Jumat, 27 Mei 2011

Ibu, bukan Martir

Menjadi seorang ibu tentu tidak mudah. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur'an, "ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun" (31:14). Kelemahan ini sering disebut sebagai kehamilan, persalinan dan menyusui. Tapi itu hanya awalnya.

Ibu berada di "parit" rutinitas penggantian popok, membantu mengerjakan pekerjaan rumah, memasak makan malam, menjaga kedisiplinan dan menyeimbangkan antara pekerjaan, menjemput anak-anak dari sekolah, dan menghadiri pertandingan sepak bola anak-anak. Rutinitas harian melayani keluarga ini dapat menyerap begitu banyak energi dari seorang ibu dan menyebabkan dia kehilangan keseimbangan dan perspektif terhadap dirinya sendiri. Ketika seorang wanita kehilangan makna yang mendalam dari peran seorang ibu, dia mungkin akan merasa bahwa tugas seorang ibu adalah untuk mengorbankan dirinya sendiri (menjadi martir) dengan mendahulukan kepentingan keluarganya. Tapi memikul semua beban dan kesulitan seperti itu bukanlah cara untuk menjadi ibu yang baik. Sikap seperti itu akan menghabiskan energi seorang wanita, dan mungkin dapat menumbuhkan kebencian, membuatnya berpikir bahwa anak-anak dan anggota keluarga yang lain "berhutang" kepada dirinya sebagai imbalan atas semua pengorbanannya.

Sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada kita: "Tidaklah berkurang harta yang disedekahkan." Apa sedekah yang lebih baik dibandingkan sedekah seorang ibu yang berkorban demi mengurus keluarganya? Akan tetapi, seperti halnya dengan berbagai bentuk memberi, balasannya ada dalam proses memberi, bukan dalam balasan dari orang yang kita beri. Sesungguhnya semua bentuk memberi itu membawa manfaat kepada pemberi, bila dilakukan dengan baik dan benar.

Menjadi seorang ibu itu bukan menjadi seorang martir. Menjadi seorang ibu adalah menghormati kepercayaan dan tanggung jawab membesarkan anak serta menghargai diri sendiri sebagai wanita yang kuat.
Keibuan adalah sebuah perjalanan yang memungkinkan seorang wanita untuk menyaksikan perkembangan anak-anak serta untuk mengembangkan diri menjadi lebih kuat dan lebih bijaksana. Allah memberkati wanita yang memiliki anak-anak dan para ibu ini pun berjanji kepada Allah untuk memelihara anak-anak mereka hingga dewasa. Melalui proses mengasuh anak, seseorang akan menyadari bahwa mengasuh itu adalah juga tentang memberi contoh gaya hidup yang seimbang dan sehat kepada anak-anak. Menjadi seorang ibu itu bukan menjadi seorang martir. Menjadi seorang ibu adalah menghormati kepercayaan dan tanggung jawab membesarkan anak serta menghargai diri sendiri sebagai wanita yang kuat. Anak-anak akan menghormati ibu mereka sebagai wanita yang melayani keluarga demi menggapai ridha Allah. Tanggung jawab keibuan membuat seorang wanita tumbuh lebih kuat secara fisik, mental dan spiritual karena dia diuji di semua sisi kehidupannya. Dia belajar untuk melayani orang-orang di sekitarnya dengan tujuan mencapai ridha Allah tanpa harus kehilangan kendali terhadap dirinya sendiri. Seorang ibu seharusnya tidak menjadi lemah melalui proses memberi kepada keluarganya, tapi justru menjadi lebih kuat dan lebih seimbang.

Berikut ini adalah enam cara bagi para ibu untuk menemukan keseimbangan dan tetap fokus melewati hari-hari sulit mengasuh anak-anak serta menikmati perjalanan keibuan mereka:

1. "Saya akan mengingatkan diri saya setiap hari bahwa waktu saya bersama anak-anak saya itu sangat berharga."

Suatu hari nanti, masa kanak-kanak akan berakhir dan "bayi" kita akan tumbuh dewasa. Anak-anak kita berubah setiap hari dan tumbuh menjadi dewasa. Mengasuh anak adalah merayakan peristiwa sehari-hari bersama anak-anak ketimbang sekedar fokus pada waktu peralihan kehidupan anak-anak kita. Yang akan kita kenang adalah waktu berkualitas yang kita habiskan bersama anak-anak kita dan waktu yang kita gunakan untuk berkomunikasi dan berbagi dengan anak-anak kita. Kegiatan duniawi dalam hidup kita adalah cara kita membentuk hubungan dengan anak-anak kita, sehingga kita perlu melihat anak-anak kita sebagai pengalaman bersosialisasi daripada sekedar kegiatan yang perlu dilewati untuk menuju kegiatan berikutnya.

2. "Saya akan mengurus diri saya."

Baik secara fisik, mental maupun spiritual. Dengan terus-menerus memberikan perhatian kepada anak-anak kita dan suami, kita seringkali lupa mengurus diri kita sendiri atau kita seringkali menempatkan kebutuhan kita di urutan terakhir. Beberapa ibu bahkan tidak menempatkan kebutuhan diri mereka dalam urutan mana pun. Hanya saja sebagai ibu kita hanya dapat memberikan sebanyak yang kita miliki, dan jika kita tidak mengisi ulang tangki kita sendiri maka tidak ada lagi yang tersisa untuk diberikan. Menjaga tubuh kita melalui latihan sangat penting untuk kesehatan fisik kita serta meningkatkan suasana hati kita dan energi secara keseluruhan. Menghabiskan waktu berolahraga itu bukan egois, tidak penting atau sekedar kegiatan tambahan. Hal ini harus dilihat sebagai prioritas untuk melakukan tugas kita sebagai seorang ibu dengan baik. Menjaga kondisi mental dan spiritual juga penting karena ini adalah area yang paling menantang dan terkuras ketika membesarkan anak-anak kita. Tujuan dari shalat kita adalah untuk membantu kita kembali fokus dan menata kehidupan kita yang sibuk, khususnya sebagai ibu. Karena wanita adalah "jantung" sebuah rumah tangga, kita harus memiliki hati yang tenang dan damai untuk memberikan keseimbangan ke tengah keluarga kita. Mencari dan mempertahankan rasa percaya diri dan kebahagiaan pada akhirnya akan terwujud pada diri anak-anak kita dan suami kita.

3. "Saya bukan ibu yang sempurna."

Banyak ibu-ibu Muslim memiliki pandangan yang sangat idealis dari pengasuhan atau harapan yang tinggi dari diri mereka sendiri sebagai seorang ibu. Anak-anak kita tidak membutuhkan kita menjadi sempurna dan mereka dapat dengan mudah memaafkan kita ketika kita mengakui kesalahan dan menunjukkan ketidaksempurnaan kita. Kita harus menerima bahwa mungkin bagi kita untuk melakukan kesalahan dan hal ini akan menjadi kesempatan bagi kita untuk tumbuh menjadi ibu yang lebih cerdas. Kita perlu memaafkan diri sendiri dan melepaskan diri dari beban perjuangan demi kesempurnaan. Kita perlu menghilangkan pola pikir bahwa ibu-ibu yang lain itu sempurna dan melakukan segalanya dengan benar. Kita hanya bisa melakukan yang terbaik dengan kemampuan yang kita miliki dan kita harus fokus pada hal-hal yang penting, yaitu hubungan kita dengan anak-anak kita. Makan malam tidak akan selalu menakjubkan, piring tidak akan selalu bersih, dan cucian akan menumpuk, tetapi ketika anak-anak kita menjadi dewasa mereka tidak akan ingat semua itu, melainkan mereka akan ingat waktu yang mereka habiskan bersama kita dan percakapan yang mereka lakukan dengan kita.

4. "Saya akan mengutamakan pernikahan saya."

Anak-anak memberikan tekanan yang besar pada pernikahan, terutama bagi para ibu dengan anak-anak belia. Banyak ibu fokus pada kebutuhan anak-anak mereka dan dalam prosesnya mengabaikan hubungan dengan suami. Kelelahan secara fisik dan emosi menyisakan hanya sedikit energi untuk diberikan kepada suami mereka dan sikap ini dapat menyebabkan terputusnya hubungan suami-istri. Sangat penting bahwa kita untuk menemukan keseimbangan dalam pernikahan dan mengasuh anak karena tidak hanya baik bagi anak-anak kita untuk melihat hubungan yang sehat antara ayah dan ibu mereka, tetapi juga baik untuk kesehatan mental kita. Hubungan dengan pasangan kita akan menggantikan hubungan kita dengan anak-anak kita, terutama ketika anak-anak kita tumbuh dewasa. Kita harus memelihara hubungan yang penuh kasih bersama pasangan kita sehingga kita mencapai usia senja bersama-sama dan menjadi lebih terikat antara satu sama lain setelah anak-anak kita tumbuh dewasa dan menikah. Ini berarti kita tidak bisa "menunda" pernikahan kita, tetapi kita justru harus mempertahankan ikatan persahabatan dan cinta melalui saat-saat sulit menjadi orangtua. Penting untuk menghabiskan waktu sendirian bersama suami kita sehingga kita dapat melihat satu sama lain melalui sudut pandang pasangan kita dan bukan hanya sebagai pengasuh anak-anak kita. Mengatur "malam kencan" dan tamasya akhir pekan sebagai pasangan sangat penting untuk menjaga hubungan dengan suami kita.

5. "Saya akan menghargai teman-teman saya."

Saling kontak dan berbagi dengan wanita lain akan membantu kita menemukan kesamaan perjuangan kita sebagai seorang ibu dan seorang wanita. Memiliki saudari dan teman wanita dalam hidup kita dapat menjadikan kita lebih kuat karena hubungan ini membantu menjaga stabilitas emosional kita dan membantu kita mengelola stres dalam hidup kita. Teman wanita dan saudari kita memiliki tempat khusus dalam kehidupan kita yang bahkan tidak bisa digantikan oleh suami kita sendiri. Meluangkan waktu untuk bertemu atau berbicara dengan teman-teman kita akan membantu kita merasa lebih bahagia sehingga kita mampu memberikan kebahagiaan yang sama kepada anak-anak dan suami kita. Berbicara dan bepergian dengan teman wanita sangat penting bagi seorang ibu untuk meningkatkan hubungan mereka dengan wanita lain. Hal ini akan meningkatkan suasana hati kita dan mengisi ulang energi kita sehingga kita dapat memberikan lebih banyak untuk anak-anak kita dan memiliki hubungan yang lebih baik dengan suami kita.

6. "Saya akan mengutamakan makan malam bersama keluarga."

Makan bersama keluarga merupakan kegiatan harian untuk membentuk ikatan. Rutinitas dalam kehidupan anak-anak dapat memupuk ketidakstabilan emosi pada diri anak-anak. Membiasakan tradisi seperti makan bersama menjadi sangat berguna bagi kehidupan kita karena itu adalah waktu untuk berbagi dan menguatkan ikatan antara satu sama lain. Penelitian telah menunjukkan anak-anak yang makan malam dengan keluarga mereka secara teratur memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk bersikap baik dan membuat pilihan yang baik berkaitan dengan teman-teman, narkoba dan seks. Mengajak semua anggota keluarga untuk duduk bersama setiap hari akan menciptakan sebuah dinamika keluarga yang lebih komunikatif dan tradisi makanan, percakapan dan sukacita akan menjadi kenangan yang dihargai setiap anggota keluarga.

Tulisan di atas merupakan terjemahan dari tulisan "Mother, not Martyr" yang dipublikasikan di sini: http://www.suhaibwebb.com/relationships/marriage-family/spouse/mother-not-martyr/ yang ditulis oleh MUNIRA LEKOVIC EZZELDINE. Terjemahan saya buat sendiri secara bebas.

Khusus untuk kutipan ayat Al Qur'an dan hadits, terjemahan saya ambil langsung dari terjemahan Al Qur'an dan hadits versi Bahasa Indonesia (tidak saya terjemahkan sendiri). Bagi yang berkenan, saya sarankan membaca tulisan aslinya karena sebaik-baiknya terjemahan tetap berpotensi menggeser maksud tulisan asli.

2 komentar:

  1. Maaf nih ingin mengklarifikasi mengenai blogger yang mengaku2 sebagai master, maksud saya adalah tutorial yang hasil copas, sebenarnya itu yang saya maksud, kalo memang seseorang yang mau memberikan tutorial melalui sebuah pengalaman hidup dan pastinya hasil karyanya sendiri itu jauh lebih master menurut saya...

    seperti pemilik blog ini yang pastinya membuat semua tutorial untuk hidup dengan cara yang lebih baik, andalah master yang sebenarnya....

    BalasHapus
  2. Sempat bingung kenapa tiba-tiba ada komentar ini di tulisan "Ibu, bukan Martir" :)

    Terima kasih sudah repot-repot memberikan klarifikasi. Komentar balasan saya tuangkan langsung di tulisan terkait.

    BalasHapus