Selasa, 23 Juli 2013

19 Hari Kemudian

Mengurus Yelena memang melelahkan karena dia adalah anak kecil egois yang butuh perhatian ekstra tanpa peluang untuk negosiasi. Kalau Yelena sudah mulai menjerit, semua urusan lain harus ditinggalkan untuk menjawab panggilannya. Kadang kebutuhan-kebutuhan pribadi (seperti tidur yang cukup) pun harus dikorbankan demi memenuhi kebutuhan Yelena. Tentu sulit bagi istri saya bila harus mengurus Yelena sendirian.

Itulah alasannya sejak Yelena lahir, saya bertekad untuk membantu istri saya merawat Yelena semaksimal mungkin. Alhamdulillah saya sudah terbiasa merawat bayi sejak kehadiran Raito dan Aidan 5 tahun yang lalu. Jadi saya tidak butuh banyak waktu untuk kembali membiasakan diri mengurus 1 (satu) orang bayi mungil. Sama seperti saat merawat Raito dan Aidan, satu-satunya hal yang tidak bisa saya lakukan untuk membantu istri saya adalah menyusui Yelena.

Actually, that's the least I can do karena saya sadar justru "menyusui" itulah yang menjadi pekerjaan besar dalam merawat anak. Siapa pun (baca: pembantu/pengasuh/anggota keluarga lain) bisa menggendong, mengganti popok, memandikan, atau melakukan hal lain dalam merawat Yelena, tapi tugas untuk "menyusui" itu tidak tergantikan. Selain tidak tergantikan, proses menyusui juga menguras tenaga dan beresiko luka di bagian yang sebaiknya tidak saya sebutkan dalam tulisan ini. It's not easy.

Kembali ke membantu mengurus Yelena. Alasan saya membantu istri saya mengurus Yelena tentu saja erat kaitannya dengan baby blues syndrome. Perasaan stres saat merawat anak yang baru lahir bukanlah hal yang dibesar-besarkan karena saya sendiri ikut merasakannya. Rasa lelah mengurus anak kecil mungil yang kerjanya hanya tidur, menangis, dan buang air itu tidak bisa dipandang sebelah mata, apalagi rasa lelah ini akan terus bertumpuk karena harus berurusan dengan si Bayi selama 24 jam 7 hari seminggu.

Pada dasarnya saya hanya menggunakan prinsip "berat sama dipikul, ringan biar saya yang bawa." Urusan merawat Yelena tentu akan menjadi lebih ringan bila kami (saya dan istri saya) mengurusnya bersama-sama atau bergantian. Tidak hanya dalam urusan mengganti popok, kami pun saling membantu dengan menasihati satu sama lain. Untuk mencapai kondisi ini tentu saja kami harus terbuka dengan keluh-kesah masing-masing. Urusannya memang menjadi lebih ringan dengan dipikul bersama, tapi tidak serta-merta menjadi tanpa kendala. Masalah masih tetap ada, tapi rasa stres mengurus Yelena menjadi lebih mudah diatasi.

Hari demi hari saya lewati dengan menegaskan kepada diri saya bahwa saya memiliki peran penting dalam mendampingi istri saya merawat bayi kecilnya. Hari demi hari kami lewati dengan mengurus Yelena bersam-sama. 19 hari penuh suka (dan duka) pun telah kami lewati. Ada kalanya rasa penat itu muncul, terutama saat Yelena menuntut kami berkali-kali bangun malam untuk menjawab jeritan dia, tapi secara garis besar kami masih bisa menjalaninya dengan senyuman.

On a side note, mengurus bayi bersama-sama juga membantu mempererat hubungan suami dan istri. Suami dan istri yang sebelumnya mulai terbiasa untuk hidup dengan rutinitas harian masing-masing akan kembali berjalan beriringan saat mengurus bayi. Mereka kembali berbagi tujuan hidup yang sama dan mengemban beban hidup bersama-sama. Mereka akan lebih sering berinteraksi dan berkomunikasi. Di balik interaksi dan komunikasi itu pun rasa saling menghargai satu sama lain pun akan ikut tumbuh. Semua ini berujung pada tumbuhnya rasa kasih dan sayang di antara suami dan istri. Hopefully, ini juga yang saya rasakan bersama istri saya.

Mengurus sesuatu bersama-sama memang membuat pekerjaan menjadi lebih praktis. Pekerjaan tidak hanya menjadi lebih mudah, tapi mengerjakannya pun menjadi lebih menyenangkan. Hal ini yang saya rasakan saat saya membantu istri saya mengurus Yelena. Hal yang sama saya rasakan juga saat saya memberdayakan Raito dan Aidan di waktu mencuci mobil/motor, but that's another thing. Semoga saja pengalaman menyenangkan ini juga dirasakan oleh para orang tua baru yang lain di luar sana.

2 komentar:

  1. kebayang jelas euy... :D
    haduh... jadi ragu dan pengen cepat nikah euy.. ah.. bingung sama perasaan sendiri... :D

    bayi itu lucu kan yaa... :|

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, bayi itu lucu. Sayangnya lucu itu hanya 1 sisi koin dan di sisi lainnya ada "menyebalkan". Sisi koin mana yang dominan tentu saja bukan tanggung jawab si Bayi, tapi menjadi urusan orang tua si Bayi. Orang tua dengan pikiran positif akan melihat si Bayi sebagai makhluk yang lucu dan bisa menghadapi kelakuan menyebalkan si Bayi dengan baik. Sebaliknya orang tua dengan pikiran negatif akan lebih fokus pada hal-hal menyebalkan yang membuat lelah hati dan pikiran sehingga si Bayi tidak lagi terlihat lucu.

      Jadi yang penting memang bagaimana kita (sebagai orang tua) menyikapi si Bayi atau lebih tepatnya adalah bagaimana kita bisa tetap bersikap positif menghadapi rasa lelah mengurus si Bayi. Itulah alasannya kenapa saya lebih suka "memikul" beban ini bersama-sama istri saya. Dengan bekerja sama, sikap dan pikiran positif itu lebih mudah terbentuk dan terjaga.

      Sekali lagi. Iya, bayi itu lucu. Suwer! :)

      Hapus