri saya harus menyuapi 2 anak, itu artinya butuh waktu 2 s.d. 4 jam untuk menyuapi Raito dan Aidan.

Terlepas dari anger management, satu hal yang saya sadari lewat sesi makan anak-anak adalah anak-anak itu lebih mudah makan saat mereka lapar. Sebelumnya anak-anak saya memiliki jadwal makan pagi, siang, dan malam yang teratur. Akan tetapi, jadwal makan mereka ini kelihatannya tidak sesuai dengan waktu lapar mereka. Oleh karena itu, mereka seringkali terlihat ogah-ogahan saat disuapi.

Saat jadwal makan mereka disesuaikan dengan waktu lapar mereka, sesi makan menjadi lebih cepat. Apalagi kalau makanan yang disajikan adalah makanan favorit mereka. Sesi makan anak-anak dapat berubah menjadi menyenangkan. Mereka kenyang, kami (saya dan istri) senang. Kami pun jadi punya lebih banyak waktu untuk mengerjakan pekerjaan yang lain (baca: istirahat).

Kerja Tim
Hal lain yang membekas dalam benak saya selama PRT mengambil Cuti Lebaran adalah kerja tim. Tim yang mana? Tentu saja duet antara saya dan istri saya. Bahu-membahu bersama istri untuk mengurus rumah dan anak-anak jelas membuat semua urusan terasa lebih ringan. Ada kalanya kami bekerja paralel, ada kalanya kami bekerja bergantian. Tujuan akhirnya adalah semua urusan yang harus dikerjakan itu masuk ke dalam status Completed.

Dalam konteks mengurus anak-anak, kerja tim ini menjadi lebih penting lagi. Kaitannya sangat erat dengan mengelola amarah yang saya paparkan di atas. Saat saya sudah tidak tahan lagi menyikapi tingkah laku Raito dan Aidan, istri saya masuk dan menggantikan. Hal yang sama pun berlaku sebaliknya. Dengan begitu, tidak ada satu pun dari kami yang harus memaksakan diri menahan emosi kami di depan anak-anak.

Masih banyak lagi pengalaman lain yang dapat saya tuangkan dalam tulisan ini, tapi saya rasa tulisan ini akan menjadi terlalu panjang dan tidak nyaman untuk dibaca. Saya yakin Anda (yang sedang membaca tulisan ini) pun memiliki pengalaman yang serupa (tapi tak sama) dengan pengalaman saya ini; terutama kalau Anda memiliki 2 anak laki-laki kembar berumur 3 tahun yang tingkahnya ingin membuat Anda mengeluarkan kamehameha. Silakan berbagi pengalaman hidup Anda tanpa PRT di bagian komentar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar