Senin, 28 Januari 2019

Menemukan Kebahagiaan dan Dialog lewat #AgileParenting

Perjalanan saya untuk menjadi orang tua yang lebih baik masih berlanjut. Saya masih membiasakan diri untuk belajar tentang parenting atau pembinaan keluarga secara umum. Beberapa video di channel Youtube milik Indonesia Morning Show NET dengan tema parenting menampilkan Ibu Elly Risman. Dalam beberapa video tersebut, saya sempat menangkap Ibu Elly menyampaikan ada 2 hal yang hilang dalam keluarga, yaitu kebahagiaan dan dialog.


I was like... "Itu dia!" Dalam hati tentunya. Tidak mungkin teriak di ruang publik.

Fokus pada kebahagiaan dan dialog sebenarnya sudah saya terapkan sejak beberapa bulan yang lalu, khususnya saat saya mulai menerapkan Agile Parenting dalam keluarga saya. Dalam Agile Parenting, kebahagiaan menjadi tujuan utama dalam membina keluargasementara dialog menjadi kunci utama untuk menemukan kebahagiaan tersebut, baik kebahagiaan anak-anak maupun kebahagiaan saya dan istri saya sebagai orang tua. Jadi, mendengar Ibu Elly Risman berbicara tentang hilangnya kebahagiaan dan dialog justru menegaskan bahwa konsep Agile Parenting yang saya coba terapkan sudah berada di jalan yang benar.

Dalam Agile Parenting Manifesto, saya menegaskan bahwa kebahagiaan lebih penting daripada peringkat dan prestasi. Hal tersebut sengajar saya tegaskan karena saya sering terjebak dalam definisi kebahagiaan yang kurang tepat, yaitu definisi kebahagiaan yang tidak lepas dari peringkat dan prestasi. Saya tidak ingin terus-menerus mendorong anak-anak saya untuk mencapai peringkat yang tinggi atau prestasi yang berlimpah seolah-olah semua itu akan menjamin kebahagiaan mereka. Saya ingin menghindar dari pola mendidik anak-anak yang mengarahkan untuk mengejar peringkat dan prestasi tanpa melihat kembali apakah benar peringkat dan prestasi itu membuat anak-anak bahagia.

Agile Parenting Manifesto pun saya arahkan pada kolaborasi dan interaksi. Saya ingin membangun kebiasaan berdialog dalam keluarga yang melibatkan tidak hanya saya dan istri saya, tapi juga anak-anak saya. Berdialog perlu dibedakan dengan berkomunikasi karena berkomunikasi belum tentu berjalan dua arah. Untuk membiasakan berdialog, saya perlu membentuk kebiasaan mendengarkan. Dengan membiasakan diri mendengarkan isi hati dan pikiran anak-anak, saya ingin mewujudkan dialog yang sehat. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi saya untuk memahami kebutuhan anak-anak saya dan mewujudkan kebahagiaan di dalam keluarga saya.

Saat tulisan ini dibuat, keluarga saya sudah memulai rutinitas pertemuan keluarga seminggu sekali. Dalam pertemuan itu, kami membiasakan diri menyampaikan semua unek-unek yang dirasakan oleh setiap anggota keluarga. Kami bergantian menyampaikan hal-hal yang kami anggap penting, sementara anggota keluarga yang lain memperhatikan dengan seksama. Ada banyak hal yang terungkap lewat pertemuan tersebut; hal-hal yang tidak pernah terungkap sebelumnya. Pertemuan tersebut sepertinya menciptakan situasi yang kondusif bagi saya, istri saya, dan anak-anak saya untuk benar-benar bercerita apa adanya.

Pertanyaan utamanya adalah mampukah pertemuan keluarga itu membantu kami menemukan kebahagiaan? Ya. Anak-anak kami akhirnya mendapatkan waktu dan kesempatan untuk mengutarakan masalah-masalah yang mereka pendam, sementara saya dan istri saya mendapatkan waktu dan kesempatan untuk menjelaskan banyak hal yang sepertinya tidak tersampaikan saat terjadinya masalah dalam keluarga.

Cerita lebih rinci tentang pertemuan keluarga tersebut rencananya akan saya tuangkan dalam tulisan lain. Untuk saat ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa keluarga saya sudah mulai menemukan wujud dari Agile Parenting Manifesto, khususnya bagian collaboration. Metode tersebut sepertinya cocok untuk diterapkan dalam keluarga saya. Jadi, kemungkinan besar kami akan mempertahankan pertemuan keluarga mingguan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar