Selasa, 25 Agustus 2009

Mengemis Bukan Sekedar Masalah Halal Haram

Qabishah bin Mukhariq al Hilat ra berkata:

“Aku pernah memikul tanggungan berat (diluar kemampuan), lalu aku datang kepada Rasulullah saw untuk mengadukan hal itu. Kemudian beliau bersabda: Tunggulah sampai ada sedekah yang datang kepada kami lalu kami perintahkan agar sedekah itu diberikan kepadamu.

Setelah itu beliau bersabda: Hai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh kecuali bagi salah satu dari tiga golongan, yaitu:
  1. Orang yang memikul beban tanggungan yang berat (diluar kemampuannya), maka dia boleh meminta-minta sehingga setelah cukup lalu berhenti, tidak meminta-minta lagi.
  2. Orang yang yang tertimpa musibah yang menghabiskan hartanya, maka dia boleh meminta sampai dia mendapatkan sekadar kebutuhan hidupnya.
  3. Orang yang tertimpa kemiskinan sehingga tiga orang yang sehat pikirannya dari kaumnya menganggapnya benar-benar miskin, maka dia boleh meminta sampai dia memperoleh sekadar kebutuhan hidupnya.
Sedangkan selain dari tiga golongan tersebut hai Qabishah, maka meminta-minta itu haram yang hasilnya bila dimakan juga haram” (HR. Muslim).

Hadits yang saya cantumkan di atas terbilang mudah dimengerti. Inti hadits tersebut adalah penegasan dari Rasulullah bahwa mengemis itu haram kecuali untuk tiga golongan yang Rasulullah sebutkan di atas. Dari ciri-ciri tiga golongan itu, tersirat pesan bahwa mengemis menjadi tidak haram dalam keadaan terpaksa dengan kondisi keterpaksaan yang sangat ketat.

Sayangnya realita di masyarakat saat ini justru seperti mengacuhkan kondisi keterpaksaan itu. Tidak sulit bagi kita untuk menemukan pengemis di kota Jakarta ini. Mereka adalah orang-orang yang menjadikan mengemis sebagai profesi dan bukan lagi sebagai akibat dari keterpaksaan. Kalaupun ada orang-orang yang memang mengemis karena terpaksa, mungkin orang-orang ini termasuk minoritas dalam kelompok besar pengemis Ibukota.

MUI (Majelis Ulama Indonesia) Sumenep sudah mengeluarkan fatwa mengharamkan aktifitas mengemis. MUI Pusat pun sudah menyetujui fatwa tersebut walau ditegaskan bahwa pemberlakuan fatwa hanya pada daerah setempat. Orang-orang yang tidak perlu mengemis, atau muak-benci-jijik melihat pengemis, sepertinya akan dengan mudah mengiyakan fatwa ini. Walaupun begitu, apakah para pengemis peduli akan fatwa ini? Kalaupun ada, saya rasa tidak akan banyak pengemis yang berhenti mengemis karena munculnya fatwa ini.

Faktanya kebutuhan paling dasar manusia hampir sama dengan hewan. Kebutuhan untuk bertahan hidup tentu lebih mendasar ketimbang kebutuhan untuk mematuhi aturan Allah; apalagi aturan MUI. Ini alasannya kenapa saya pesimis terhadap efek baik yang akan ditimbulkan fatwa haram mengemis ini.

Kita semua tahu mengemis memang bukan sekedar masalah halal atau haram. Mengemis pada dasarnya adalah bagian dari masalah kemiskinan. Mengemis adalah masalah sosial yang hanya dapat diberantas lewat kerja sama dari berbagai pihak yang terkait; termasuk saya dan Anda yang sedang membaca tulisan ini.

Pemerintah atau instansi non-pemerintah punya andil untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan keterampilan tenaga kerja, mengelola arus transmigrasi, dan berbagai hal lain yang dapat membantu menekan angka pengangguran. Kita yang berkecukupan punya andil untuk membantu mewujudkan langkah-langkah tersebut dengan membayar pajak atau menyalurkan zakat. Selain itu kita semua juga perlu menahan diri dari memberi uang -sekecil apa pun nominalnya- kepada pengemis.

Kalau memang kondisi tersebut dapat diwujudkan, para pengemis tidak punya lagi alasan untuk mengemis. Mereka dapat menemukan tempat-tempat untuk mengasah keahlian mereka. Mereka pun memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan. Kalau pun semua itu tidak berujung pada pekerjaan, paling tidak mereka tidak akan lagi turun ke jalan karena mereka tahu tidak akan ada lagi orang yang akan memberi mereka uang sepeser pun.

Saya masih ingat keputusan saya untuk berhenti mengasihani pengemis beberapa tahun yang lalu. Pada saat itu saya baru menyadari keberadaan orang-orang yang mengemis walau tidak terpaksa; bahkan ada juga yang berani menipu untuk mengeluarkan rasa iba dari orang lain. Ada pengemis yang badannya jauh lebih gemuk dari diri saya. Ada pengemis yang sebenarnya sehat, tapi saat mengemis tiba-tiba penuh dengan luka dan perban. Ada pengemis yang sangat kurang ajar sampai berani merokok saat mengemis.

Sejak saat itu saya tidak pernah lagi memberikan uang kepada pengemis. Entah itu pengemis di pinggir jalan, di jembatan penyeberangan, di angkutan umum, atau di mana pun, saya tetap katakan tidak. Saya lebih memilih menyalurkan zakat dan shadaqah saya kepada lembaga-lembaga sosial yang berwenang dengan harapan zakat dan shadaqah saya akan sampai pada orang-orang yang benar-benar membutuhkan.

Referensi:

1 komentar:

  1. saya sangat setuju dengan tanggapan anda..
    lagipula sekarang sudah ada UU yang melarang adanya gelandangan dan pengemis di jalan..

    BalasHapus