Seorang calon suami mengajak saya diskusi. Ajakannya agak mendadak karena memang waktunya sudah mendesak. Calon suami ini tidak lama lagi akan melamar calon istrinya. Lamaran yang dimaksud adalah lamaran skala besar, yaitu saat keluarga calon suami secara resmi mendatangi keluarga calon istri untuk melakukan lamaran. Saya sebut mendesak bin mendadak karena menjelang waktu lamaran ini calon suami tersebut masih saja gundah. Ada satu hal yang mengganjal di hati calon suami ini. Satu hal yang krusial. Satu hal yang vital. Satu hal yang terkait erat dengan kepercayaan calon suami kepada calon istri tersebut.
Masalahnya berputar sekitar pergaulan. Untuk mempersingkat cerita, masalah ini terkait dengan lingkungan pergaulan calon istri. Calon istri ini tidak memiliki batasan tertentu dalam pergaulan. Dia bisa berteman dengan wanita dan pria. Bahkan salah satu teman dekatnya adalah seorang pria. Calon istri ini (sebagaimana manusia pada umumnya) memiliki lingkaran kecil pertemanan. Lingkaran kecil ini seringkali meluangkan waktu bersama-sama. Makan siang, tukar pikiran (baca: ngobrol), dan berbagai aktifitas lain sering mereka lakukan bersama.
Calon suami tidak merasa nyaman dengan pola pergaulan calon istri. Walau berkali-kali calon istri menegaskan bahwa pergaulannya tidak akan menjadi "penghalang", calon suami ini masih tidak bisa meyakinkan hatinya. Bagi sebagian orang mungkin calon suami ini akan terlihat posesif atau kolot. Akan tetapi pada kenyataannya calon suami ini hanya sekedar berhati-hati. Bagi saya ini adalah hal wajar melihat pergaulan sudah semakin bebas dan perselingkuhan sudah semakin terlihat biasa.
Dalam hal ini saya memihak calon suami. Mengarungi lautan pernikahan tanpa rasa saling percaya yang memadai antara suami dan istri kelak akan mengundang badai. Ombak akan senantiasa terlihat besar dan langit akan senantiasa gelap. Keharmonisan rumah tangga akan selalu ada di ujung tanduk bila ikatan dalam rumah tangga itu terjalin tanpa didasari kepercayaan. Dukungan ini bukan semata-mata karena saya adalah seorang pria. Dukungan ini datang karena keyakinan saya akan pentingnya membentuk rasa saling percaya antara suami dan istri.
Dalam usaha untuk membentuk kepercayaan itu terdapat dua kewajiban, yaitu kewajiban untuk mempercayai orang lain dan kewajiban untuk membuat diri dapat dipercaya orang lain. Baik istri maupun suami memiliki kedua kewajiban itu. Seorang suami wajib mempercayai istrinya dan sebaliknya seorang istri wajib membuat dirinya dapat dipercaya oleh suaminya. Hal yang sama juga berlaku sebaliknya.
Di antara kedua kewajiban itu, kewajiban untuk membuat diri dapat dipercaya orang lain ada di atas kewajiban untuk mempercayai orang lain. Wajib bagi seorang suami untuk mempercayai istrinya bila istrinya ini sudah melakukan kewajibannya untuk menjaga batasan dalam bergaul. Wajib bagi seorang istri untuk mempercayai suaminya bila suaminya ini memilih untuk tidak memiliki sekretaris wanita. Wajib bagi seorang suami untuk mempercayai istrinya bila istrinya ini tidak bepergian tanpa alasan yang kuat dengan pria lain. Wajib bagi seorang istri untuk mempercayai suaminya bila suaminya ini tidak membuat-buat alasan saat sulit dihubungi.
Kembali ke masalah calon suami di atas, saya justru merasa calon istri di atas perlu melakukan kewajibannya untuk membatasi pergaulannya. Dengan begitu calon istri ini sudah melakukan kewajibannya untuk membuat dirinya dapat dipercaya. Bila hal ini sudah dilakukan, maka calon suami ini pun wajib mempercayai calon istrinya tanpa kecuali. Kalau memang hal di atas sulit diwujudkan, saya pribadi lebih memilih agar pernikahan mereka dibatalkan.
Kondisi di atas bukan kondisi luar biasa. Kenyataannya masalah kepercayaan ini sudah menjadi masalah yang lumrah dalam sebuah ikatan pernikahan; terutama SETELAH ikatan pernikahan itu terjalin. Saya sendiri pernah menemukan kondisi yang mirip dengan kondisi calon suami istri di atas. Perbedaannya adalah pasangan yang terlibat bukan lagi calon -mereka sudah menikah. Dalam hal ini tentunya saya tidak cenderung ke arah membatalkan pernikahan.
Untungnya dengan pasangan di atas kondisinya relatif lebih mudah. Pihak istri berkenan mengambil inisiatif untuk membatasi pergaulannya dengan teman-teman prianya. Dengan begitu lebih mudah bagi pihak suami untuk menghilangkan kegundahan hatinya dan kembali mempercayai istrinya. Saya tidak sampai hati membayangkan seandainya pihak istri tetap bersikeras dengan pola pergaulannya.
Masalah kepercayaan memang masalah yang sensitif dan tidak berlaku hanya di dunia pernikahan saja. Hubungan pertemanan, hubungan kerja, hubungan bisnis, dan berbagai bentuk hubungan lain tentu mengandalkan kepercayaan untuk membentuk keharmonisan. Tidak mungkin ada orang yang mau berteman dengan pengkhianat, tidak mungkin ada orang yang mau bekerja dengan orang yang tidak dapat dipercaya, tidak mungkin ada orang yang mau berbisnis dengan orang yang reputasinya meragukan.
Sementara dalam pernikahan itu sendiri, kepercayaan tidak hanya berkutat pada masalah pergaulan saja. Kepercayaan juga terkait erat dengan pengelolaan keuangan keluarga, pola pendidikan anak, hubungan dengan keluarga besar, dan berbagai hal lain. Saya yakin sulit rasanya mempercayai pasangan yang boros, sering tidak terus terang, asal-asalan mendidik anak, atau risih dengan kehadiran mertua.
Memang tidak semua orang mengalami masalah kepercayaan yang sama karena kemampuan memberikan kepercayaan masing-masing orang itu berbeda. Akan tetapi saat berhadapan dengan masalah kepercayaan, maka kondisinya tidak akan jauh berbeda dengan cerita di atas. Semuanya akan kembali kepada kedua kewajiban yang disebutkan di atas, yaitu kewajiban untuk mempercayai orang lain dan kewajiban untuk membuat diri dapat dipercaya orang lain. Prioritasnya tentu saja pada kewajiban yang kedua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar