Kamis, 27 Januari 2011

Menjadi Dewasa dengan Berkeluarga

Untuk mendapatkan buah yang baik dibutuhkan pohon yang baik pula. Ini adalah salah satu hal yang ingin saya tegaskan lewat tulisan saya sebelumnya, Buah dan Pohon. Kalau kita menginginkan anak kita untuk tumbuh menjadi orang yang baik, maka kita pun perlu mengajarkannya hal-hal yang baik -dengan contoh. Contoh yang paling baik tentunya datang dari kita sendiri sebagai orang tua.

Proses yang kita lalui untuk berubah menjadi contoh yang baik bagi anak-anak kita adalah proses yang membantu kita menjadi (lebih) dewasa. Saat kita ingin anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang tegar, mandiri, dan tidak egois, maka kita pun akan belajar untuk menjadi tegar, mandiri, dan tidak egois. Saat kita ingin anak-anak kita tidak mudah marah dan menangis, maka kita pun akan belajar untuk mengendalikan emosi kita. Untuk setiap hal baik yang kita harapkan dari anak-anak kita, kita pun berubah menjadi contoh yang baik bagi anak-anak kita. Perubahan yang baik inilah yang menjadikan kita semakin dewasa.

Konsep kedewasaan dengan berkeluarga ini sangat sederhana. Konsep yang sama pernah saya tuangkan lewat tulisan Maturity Through Marriage. Pada tulisan tersebut, saya menuangkan ide mengenai kedewasaan lewat pernikahan. Prinsipnya tidak jauh berbeda dengan yang ingin saya kemukakan saat ini, yaitu mengenai perubahan diri demi kebaikan yang lebih besar.

Entah itu demi menjaga hubungan yang baik dengan istri atau untuk menjadi teladan yang baik bagi anak-anak, setiap perubahan sikap dan perilaku ke arah yang lebih baik adalah bagian dari proses menuju kedewasaan yang lebih tinggi. Jadi dengan berusaha untuk menjadi suami dan ayah yang baik itu secara otomatis membuat kita menjadi lebih dewasa.

Hanya saja ada satu perbedaan mendasar antara berubah demi istri dan berubah demi anak-anak. Istri kita bisa memahami sikap dan perilaku "buruk" kita. Bahkan ada kalanya justru istri kita yang berubah demi kita. Anak-anak kita tentunya tidak memiliki tingkat pemahaman yang sama. Mereka (terutama di usia belia) hanya tahu satu hal, yaitu meniru. Terlepas dari buruk atau tidaknya sikap dan perilaku kita, anak-anak kita akan tetap menirunya. Perbedaan yang mendasar ini yang membuat perubahan orang yang memiliki anak itu menjadi lebih sulit ketimbang orang yang belum memiliki anak.

Contoh yang paling mudah mungkin amarah. Bila kita memiliki sifat pemarah, rumah tangga kita akan sering dihiasi emosi. Istri kita mungkin bisa menahan diri -memahami sifat kita yang pemarah- dan tidak ikut marah-marah. Akan tetapi, anak-anak kita kemungkinan besar akan tumbuh dengan sifat pemarah yang ditiru mereka dari diri kita. Sekuat apa pun usaha kita untuk menjelaskan bahwa sifat pemarah itu buruk, anak-anak kita kemungkinan besar akan tumbuh menjadi orang yang pemarah. Hal ini terjadi karena pembentukan karakter lewat contoh itu lebih mengena ketimbang lewat kata-kata.

Terkait dengan contoh di atas, ada kondisi lucu yang kadang terjadi. Saat seorang ayah memarahi anaknya karena anaknya suka marah-marah. Kondisi ini tentunya lucu karena kata-kata ayah tersebut berbanding terbalik dengan perbuatannya. Anak justru akan kebingungan bila ditegur tentang buruknya marah-marah dengan cara marah-marah.

Mendidik anak untuk menjadi pribadi yang baik sebaiknya dilakukan dengan menjadi teladan yang baik untuk anak. Hindari memperlihatkan sikap dan perilaku buruk di depan anak. Tentunya lebih baik lagi bila sikap dan perilaku buruk itu dapat kita redam sepenuhnya, baik di depan maupun di belakang anak kita. Dengan begitu, kita pun menjadi lebih dewasa seiring proses mendidik anak-anak kita.

2 komentar: