Rabu, 26 Mei 2010

2000 Rupiah yang Tidak Halal

Pagi ini saya mendapat kesempatan untuk naik kendaraan umum (Bus 46) tanpa bayar. Bukan karena saya merupakan personil kepolisian atau militer, bukan juga karena Bus 46 itu sedang mengadakan promo. Penyebab utamanya adalah keteledoran sang Kondektur.

Bus 46 yang saya tumpangi itu memiliki 3 pintu masuk penumpang, yaitu depan, tengah, dan belakang. Saya masuk dari pintu belakang dan Alhamdulillah mendapat tempat duduk di bagian belakang bus. Setelah saya menyusul beberapa penumpang lain lewat pintu belakang bus itu.

Selama perjalanan dari Slipi sampai kantor, Kondektur tidak kunjung bergerak ke belakang. Saya sendiri tidak tahu apa alasannya. Entah karena dia tidak melihat ada penumpang yang masuk dari belakang atau bagaimana. Yang pasti Kondektur bergerak tidak jauh dari bagian tengah bus.

Berhubung bus agak padat -maklum rush hour- saya memutuskan menyiapkan uang 2.000 rupiah untuk dibayarkan kepada Kondektur saat saya turun. Tapi harapan tidak bertemu dengan kenyataan. Saat saya turun di halte dekat kantor, Kondektur itu justru berada di dalam bus -tidak di pinggir pintu seperti kondektur pada umumnya. Alhasil uang 2.000 rupiah itu masih saya pegang.

Tanpa berpikir panjang, saya memasukan uang itu ke saku belakang celana untuk memisahkannya dengan uang saya yang lain. Saya langsung jalan ke kantor. Sesampainya di kantor, saya mampir ke masjid kantor dan mencari kotak amal. Uang 2.000 rupiah itu saya masukan ke dalam kotak amal dengan diniatkan atas nama siapa pun orang yang seharusnya mendapatkan uang itu -mungkin antara Kondektur, Supir, atau Pengelola bus.

Selepas dari masjid, saya kembali ke kantor dan meneruskan aktifitas seperti biasa tanpa lagi memikirkan masalah uang 2.000 rupiah itu -kecuali saat saya membuat tulisan ini. Saya tidak tahu apakah langkah yang saya lakukan itu benar atau tidak. Mungkin seharusnya saya kejar Kondektur itu ke bagian tengah bus untuk memberikan uang 2.000 rupiah itu. Tapi sayangnya pilihan yang terakhir itu agak sulit saya lakukan.

Terlepas dari itu, perasaan bersalah saya hilang saat uang itu masuk ke dalam kotak amal. Paling tidak saya tahu bahwa uang itu tidak akan saya gunakan untuk kepentingan saya dan keluarga saya. Walaupun jumlah 2.000 itu kecil, saya tetap menganggap uang itu bukan hak saya. Semoga saja apa yang saya lakukan sudah mengembalikan uang itu kepada yang berhak, walaupun saya melakukannya secara tidak langsung.

Setiap muslim memang selayaknya menjaga kebersihan nafkahnya. Dengan menjaga dari yang kecil, harapannya yang besar pun ikut terjaga. Kalau untuk uang 2.000 rupiah saja saya tidak mau mengambil yang kotor, maka untuk uang yang jumlahnya besar pun -misalnya 25 milyar- tidak akan saya ambil.

2 komentar:

  1. wah mir, kalau semua orang yg pinjem duit di bank balikinnya ke masjid bukan ke bank, pasti masjid jadi makmur.
    atau yang kasus penerima suap DGS BI, duitnya gak digunakan untuk kepentingan dirinya atau keluarganya, tapi dibalikin ke konstituennya.
    kalau begitu bagaimana? :D

    BalasHapus
  2. Kalau orang pinjem duit ke bank balikin ke masjid mah D.O.D.O.L donk. Contoh kasus gw lebih mirip ke memiliki sesuatu yang bukan haknya. Kalau minjem kan berhak, balikinnya juga jelas. Kalo kasus gw bisa repot aja kalau kudu ngejar-ngejar Kondektur.

    Kalau yang penerima suap terus dibalikin ke konstituennya sih aneh deh menurut gw. Kalau emang mau niat baik, kenapa juga kudu pakai cara yang gak halal? Robin Hood aja masih ngerampok, bukan nerima suap. :P

    :D

    BalasHapus