Selasa, 13 Februari 2018

Menghindari Dikotomi Peran Ayah dan Ibu

Dalam tulisan sebelumnya, saya membahas tentang penggunaan istilah "ayah super". Istilah tersebut, walaupun sering digunakan, pada hakikatnya hanya merujuk kepada "ayah normal" yang terlihat super akibat penggunaan standar yang terlalu rendah. Tolok ukur yang digunakan adalah para ayah pada umumnya sehingga para ayah super pun terlihat super. Seandainya tolok ukur yang digunakan adalah para ibu pada umumnya, para ayah super mungkin tidak akan terlihat super; mereka akan terlihat normal. Walaupun begitu, demi kemudahan dan kenyamanan bersama, saya tetap akan menggunakan istilah "ayah super" untuk menggambarkan para ayah normal tersebut.

Di dalam diri para ayah super, tingkat kepedulian dan kemauan yang tinggi untuk terlibat dalam urusan rumah tangga merupakan sifat yang mendasar. Saya tidak pernah menemukan seorang "ayah super" yang tidak memiliki kedua karateristik tersebut. Akan tetapi, peduli dan mau saja tidak akan cukup. Kepedulian dan kemauan itu harus disertai dengan perubahan dalam pola pikir dan perilaku.

Salah satu perubahan pola pikir yang perlu dilakukan untuk menjadi ayah super adalah dengan membuang jauh-jauh pembagian yang saklek (dikotomi) antara peran ayah dan ibu. Seorang ayah harus berhenti memandang bahwa tugas ayah adalah mencari penghidupan, sementara urusan rumah tangga, termasuk mendidik anak-anak, menjadi tugas ibu. Bila dikotomi peran tersebut masih ada, kepedulian dan kemauan yang tinggi untuk terlibat dalam urusan rumah tangga menjadi terbatas. Ayah tersebut mungkin akan mulai membantu pekerjaan di rumah, menemani anak bermain, melakukan ini, melakukan itu, dan banyak hal lain, tapi ayah tersebut hanya akan bermain di luar lingkaran "kekuasaan" istrinya.
Ayah tersebut bahkan mungkin akan menyadari bahwa tugas istrinya sebenarnya adalah tugasnya.
Saat dikotomi peran tersebut dapat dihilangkan, seorang ayah akan menyadari bahwa tugas istrinya adalah tugasnya juga. Ayah tersebut bahkan mungkin akan menyadari bahwa tugas istrinya sebenarnya adalah tugasnya. Dia yang seharusnya mengurus rumah tangga. Dia yang seharusnya mendidik anak-anak. Dia yang seharusnya melakukan apa yang istrinya biasa lakukan di rumah. Apa yang dilakukan istrinya adalah bantuan, bukan kewajiban.

Tanpa adanya dikotomi peran tersebut, kontribusi seorang ayah akan jauh lebih maksimal. Tanggung jawab mengurus rumah tangga dan anak-anak, termasuk mengurus istrinya, akan diambil alih oleh ayah tersebut. Semua urusan rumah tangga akan dia lakukan secara maksimal. Lingkaran "kekuasaan" istrinya menjadi kabur atau bahkan tidak terlihat sama sekali. Setiap hal yang dilakukan istrinya menjadi sesuatu yang lebih bernilai karena bukan lagi dianggap sebagai kewajiban. Rasa terima kasih kepada istrinya pun meningkat secara signifikan.

Pada intinya, ayah super akan benar-benar menjadi ayah super bila dia tidak lagi membedakan antara peran ayah dan ibu. Mengurus cucian, membersihkan rumah, memandikan anak, menyuapi anak, atau perintilan lainnya tidak lagi menjadi urusan istri, tapi menjadi urusan bersama. Ayah super akan memilih untuk bekerja sama dengan istrinya, bukan sama-sama kerja.

Satu hal penting yang perlu diingat adalah kondisi di atas tidak selalu merupakan hal yang baik. Tidak selamanya seorang ayah yang sangat terlibat dalam urusan rumah tangga itu baik. Ada kalanya justru lebih baik saat seorang ayah keluar dari lingkaran "kekuasaan" istrinya. Kapankah itu? Saya akan bahas dalam tulisan selanjutnya. Insyaa Allaah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar