Semakin kering segumpal tanah liat, semakin sulit tanah liat itu dibentuk. Hal yang sama berlaku juga untuk manusia. Semakin tua seseorang, semakin sulit baginya untuk belajar dan berubah. Kita semua tahu bahwa yang proses "menjadi dewasa" itu merupakan rangkaian perubahan yang harus dilalui seseorang dalam hidupnya. Seiring dengan bertambahnya usia seseorang, semakin sulit bagi diri orang itu untuk menjadi dewasa.
Bila seseorang sudah sebegitu sulitnya berubah menuju kedewasaan, maka orang itu sudah -atau sedang- memasuki tahap "tidak pernah dewasa". Pada tahap ini, seseorang akan memiliki kecenderungan untuk menolak setiap hal yang memaksanya -atau mengharapkannya- untuk berubah. Semakin besar tekanan untuk berubah, semakin besar pula penolakan yang diberikan orang itu.
Kondisi seperti ini dapat kita lihat dalam masyarakat. Contohnya seorang ayah yang hanya tahu bagaimana cara mencari uang dan bersenang-senang. Ayah seperti ini punya kecenderungan untuk mengajak anak-anaknya bersenang-senang dengan caranya sendiri. Cara bersenang-senang si Ayah ini mungkin saja tidak aman, tidak sehat, atau membawa dampak buruk terhadap anak-anaknya. Istrinya (si Ibu) tentu berharap si Ayah dapat merubah caranya bermain dengan anak-anaknya. Bila si Ayah ada dalam kondisi "tidak pernah dewasa", maka semua anjuran dari si Ibu akan mental begitu saja.
Contoh lain adalah seorang pria yang sudah bekerja namun belum menikah. Pria yang sudah bekerja kemungkinan memiliki rasa kemandirian yang sangat tinggi. Kadang rasa kemandirian ini begitu tinggi sampai-sampai pria ini tidak lagi peduli apa yang dikatakan orang-orang di sekitarnya. Yang dia pedulikan hanyalah hal-hal yang penting bagi dirinya sendiri saja. Dia akan peduli apa kata atasannya karena dia ingin promosi, tapi dia tidak akan peduli apa kata orang tuanya karena dia merasa orang tuanya tidak bisa lagi mengatur dia. Dia akan peduli dengan apa yang dikatakan teman dekatnya, tapi tidak tidak akan peduli apa kata saudara-saudaranya karena dia merasa saudaranya tidak akan pernah mengerti jalan pikirannya. Pria seperti ini bisa jadi memiliki halusinasi bahwa dirinya mapan, toleran, dan bertanggung jawab. Sementara kenyataannya dia hanya peduli pada dirinya sendiri.
Masih ada banyak contoh lain yang bisa saya paparkan, tapi saya yakin setiap orang bisa menemukan contohnya sendiri; baik di orang lain maupun di dalam dirinya sendiri. Contoh di atas merupakan ilustrasi yang saya berikan hanya dalam tulisan ini. Saya tidak ingin mengatakan bahwa contoh-contoh di atas merupakan gambaran umum seorang ayah atau seorang pria bujangan yang sudah bekerja.
Kembali kepada kondisi "tidak pernah dewasa". Kondisi ini adalah kondisi yang perlu dihindari oleh setiap orang. Seperti yang saya paparkan sebelumnya, "terlambat dewasa" itu tidak bermasalah asalkan tidak sampai memasuki tahap "tidak pernah dewasa". Orang yang "terlambat dewasa" bukanlah orang yang tidak bisa dewasa. Orang seperti ini hanya membutuhkan waktu lebih lama untuk menjalani proses menuju kedewasaan. Sementara orang yang ada dalam kondisi "tidak pernah dewasa" dapat dikatakan berhenti untuk berubah menjadi dewasa. Kalau pun orang seperti ini masih memiliki keinginan untuk berubah, besaran keinginannya mungkin sangat kecil sampai efeknya terhadap perubahan dirinya dapat dikatakan tidak ada.
Orang tua yang sikapnya menyerupai anak balita atau remaja adalah bukti bahwa kondisi "tidak pernah dewasa" ini nyata. Setiap orang bisa mengalami tahap "terlambat dewasa" sampai terjerumus ke dalam kondisi "tidak pernah dewasa". Kondisi ini perlu dihindari karena kedewasaan merupakan hal yang diperlukan oleh diri seseorang dan masyarakat pada umumnya untuk bergerak ke arah kehidupan yang lebih baik. Tentunya tidak akan menyenangkan bagi kita semua bila nantinya pemimpin-pemimpin di negeri ini adalah sekumpulan orang yang berpikir dan bertingkah laku seperti anak kemarin sore.
--
Versi PDF: http://www.4shared.com/document/kVgVidCT/TerlambatDewasa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar