Sabtu, 13 Januari 2018

Saya Bukan Ayah Super

Saya pernah mencoba bertanya di lingkaran pertemanan Facebook saya tentang definisi ayah super. Sayangnya tidak ada satu teman pun yang berkenan memberikan komentar serius. Mungkin definisi ayah super memang tidak jelas atau memang tidak ada yang berminat memberikan komentar? Entahlah. Berhubung tidak ada yang merespon, pertanyaan itu pun tenggelam seiring waktu.

Saya pun beralih ke Google. Hasil Googling dengan kata kunci "ayah super adalah" [diakses tanggal 9 Januari 2018] tidak sepenuhnya relevan. Ada informasi tentang tipe ayah berdasarkan chat dengan anak gadisnya, ayah super di anime, profil Facebook bernama Ayah Super, dan bisnis daring dengan nama domain ayahsuper-dot-com. Sementara itu, informasi yang relevan mencakup ciri-ciri ayah super bagi balita, berita tentang ayah (super) yang mengadopsi 4 orang anak dengan disabilitas, dan pergeseran tradisi di Korea Selatan akibat semakin banyaknya ayah yang meluangkan waktu untuk mengurus anak-anaknya.

Hasil penelusuran hingga halaman ke 3 hasil pencarian Google tersebut tidak memberikan informasi tambahan, tapi tetap menegaskan bahwa julukan ayah super itu memang ada. Julukan ayah super itu ada karena ada ayah-ayah yang mau melakukan sesuatu yang lebih daripada para ayah pada umumnya. Ayah-ayah ini memiliki tingkat kepedulian dan kemauan yang tinggi untuk terlibat dalam urusan rumah tangga. Kepedulian dan kemauan yang super itu yang mendorong munculnya istilah ayah super.

Saya sendiri pernah dijuluki ayah super. Alasannya? Tidak jauh berbeda dengan alasan munculnya istilah ayah super di atas, yaitu karena saya melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh para ayah umumnya. Padahal saya hanya melakukan apa yang biasa dilakukan istri saya seperti memandikan, menyuapi, mengajar (misalnya mengajar Iqra'), atau sekadar menemani anak-anak bermain. Itu pun porsinya masih belum apa-apa bila dibandingkan dengan waktu dan tenaga yang sudah dikeluarkan istri saya. Lalu kenapa saya mendapat julukan super padahal istri saya jelas-jelas lebih super? Menurut saya, hal itu disebabkan karena standar yang digunakan dalam konteks ayah super ini adalah standar yang, mohon maaf, rendah.
Seandainya kita ubah tolok ukur ayah super itu menjadi para ibu pada umumnya, maka ayah-ayah super itu akan terlihat normal.
Ayah super menjadi ayah super karena mereka dibandingkan dengan para ayah pada umumnya, padahal apa yang dilakukan ayah super itu adalah hal-hal yang biasa dilakukan oleh para ibu pada umumnya. Seandainya kita ubah tolok ukur ayah super itu menjadi para ibu pada umumnya, maka ayah-ayah super itu akan terlihat normal. Para ayah super itu akan menjadi ayah-ayah normal. Kalau ayah-ayah super itu pada hakikatnya adalah ayah-ayah normal, bagaimana dengan ayah-ayah yang normal? Silakan dipikirkan.

Kembali ke konteks tulisan ini. Kalaupun saya banyak terlibat dalam urusan domestik, bukan berarti saya adalah ayah super. Saya hanya ayah normal. Hal-hal "super" yang saya lakukan sebagai ayah adalah hal-hal yang sudah sewajarnya dilakukan oleh seorang ayah. Bukan hanya "sewajarnya", tapi bahkan "sepantasnya". Memang sudah sepantasnya seorang ayah bekerja sama dengan pasangannya dalam urusan rumah tangga, walaupun energinya sudah terpakai untuk mencari nafkah. Sebaliknya, tidak sepantasnya seorang ayah membiarkan pasangannya mengurus urusan rumah tangga sendirian.

Dari cerita di atas, terlihat jelas bahwa saya memang bukan ayah super. Saya hanya ayah normal. Saya hanya melakukan apa yang sepantasnya dilakukan oleh seorang ayah. Tidak lebih, bahkan mungkin masih kurang. Bagaimana dengan Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar